SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon


Pendidikan Islam Kontemporer
1.       Pondok Pesantren
Pengertian pondok pesantren terdapat berbagai variasinya, antara lain :
Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama islam. [1]
Pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Istilah pondok, mungkin berasal dari kata funduk, dari bahasa arab yang berarti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi di dalam pesantren indonesia, khusunya pulau jawa, lebih mirip denganpemondokkan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama santri.[2] Sedangkan istilah pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti tempat santri. Santri atau murid mempelajari agama dari seorang Kyai atau Syaikh di pondok pesantren.[3]
M Dawam Rahardjo (1995: 3) mengungkapkan bahwa pesantren adalah lembaga yang mewujudkan proses wajah perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya. [4]
Menurut Prof.DR.HA.Mukti Ali, bahwa pondok pesantren adalah tempat untuk menyeleksi calon-calon ulama kyai. Perkataan ”seleksi” dipegunakann dengan pengertian bahwa ulama atau kyai itu tidak bisa dididik, juga tidak bisa dididik oleh pondok pesantren. Tetapi orang menjadi ulama dan kyai itu, dan pondok pesantern adalah tempat untuk menyeleksi orang-orang yang memang sudah mempunyai bakat ulama atau kyai.[5] Beberapa tokoh islam yang merupakan keluaran dari pesantren diantaranya  K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan (tokoh Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto (pencetus SI), Muhammad Natsir (bekas Perdana menteri), Dien Syamsuddin, Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor intelektual yang dididik oleh lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren.[6]
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan arus modernisasi. Untuk mengubah image yang agak miring ini tentunya memerlukan proses yang panjang dan usaha tidak begitu mudah.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama. Manusia dalam subjektivitas dengan kesadarannya dan dalam keunikannya telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas. Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan menjadi tema utama peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20). [7]
Dalam tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini berarti pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa. [8]
Ulil Abshar Abdalla (2000) mengatakan bahwa jika tradisi besar Islam yang direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Pesantren ketika tampil dengan wajah baru akan menimbulkan apa yang disebut oleh Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). [9]
Untuk itu, tidak layak kiranya jika para pengelola pesantren mengabaikan arus modernitas sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – kalau pesantren ingin maju untuk mengimbangi perubahan zaman. Namun, jika tidak mau maju sedikit pun di era yang serba maju ini, silahkan menutup diri dari nilai-nilai baru dan peliharalah nilai-nilai lama yang telah ketinggalam zaman.
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Misalnya, mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga administrasi, guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Jika aspek-aspek pendidikan seperti di atas tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya.
Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya, tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.[10]
Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) dapat lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.[11]
Dengan tidak meninggalkan ciri khas lokal, pesantren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media infromasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat.
Pondok pesantren yang ideal adalah pondok pesantren yang mampu mengantisifasi adanya pendapat yang mengatakan bahwa alumni pondok pesantren tidak berkualitas. Oleh sebab itu, sasaran utama yang diperbaharui adalah mental, yakni mental manusia dibangun hendaknya diganti dengan mental membangun.[12] Adapun ciri mental membangun adalah :
1.       sikap terbuka, kritis, suka menyelidiki, bukan mentalitas mudah menerima tradisi, takhayul atau otoritas modern sekalipun, di samping itu juga mau di kritik.
2.       melihat ke depan.
3.       lebih sabar, teliti, dan lebih tahan bekerja.
4.       mempunyai inisiatif dalam mempergunakan metode baru.
5.       bersedia bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang lebih modern, misalnya koperasi, perbankan, dan lainnya.[13]
Dengan memperbaharui mental ini, maka sudah barang tentu berakibat pembaharuan kurikulum pondok pesantren. Karena sampai saat ini, sebagian sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren lebih banyak ditekankn pada agama, mental dan intelek. Pendidikan berhubungan dengan ketrampilan kerja tangan belum mendapat perhatian. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan dalam memberikan pelajaran-pelajaran yang menimbulkan ketrampilan kerja tangan sehingga dapat melahirkan tenaga-tenaga produsen bukan tenaga-tenaga konsumen. Kemudian Gus Dur berpendapat bahawa dalam melakukan modernisasi dan dinamisasi pesantren perlu adanya langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, perlu adanya perbaikan keadaan di pesantren yang didasarkan pada proses regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat. Kedua, perlu adanya persyaratan yang melandasi terjadinya proses dinamisasi tersebut.[14] Oleh sebab itu usaha-usaha pembaharuan sitem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren hendaknya :
1.        
o    Mengubah kurikulum supaya berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Masyarakat indonesia kini sedang membangun dan terus akan membangun.
o    Mutu guru-gurunya hendaknya ditingkatkan, juga prasarana pendidikan diperbaharui.
o    Hasil usaha pembaharuan memakan waktu panjang oleh sebab itu jangan cepat-cepat menyimpulkan pondok pesantren tidak penting di usahakan pembangunan dan pembaharuannya.
o    Kyai sebagai pemilik dan sekaligus pemimpin pondok pesantren hendaknya tetap terus menaruh perhatian dan sikap positif terhadap usaha pembaharuan dan pembangunan pondok pesantren.[15]
1.       Sekolah Islam Terpadu
Seperti diketahui khalayak umum, sekolah Islam Terpadu (IT) berbasis pada keterpaduan antara ilmu sains dan Islam. Dalam kurikulum dicantumkan Tahfizul Qur’an atau mata pelajaran menghafal Al Qur’an serta sisipan muatan spiritual dalam mata pelajaran umum.[16]
Pendidikan tahfidzul Qur’an tradisional masih diselenggarakan oleh TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an).Namun seiring dengan makin tersibuknya siswa siswi SD, SMP, dan SMA membuat mereka tak lagi sempat dan mau pergi ke TPA. Sedangkan untuk menghafal Al Qur’an secara menyeluruh dan khusus harus dilakukan di podok pesantren yang belum mengakomodir kebutuhan mereka memperdalam ilmu sains secara bersamaan. Sedangkan keluarga pengafal al-qur’an di indonesia bisa dihitung dengan jari.[17].                                            .
Lalu di tengah krisis para hafidz yang sekaligus ilmuan mulailah muncul sekolah-sekolah Islam Terpadu yang mengakomodir pada siswa-siswi menghafal Al Qur’an sekaligus belajar mata pelajaran sekolah pada umumnya. Memang mata pelajaran Tahfidz tidak menjadi yang utama tapi disamakan porsinya dengan mata pelajaran lain seperti matematika, bahasa inggris, dan IPA namun kontinuitasnya membuat mata pelajaran Tahfidzul Qur’an yang diajarkan di sekolah menjadi penting dan berarti.Di beberapa sekolah mata pelajaran Tahfidz diajarkan setiap hari. Setidaknya dalam 1 tahun bersekolah di TKIT siswa menghafal 1 juz (juz 30), SDIT memasuki juz 29 dan 28 serta murojaah (mengulang kembali), dan saat SMP dan SMA diharapkan sisiwa mampu menguasai 5 juz al-qur’an.
 [18]
Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya sekolah berbasis IT maka semakin banyaklah penghafal Qur’an (belum taraf seluruhnya, hanya sebagian juz saja). Walaupun begitu sekolah IT mampu mengembalikan budaya menghafal Al Qur’an di tengah masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan dan menghargai pendidikan akademis. Semisal kita hitung ada 30 sekolah islam terpadu yang lulusannya mampu mengusai 1 juz (juz 30 saja) maka akan memberi kontribusi 900 penghafal Al Qur’an per tahun (1 sekolah diasumsi meluluskan setidaknya 30 siswa setiap tahun).[19]
Sayangnya kebanyakan siswa sekolah IT tak melanjutkan jenjang yang lebih tinggi di sekolah yang sama, ada yang memilih sekolah negeri karena dipandang lebih memiliki prospek ke depan. Siswa yang meninggalkan bangku sekolah IT memiliki kesulitan dalam memelihara hafalannya karena budaya menghafal al qur’an tidak di bawa ke rumah rumah mereka. Maka tak heran banyak siswa lulusan IT yang menurun jumlah hafalannya padahal pernah menguasai 5 juz lancar diluar kepala.
Terlepas dari hal itu kita harus mengakui pentingnya sekolah IT dalam membumikan Al Qur’an di Indonesia. Perannya sebagai lembaga sekolah formal yang diakui pemerintah dalam hal mutu juga patut menjadi pelajaran bagi sekolah sekolah islam pada umumnya. Dalam menghadapi era global tentu kebutuhan akan ilmuan yang tak hanya pandai dalam hal akademis tapi juga dalam akhlaq dan spiritualitasnya menjadi kebutuhan yang pokok. Karena teknologi yang berkembang sedemikian pesatnya takkan mampu mengubah peradaban manusia menjadi lebih baik tanpa individu-individu yang memiliki keterpaduan pengetahuan sains dan Islam.
1.       Madrasah
Madrasah adalah tempat pendidikan yang memberikan pedidikan dan pengajaran yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Yang temasuk kedalam kategori madrasah ini adalah lembaga ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Mu’allimin, Mu;allimat serya diniyyah.
Madrasah tidak lain adalah kata Arab untuk sekolah, artinya tempat belajar. Istilah madrasah ditanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun di indonesia ditukan untuk sekolah-sekolah islam yang mata pelajaran utamanya adalah mata pelajaran agama islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem di dunia pesantren yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pokok dari suatu psantren. Sedangkan pada sistem madrasah, tidak harus ada pondok, masjid dan pengajian kitab-kitab islam klasik. Unsur-unsur yang diutamakan di madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat keras, perangkat lunak, dan pengajaran mata pelajaran islam.
Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem pendidikan pesantern gaya lama, yang dimodifikasikan menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal. Di samping memberikan pengetahuan agama, diberikan juga pengetahuan umum sebagai pelengkap. Inilah ciri madrasah pada mula berdirinya di indonesia sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. sesuai denagn falsafah Negara Indonesia, maka dasar pendididkan madrasah adlah ajaran agama islam, falsafah Negara pancasila dan UUD 1945.[20]
Bertitik tolak dari prinsipmadrasah ini, maka pendidikan dan pengajarannya  diarahkan untuk membentuk manusia pembangunan yang pancasilais yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan penuh tenggang rasa, dapat menyburkan sikap demokrasi, dan dapat mengembagkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.
Pada masa awal berdirinya, sebagian beasar madrasah di indonesia masih lebih banyak memberikan ilmu-ilmu keagamaan daripada ilmu-ilmu umum, namun terjadilah perubahan yaitu setelah keluarnya surat keputusan bersama tiga menteri (SKB 3) yaitu menteri Agama, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan menteri Dalam Negeri. Maka semua madrasah mengubah kurikulumnyamenjadi 30 % bidang studi agama dan 70 % bidang studi umum. Hal tersebut belaku bagi madrasah yang dikelola oleh departemen Agama dalam hal ii madrasah negeri, sedangkan madrasah swasta ada beberapa variasi yakni 60 % bidang agama dan 40 % bidang studi umum.dan ada juaga yang masih tetap yakni 70 % bidang studi agama dan 30 % bidang studi umum.[21] Agar mata pelajaran umum dimadrsah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum  disekolah umum, dilakukan peningkatan di bidang :
·         Kurikulum
·         Buku pelajaran, alat pendidikan lainnya dan sarana pendidikan umumnya.
·         Pengajar.[22]
Dengan demikian berarti:
1.       Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan islam menjadi mantap dan kuat.
2.       Pengetahuan umum pada madrasah akan lebih baik.
3.       Fasilitas fisik dan peralatan akan lebih disempurnakan.
4.       Adanya civil effect dan terhadap ijazah madrasah.
Adapun beberapa cirri dari madrasah adalah :
·         Lembaga pendidikan yang mempunyai tata cara yang sama denagn sekolah.
·         Mata pelajaran agama islam di madrasah dijadiakan mata pelajaran pokok, di samping diberikan mata pelajaran umum.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan madrasah pemerintah memberi bantuan :
1.       Di bidang pengajaran umum
Pengadaan buku-buku pelajaran pokok dan alat-alat pendidikan lainnya.
1.       Di bidang pengajaran
Penataran dan perbantuan ngajar.
1.       Di bidang sarana fisik
Pembangunan gedung sekolah.[23]
Menurut Mahmud Yunus sebuah madrasah harus memenuhi tujuan pendidikan islam,  terlihat pada gagasannya yang menghendaki agar lulusan dari madrasah tidak kalah dengan lulusan penddidikan yang belajar disekolah-sekolah yang sudah maju, bahkan lulusan pendidikan dari madrasah tersebut mutunya lebih baaik dari lulusan sekolah-sekolah yang sudah maju. Yaitu, lulusan yang selain dalam bidang ilmu-ilmu umum, juga memiliki wawasan kepribadian islami yang kuat. Dengan cara demikian para peserta didik dapat meraih dua kebahagiaan secara seimbang, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.[24]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar