SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Oleh : Muhammad Ulil Albab
ASPEK KEJIWAAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

A. Pendahuluan
Islam sangat memperhatikan terahadap perkembangan jiwa manusia terutama pengawasan yang menyeluruh terhadappendidikan yang meliputi pendidikan terhadap indidvidu dan masyarakat. Juga seluruh tahap pertumbuhan manusia, yaitu: sejak dari masa kehamilan, proses kelahiran, masa tumbuh kembang,masa kanak-kanak,masa remaja, masa dewasa (dewasa awal), dan masa tua (dewasa menengah serta akhir. Islam berbicara pada akal denagan berbagai hokum untuk menerima dan mendidiknya, serta membuka esensi kemanusiaannya untuk menerima pendidikan dan pengajaran. Setelah itu menjadikan hati nurani sebagaian dari akal, karena memang pada hati nurani itu selalu ada bagian dari akal. Para nabi dan rasul diutus untuk menjadi pengajar, pendidik, penunjuk (kepada jalan yang benar), dan penyampai risalah.kitab-kitab diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang, jalan yang lurus, dengan seizin Allah SWT.ilmu ditetapkan bagi manusia agar mereka mau belajar dan mengajarkan.
Rasulullah SAW pernah bersabda :
ليس منى إلا عالم أومتعلم
Artinya :
“Bukanlah termasuk kaumku orang yang tidak belajar dan mengajarkan (ilmu yang didapatnya setelah dipelajari).
Islam juga menjelaskan dengan tepat dan ketat tentang cara mendidik dan mengajar, serta menetapkan bagi mereka yang mampu untuk melaksanakannya dengan tanggung jawab penuh .

B. Permasalahan
1. Hal-hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam belajar?
2. Bagaimanakah yang dinamakan belajar dan mengajar menurut para ahli?
C. Pembahasan
1. Tiap anak mempunyai kecerdasan yang berbeda
Perbedaan individu satu dengan yang lain, disebabkan adanya perbedaan kepribadian dan juga karena intelegensi atau dengan lainnya. Kecerdasan merupakan masalah penting bagi dunia pendidikan. Karenanya perlu bagi pendidik mempunyai pengetahuan tentang hal ini, dan menggunakannya sebaik-baiknya.
Setiap anak mempunyai angka kecerdasan yang berbeda-beda, dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan, mulai dari yang termasuk kategori idiot (IQ 49 Kebawah), dan sampai yang termasuk kategori genius dengan IQ 140 ke atas. Anak idiot akan menjadi beban orang lain, dan biasanya tidak berumur panjang.
Anak imbecile setingkat lebih tinggi dari idiot, karena kelompok ini trainable, dan dapat menguasai keterampilan yang sederhana lewat pendidikan khusus.
Golongan Moron (IQ 50-69), mampu melayani diri sendiri dan dapat dididik serta diajari hal-hal yang sederhana.
Golongan genius kemampuan berfikir dan pengalamannya pada tingkat penalaran tinggi, karenanya mampu melaksanakan kegiatan yang kreatif dan inventif. Ternyata dari hasil penelitian, anak yang berbakat mempunyai kondisi fisik lebih baik, lebih kuat dan lebih sehat dari anak yang normal.

2. Tahap-tahap perkembangan mempunyai ciri tertentu
Pendidik dapat mengatur strategi pendidikan yang mendasarkan kepada kesiapan anak untuk menerima memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan anak.
Kemampuan anak berkembang mengikuti pertumbuhanya dan merupakan cirri perkembangan kejiwaannya. Sehingga dapat kita bedakan cirri-ciri pertumbuhan anak atas:
a. Ciri pertumbuhan anak TK
Gambaran umum tentang pertumbuhan kejiwaan anak TK antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana telah mulai berubah.
2. Mulai mengenal kehidupan social dan pola social yang berlaku dan yang dimanifestasikan.
3. Menyadari dirinya dengan anak lain yang mempunyai keinginan dan perasaan tertentu.
4. Masih tergantung pada orang lain, dan memerlukan perlindungan orang lain.
5. Belum dapat membedakan antara yang nyata dan khayal.

b. Ciri perkembangan kejiwaan anak SD
Apabila pertumbuhan masa TK sudah dijalani secara wajar, maka akan segera diperlihatkan oleh anak-anak gambaran cirri-ciri pertumbuhan kejiwaan anak SD yang antara lain:
1. Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
2. Kehidupan sosialnya diperkaya dengan kemampuan bekerjasama dan bersaing dalam kehidupan kelompok.
3. Kemampuan berfikir masih dalam tingkat perseptional.
4. Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat.
5. Dalam kegiatan-kegiatanya belum membedakan jenis kelamin dan dasar yang digunakan adanya kemampuan dan pengalaman yang sama.

c. Ciri pertumbuhan kejiwaan anak SMTP
Pada akhir SD, sudah mulai nampak cirri-ciri pertumbuhan kejiwaan anak SMTP, yang makin lama semakin jelas. Adapun cirri-ciri pertumbuhan kejiwaan anak sekolah menengah itu antara lain:
1. Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak
2. Mampu berkomunikasi pikir dengan orang lain
3. Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain
4. Tumbuh pengertian tentang konsepsi norma dan moral
5. Mampu membuat keputusan diri

d. Ciri-ciri perkembangan kejiwaan orang dewasa
Pada masa ini anak akan memperlihatkan cirri-ciri perkembangan sebagai berikut:
1. Memiliki kemantapan emosi
2. Kemampuan menyesuaikan diri semakin mantab
3. Sanggup memenuhi hak dan kewajiban kelompok sepenuhnya.
4. Kreatifitas mulai menurun, sesuai dengan menurunnya fisik
5. Telah mencapai internalitas perbuatan moral

3. Diwajibkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فأبواه يهودانه أوينصرانه أويمجسانه (ع طب هق) عن الاسود ابن سريع (صح)
Keterangan hadits:
(ع) لابن يعلى في
(طب) للطبرانى فى الكبير
(هق) له فى السنن
(صح) صحيح
Artinya:
“Setiap anak terlahir dalam keadaan suci,. Sehingga tergantung kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan Yahudi, Nasroni, atau Majusi”.

Hadits di atas menjelaskan bahwa, anak dilahirkan dalam keadaan suci. Ia membuka kedua matanya pada kehidupan dunia untuk melihat ibu dan anaknya yang menjaga dalam segala urusannya. Ia melihat benda-benda dengan penglihatan orang tuanya dan memperhatikan bentuk-bentuk melalui mata mereka. Ia beranggapan, bahwa ibu dan ayahnya adalah segalanya di dunia ini. Ia mengharapkan cinta dan kasih sayang dari keduanya. Ia berpaling pada mereka untuk mendapat perlindungan dan perawatan, serta berlari kepada mereka untuk mengadukan masalah kecil maupun besar yang dialaminya. Ia mencurahkan pertanyaan yang tak ada habisnya kepada mereka berdua, hingga banyak orang tua yang kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anaknya. Sedangkan si anak (hanya) akan puas dengan jawaban (yang didapat dari) orang tuanya. Ia mempercayai keduanya, dengan keyakinan penuh, tanpa ragu dan tanpa membantah. Setiap jawaban yang didengarnya dari orang tuanya, tak peduli itu jawaban yang konyol atau mendidik, jawaban benar atau bohong.
Pikiran anak, pada masa balita, seperti tanah yang memungkinkan bagi orang tuanya untuk dibentuk sekehendak mereka. Jiwanya seperti kertas putih yang memungkinkan ayah dan ibunya untuk menulis apapun dikertas itu, menurut keinginannya. Anak pada masa ini, ditandai dengan sifat senang meniru dan mencontoh aktifitas dan perilaku kedua orang tuanya. Karena itu kedua orang tua memikul tanggung jawab yang terbesar terhadap perilaku anak-anak mereka di masa kecil.Mereka juga memegang tanggung jawab utama untuk mendidik, mempersiapkan, membudayakan dan mengarahkan anak-anak mereka kepada jalan yang dicintai serta diridhoi Allah SWT.

4. Proses belajar mengajar
Para ahli pendidikan berbeda pendapat dalam merumuskan definisi belajar-mengajar yang disebabakan oleh adanya perbedaan dalam: Mengidentifikasi data: menafsirkan fakta: penggunaan terminology dan konotasi istilah: penekanan terhadap aspek-aspek tertentu.
Di samping factor-faktor tersebut, mengajar adalah suatu proses yang kompleks yang tidak hanya sekedar menyampaikan informasi oleh guru terhadap siswa tetapi banyak hal dan kegiatan yang harusdipertimbangkan dan dilakukan.Oleh karena itu, rumusan pengertian mengajar tidak sederhana yang dibayangkan. S. Nasution merumuskan pengertian mengajar sebagai berikut:
1. Mengajar ialah menanamkan pengetahuan kepada murid
2. Mengajar ialah menyampaikan kebudayaan kepada anak, dan
3. Mengajar ialah aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan dengan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar mengajar.
Definisi mengajar yang dikemukakan di atas mengandung pemahaman sebagai berikut:
Definisi pertama, mengajar bertujuan agar ana dapat meguasai pengetahuan yang diberikan oleh gur, di mana anak hanya bersifat pasif sedangkan guru bersifat akti. Pengajaran demikian disebut ”teacher centered”.
Definisi kedua, sama halya dengan definisi pertama, dimaksudkan agar anak dapat mengenal kebudayaan bangsa dan dunia, bahkan anak tidak hanya sekedar mengenal kebudayaan tetapi turut menciptakan kebudayaan yang baru sesuai dengan tuntutan zama yang selalu berubah.
Definisi ketiga, berbeda dengan yang pertama dan kedua, yakni suatu usaha guru untuk mengatur dan mengorganisir lingkungan sehingga dapat tercipta sesuatu situasi dan kondisi yang baik bagi siswa dalam belajar. Dengan demikian anak dapat belajar secara aktif dan guru berperan sebagai pembimbing dan pengorganisir terhadap kondsi belajar anak. Belajar ini dinamakan dengan “pupil cenceted” dan peran guru disebut sebagai “manager of learning” Hasibun dan Mudjiono memberikan definisi mengajar adalah penciptaan system lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar.
Terjadinya proses tingkah laku disebabkan oleh adanya interaksi antar subyek didik (anak) dengan lingkungannyaOleh karena itu perubahan tingkah laku seorang dapat terjadi karena dua hal, yakni:
1. Fakta intern, yaitu faktor dimensi dalam menerima perubahan.
2. Faktor ekstern, yaitu lingkungan yang dapat merangsang, menunjang, dan memperlancar proses belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu usaha bagaimana mengatur lingkungan dan adanya interaksi subyek didik (anak) dengan lingkungannya sehingga dapat tercipta kondisi belajar yang baik.
Bila mana pengertian belajar ditujukan untuk penguasaan bahan pelajaran semata, akan memberi makna yang terlalu sempit dan bersifat intelektualistis. Para ahli berpendapat bahwa belajar buka sekedar penguasaan bahan akan tetapi terjadinya perubahan tingkah laku anak sehingga terbentuk suatu kepribadian yang baik.
Timbul perbedaan definisi belajar demikian disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan disiplin ilmu para pakar pendidikan. Hal ini dapat dikemukakan benerapa definisi belajar sbagai berikut:
1. Menurut teori Ilmu Jiwa Daya, belajar adalah usaha melatih daya-daya agar berkembang sehingga dapat berfikir, mengingat dan sebagainya. Menurut teori ini jiwa manusia terdiri dari berbagai daya seperti: daya berfikir, mengingat, perasaan, mengenal, kemauan dan sebagainya. Daya-daya tersebut berkembang dan berfungsi bila dilatih dengan bahan-bahan dan cara-cara tertentu.
2. Menurut teori Ilmu Jiwa Asosiasi, belajar berarti membentuk hubungan-hubungan, stimulus respond a melatih hubungan-hubungan tersebut agar bertalian dengan erat. Pandangan teori ini dilatarbelakangi leh pendapa baha jiwa manusia terdiri dari asosiasi berbagai anggapan yang masuk ke dalam jiwa. Asosiasi tersebut dapat terbentuk karena adanya hubungan antara stimulus dan respon.
3. Menurut teori Ilmu Jiwa Gestalt, belajar ialah mengalami, berbuat, bereaksi dan berfikir secara kritis. Pandanga ini dilatarbelakangi oleh tanggapan bahwa jiwa manusia bukan terdiri dari elemen-elemen, tetapi merupakan suatu system yang bulat dan bersruktur. Jiwa manusia hidup dan di dalamnya terdapat prinsip aktif di mana individu selalu cemerlang untuk beraktifitas dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Dari beberapa pendapat di atas, nampakya terdapat beberapa perbedaan istilah tentang belajar, namun pada hakikatnya ada kesamaan pandangan tentang bagaimana usaha mengaktifkan berfikir, bereaksi, dan berbuat terhadap suatu obyek yang dipelajari sehingga timbul suatu pengalaman baru dalam diri seseorang.

5. Memulai pendidikan dan pengarahan anak dari kecil.

أدبوا أولادكم على ثلاث حصال حب نبيكم وحب أهل بيته وقراءةالقران فان حمله القران فى ظل الله يوم لاظل إلا ظله مع انبيائه وأصفيائه, أبو نصر عبد الكريم الشيرازى فى فوائده (فر) وابن النجار عن على (ض)
(فر) للديلمى فى مسند الفردوس keterangan Hadits
(ض) الضعيف
Artinya:
“Ajarkan anak-anak kalian tiga hal: mencintai Nabi kalian, mencintai keluarga Nabi dan membaca Al-qur’an. Karena pemelihara Al-qur’an berada di bawah naungan Allah dihari kiamat, ketika hanya ada naungan-Nya saja, bersama-sama dengan para Nabi-Nya dan orang-orang yang disucikan.
Hadits di atas dapat kami jelaskan bahwa, diantara kurikulum islam dalam pendidikan adalah mengajari anak-anak menghafal Al-qur’an dari kecil. Al-qur’an membangun perilaku dan akhlak, juga memelihara lisan, mengokohkan akidah serta menjamin masa depan pemuda.
Keberhasilan dalam mengajar anak menghafal Al-qur’an yang pertama berasal dari peran serta orag tua yang mengarahkan anak-anaknya. Yang kedua, yaitu dengan memilih pendidik yang tepat bagi mereka seperti yang disampaikan oleh orang-orang yang terdahulu yang sholeh, juga pada kholifah pendahulu. Mereka semua menyeleksi pengajar, pendidik dan guru dari kalangan orang-orang yang terhormat yang dipercayai agama, akhlaq serta perilakunya. Mereka mempercayakan pedidikan anak-anak mereka kepada para pengajar dan menggambarkan bagi mereka rencana yang ekseklusif.
Di samping itu, metode pendidikan yang dilakukan oleh orang tua atau guru (yang dipercaya) dapat menggunakan cara memberi hadiah dan hukuman untuk melatih anak menghafalkan Al-qur’an. Atau stimulasi dengan syarat hadiah, dan juga pujian yang diberikan untuk mempengaruhi anak serta mengikuti kecenderungan jiwanya dan membebaskan pribadinya. Dan usaha untuk menyebarkan kebajikan di jalan tersebut khususnya dalam dua masa pertumbuhan, yakni kanak-kanak dan pemuda. Sedangkan hokum, ancaman, peringatan, seharusnya disembunyikan dan dirahasiakan. Atau diberikan dengan penjelasan yang cukup dan juga penjelasan itu dikuatkan dengan nasihat dan bimbingan, menjahui trend yang merusak serta tersebarnya kemungkaran dan kesesatan.

6. Tugas sekolah dalam pendidikan
Sekolah adalah pihak ketiga yang terkait dalam urusan pendidikan. Dan tidak kurang penting dari rumah maupun masyarakat. Bahkan perbedaan waktu, tempat serta factor-faktor peradaban yang lain, peran sekolah dapat melampaui peran rumah maupun masyarakat. Sekolah harus dimulai dengan melaksanakan pengarahan secara umum yang menerima bimbingan masyarakat dan kebudayaannya. Demikian pula dengan pendidikan rumah tangga, keluarga, dan kedua orang tua. Agar sekolah melaksanakan tugas mendidiknya yakni merealisasikan tujuan yang ingin dicapai. Dan berperan serta dalam memikul tanggung jawab umum dalam mempersiapkan manusia yang sholeh dan membangun generasi yang lebih maju, Juga membangun individu yang memiliki keyakinan mantab dan perilakunya yang sehat.
Dan sekolah melaksanakan kewajiban sucinya melalui kurikulum pendidikan serta buku-buku pendidikan yang digunakan juga oleh para guru.
1. Kurikulum yang digunakan harus serius dan membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan ke dalam akal para pemuda hal-hal yang bermanfaat dalam agama dan dunia mereka.
2. Buku-buku panduan yang digunakan harus benar dan ilmiah, konstruktif serta mendidik. Buku berpengaruh terhadap perilaku, dan memotifasi pelajar untuk membacanya, mempelajari serta mengkajinya.
3. Guru atau pengajar adalah batu pijakan dalam pendidikan pengajaran dan dakwah.
Guru adalah sumber penyinaran pertama, kira-kira untuk menolong para pelajar dan pemuda juga generasi muda dengan seluruh hal negative yang melekat pada mereka (kaum muda). Untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya terang dan sekaligus menjaga mereka dari kerusakan serta kesasatan. Kemudian mengembalikan mereka kepada syari’at yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai realisasi dari firman_Nya:
    ••          
Artinya:
Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

7. Cara menggerakkan motivasi belajar siswa
Guru dapat menggunakan berbagai cara untuk menggerakkan atau membangkitkan motivasi belajar siswanya ialah sebagai berikut.
1. Memberi angka 7. Penilaian
2. Ujian 8 Karya wisata
3. Hadiah 9. Film pendidikan
4. Kerja kelompok 10. Belajar melalui radio
5. Persaingan
6. Tujuan dan level of aspiration
8. Mengajar atau mendidik anak lebih baik daripada shodaqoh ini sesuai dengan hadits Nabi SAW.
لأن يؤدب الرجل ولده خير له من أن يتصدق بصاع (ت) عن جابر بن شمورة (ض)
(ت) للترمذى Keterangan hadits
(ض) ضعيف
Artinya:
“ barang siapa melatih anakmu adalah lebih baik daripada bersedekah setiap hari satu Sha’”
D. Simpulan
1. Tiap-tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda maka dari itu kecerdasan merupakan masalah yang penting sekali bagi dunia pendidikan
2. Kemampuan anak berkembang mengikuti pertumbuhan dan merupakan cirri perkembangan bagan kejiwaannya mulai dari TK, SD, SMTP, dan Dewasa
3. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci seperti halnya kertas putih yang memungkinkan ayah dan ibunya untuk menulis apapun dikertas itu.
4. diantara teori-teori tentang belajar ialah usaha untuk melatih daya-daya agar berkembang sehingga dapat berfikir, mengingat dan sebagainya.
5. Arti belajar diantaranya adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar mengajar yang sesungguhnya.

E. Referensi
• Al Jami’ Asshogir, Darul Ihya’. Indonesia
• Ahmadi, Abu, Nur Uhbiyati,Ilmu Pendidikan,Jakarta,Rineka cipta,1991
• Zuhaili,Muhammad,pentingnya pendidikan Islam sejak dini,Jakarta,A.H Ba’adillah press,2002
• Usman,M,Basyiruddin,metodologi pembelajaran Agama Islam,Jakarta,Ciputat pree,2002
• Oemar hamalik,Proses belajar mengajar,Jakarta.Bumi Aksara,2004

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

EVALUASI KURIKULUM PAI

Oleh : Muhammad Ulil Albab
EVALUASI KURIKULUM PAI

I. PENDAHULUAN
Di dalan suatu pendidikan kurikulum adalah suatu yang sangat penting, karena menyangkut aspek-aspek kegiatan pembelajaran. Dan juga mutu kurikulum sangat berpengaruh terhadap nasip masa depan para anak didik serta kualitas masyarakt setempat. Dengan kurikulum yang baik, suatu bangsa dan Negara dapat mempertahankan eksistensinya dalam pengembangan dn perubahan kurikulum yang harus dipikirkan dengan sebaik-baik mungkin.
Kurikulum dirancang dari tahap perencanaan orgniasasi, pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Begitu pentingnya suatu kurikulum, maka perlu diadakan usahakontinew untuk memperbaikinya yakni dengan mengadakan evaluasi kurikulum. Tanpa evaluasi, maka tidak akan dimengerti bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya.maka dari permasalahan yang ada seperti ini maka saya akan membahas yang sesuai dengan judul evaluasi kurikulum PAI.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan tujuan pelaksanaan kurikulum PAI?
2. Bagaimana model-model evaluasi kurikulum?
3. Bagaimana evaluasi kurikulum PAI saan ini?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Secara harfiah, kata kurikulum berasal dari bahasa inggris, “evaluation” dalam bahasa Arab: At- Taqdir dalam bahsa Indonesia berarti ; penilaian sedangkan arti lain adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu .
Davis mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana memberikan atau menetapakan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, obyek, orang yang masih banyak yang lain.
Sedangkan Wand dan Brown mengemukakan bahwa evaluasi lebih dipertegas lagi, dengan batasan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi secra umum dapat diartikan sebgai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, obyek, orang yang masih banyak yang lain) berdasarkan tertentu melalui penilaian .
Jadi evaluasi kurikulum adalah proses sistematis untuk menentukan dan membentuk keputusan apakah suatu kurikulum yang edang berjlan atau telahn di jalankan suidah sesuai dengan kurikulum yang telah di tetapkan dalam rancangan .

B. Tujuan Evaluasi
tujuan evaluasi yang komperhensif dapat di tinjau dari tiga dimensi, yakni dimensi I (formatif-sumatif) dimensi II (produk-proses) dimensi III operasi keseluruhan proses kurikulum atau hsil belajar siswa). Masing-masing dimensi berdiri atas dua komponen sehingga keseluruan evaluasi terdiri atas enam komponen yang saling berkaitan.
a) Dimensi I
- Formatif yakni tujuan guna menemukan masalahsepanjang pelaksanaan kurikulumsehingga dapat mengadakan perbaikan sedini mungkin.
- Sumatif yakni tujun evaluasi guna mengetahui efektifitas kurikulum dengan menggunakan semua data yang di kumpulkan selama pelaksanaan dan akhir proses implementasi kurikulum. Evluasi ini dilakukan pada akhir jangka waktu tertentu.
b) Dimensi II
- Proses yakni tujun evaluasi guna mengetahui metode dan proses yang digunakan dalam implementai kurikulum.
- Produk yakni tujun evaluasi guna mengetahui hasil-hasil yang nyata, yang dapat dilihat seperti silabus, satuan pelajaran, dan alat-alat pelajaranyang dihasilkan oleh guru dan hasil-hasil siswa berupa hasil tes.
c) Dimensi III
- Operasi yakni untuk mengethui keseluruhan prose pengembangan kurikulum yang meliputi perencanaan, desain, implementasi, administrasi, pengawasan, dan penilian. Juga biaya dan staf pengajar, penerima siswa dan seluruh operasi lemnaga pendidikan.
- Hasil belajar siswa evaluasi guna mengetahui hasil belajar siswa bertalian tujuan kurikulum yng harus dicapai, dinilai berdasarkan standar yanmg telah di tentukan .

C. Model-Model Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum ini merupakan suatu tema luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi banyak prosedur, bhkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Adapun model-model evaluasi kurikulum antara lain:
1. Evaluasi Model Penelitian
evaluasi model ini berdsarkan atas teori dan metode tes psikologi serta eksperimenlapangan. Tes psikologi pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu te intelegensi yan di tujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur prilaku skolastis. Model ini sesuai untuk mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi.
Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang mewnggunakan eksperimern lapangan yakni dengan mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok anak, misalakan menggunkan dua metode belajar yang berbeda. Kemudian dibandingkan, manakah yang lebih baik dan berhasil. Namun, dalam eksperimen tersebut terdapat beberapa kesulitan antara lain:
a. kesulitan administrative: sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen.
b. Maalah teknis dan logis, kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji .
2. Evaluasi model objektif
Evaluasi model ini diprakarsai oleh Tyler an merupakan yang paling banyak digunakan. Model ini berorientasi pada hasil belajar dan seperangkat objektif. Tyler mengrtikn evaluasi merupakan sebagai usaha untuk meneliti apakah tujuan pendidikan tercapai melalui pengalaman belajar yang lebih mengutamakan hasil(produk) belajar . Model ini kemudian berkembang dengan tidak mengutamakan produk tetapi juga memperhatikan proses dan kondisi belajar yang mempengaruhi hasil belajar.
3. Evalusi model campuran multivariasi
yakni strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dri pendekatan penelitian dan objektif. Strategi ini memumkinkan perbandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak tiap keberhailannkurikulum di ukr berdasarkan criteria khusus dari masing-masing kurikulum.
Model ini menggunakan computer sehingga tidak terhambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah pengolahan statistic dapat dikerjakan dengan computer. Beberapa kesulitan yang di hadapi dalam model campuranmultivariasi ini antara lain:
a. lebih sesuai digunakan untuk evaluasikurikulum sekolah dasar.
b. Terlalu banyak varibel yang perlu dihitung pada suatu saat, kemampuan computer hanya sampai 40 variabel, sedangkan model ini dpat dikumpulkan sampai 300 variabel.
c. Adanya masalah saat menggunakan pendekatan penelitian yakni terkait dengan masalah pembandingan .

D. Evaluasi Kurikulum PAI
Pendidikan agama islam merupakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilaifundamental islam, dimana setiap muslimterlepas dari displin ilmu apapun yang akan dikaji. Namun, persoalan yang kemudian muncul adalah pratek dan realita social yangterjadidi Indonesia, sering kali menjadi tolok ukur berhailatau tidaknya suatu –pendidikan agama islam diskolah. Buruknya kehiodupan social di indonesia ditanmdai dengan praktekj hidup korup, tingginya penggunaan narkoba serta kehidupan yang matrealistik menjadi pendidikan agama islam disekolah sebagai pihak yang memikul tanggung jawb.
Ketua majlis Indonesia K.H. Sahal Mahfudz, menilai bahwa pendidikan agama islam selama ini belum bisa mempengaruhi system etika dan moral peserta didik, intelektual sekaligus aktifis pendidikan, Haidar Bagir menilai pendidikan agama islam tidak tidak lebih dari formalisme belaka, yang tidak ‘berbekas’ pada anak didik pendidikan agama islam menurut bagirhanya terfokus pada arah kognisi sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika telah mampu menghafaldan menguasai materi, bahkan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama islam seperti nilai keadilan, menghormati, silaturrahim, dsb, dihayati sungguh-sungguh dan kemudian di praktekkkan . ini menunjukkan bahwa p-endidikan agama islam selama inji lebih memfokuskan pada aspek kognitif dan kurang dapat melakukan transfer nilai yang harus diaplikasikan serta actual bagi kehidupan siswa. Akibatnya materi dalam kurikulum penmdidikan agama islam hnya di paham sebgai pengetahuan semata yang cukup hanya di mengerti dan dihafalkan, yang akhirnya PAI menjadi seperti “bonsai” yang hanya cukup untuk memperindah ruangan.
Oleh karena itu Perlu adanya revitalisasi pendidikan agama islam yang melibatkan semua pihak yang terkait baik orang tua, guru, maupun masyarakat, perlu mengkaji proses dan struktur terbentuk aspek afektif dalam prosespembelajaran agama islam. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka revitalisasi pendidikan agama islam antara lain:
a. melakukan penilaian pencapaian belajr yang berorientasi pada aspek afektif.
b. Mengubah cara pandang terhadapa kurikulumpendidikan agama islam.
c. Adanya pendekatan yang bersifat values clarification dalam pembelajan PAI.
d. Mengubash strategi pembelajaran dari model ceramah ke yang lebih lua seperti: diskusi, wawancara dengan tokoh, pembuatan buku harian dsb.
Selain diatas itu, pendidikan agama islam ini akan mampu meningkatkan EQ para siswa. Hal ini sangat penting karena dalam era globalisasi, par siswa harus memiliki daya saing global. Pendekatan klarifikasi nilai pendidikan agama islam ini akan mampu meningkatkan EQ para sisw agar mereka memiliki keunggulan kompetitif secara global . Hal ini sesuai dengan etos ajaran islam yang dikenal dengan fastabiqul khairat.


IV. KESIMPULAN
Berbagi pembhasan yang sudah pemakalah terangkan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu serbagai berikut:
1. Evaluasi kurikulum adalah proses sistematis untuk menentukan dan membentuk keputusan apakah suatu kurikulum yang edang berjlan atau telahn di jalankan sudah sesuai dengan kurikulum yang telah di tetapkan dalam rancangan .
2. Tujuan evaluasi kerikulum adalah menyajikan informasi tentang area-area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan dan penyesuaian dengan perkembangan IPTEK dan kebutuhan masyarakat
3. Model evaluasi kurikulum ada tiga yaitu Evaluasi Model Penelitian, Evaluasi model objektif, Evalusi model campuran multivariasi.
4. Evaluasi kurikulum PAI saat ini masihdi perioritaskan pada segi kognii sehiungga perlu adanya revitalisasi kurikulum PAI.


V. PENUTUP
Demikian makalah yang bias kami sampaikan, makalah ini psatinya jauh dari kesempurnaan, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuannya kami. Denagnm tangan terbuka dan lapang dada kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dengan rendah hati kami akan mendengar saran kritik, guna mengevaluasi makalah ini, semoga makalaah ini memberi manfaat bagi kita. Amin…..




REFERENSI

• Dimyati dan mujiono, belajar dan pembelajaran, PT. Rineka Cipta, Jakarta 1996
• S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Bumi Aksara, Jakarta, 1989
• Nana Shodih Sukmadinata, pengembangan kurikulum teori dan praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997,
• S. Nasution, pengembangan kurikulum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1953
• Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
• Ahmad Habibullah dkk, Kajian peraturan perundang-undangan pendidikanagama pada sekolah, Pena ctasatra, Jakarta,2008
• Suyanto dan Dhihar Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melenium III, Adcita Karya Nusa, yogjakarta, 2000

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM

Oleh : Muhammad Ulil Albab
BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM


I. PENDAHULUAN
Pada umumnya manusi diciptakan tidak lain halnya untuk menuntut ilmu yang mana itu adalah bagian dari suatu kehidupan. Ketika anak tidaka tahu akan apa itu belajar dan pada anaka bangsa ini akan rusak. Kami masih ingat apa pesan dari guru kami beliau mengatakan bahwa ilmu ketika tidak di amalkan maka akan rusak dan ketika amal tanpa ilmu akan sesat. Maka dari situlah kami berfikiran bahwa belajar kunci dari keberhasilan dan tidak hanya sendirian akan tetapi bagaimana kita bersosial. Dan mengamalkan maka itu akan menjadikan anak didik berprestasi dalam belajar.
Tapi belajar tu sendiri masih merupakan satu kegiatan yang terjadi di dalam diri seseorang yang sukr untuk di amati secara langsung. Hal ini masih menjadi masalah bagi anak didik karena semua itu belum dimengerti, dan para pengikut belajar akan mengalami perubahan. Ketika kita melihat dari kata belajar pasti lebih mengacu pada pembelajarn atau pelatihan seperti membaca menulis dan belajar pada suatu lembaga tertentu untuk mencapai jenjang pendidakan yang tinggi. Dengan adanya permasalahan seoerti ini sesuati dengan pembahasan kami bagaimana dengan belajar menurut persefektif psikologi islam. Ini yang menjadi masalah dalam pembahasan pada pemakalah kami.

II. RUMUSAN MASALAH
Dari permasalahan yang ada di atas kami mencoba memunculkan permasalahan sebagai berikut:
1. Pengertian belajar dalam perspektif psikologi islam ?
2. Bagaimana Proses Belajar Itu Berlangsung ?
3. Beberapa teori belajar ?
4. Factor – factor yang mempengaruhi belajar ?




III. PEMBAHASAN
Pengertian Belajar Dalam Persefektif Psikologi Islam
Ketika kita dengar kata belajar pasti kita berfikir bahwa itu adalah suatu proses latihan yang mana dengan kita belajar pasti kita akan dapat pengetahuan atau ilmu. Ada orang yang beranggapan bahwa belajar sebagai latihan belaka seperti tampak pada latihan membaca, dan menulis. Berdasarkan persepsi yang seperti ini biasanya sudah berhasil apabila anak-anak mereka mampu memperlihatkan ketrampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenahi arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Ini berarti berhasil atau tidaknya itu tergantung pada proses belajar mengajar yang di alami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun dilingkungan rumah atau keluarga sendiri.
Terbentuknya suatu pembelajaran akan membawa suatu prestasi bagi siswa bahwa itu juga termasuk keberhasilan sutu pembelajaran. Prestasi belajar adalah tingkat pengetahuan . Semisalnya ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya.
Dalam arti lain belajar menurut pendapat tradisional, belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, dalm arti pendidkan intelektual. Ada pendapat dari ahli pendidikan modern yang mengatakan bahwa Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri manusia yang ditanyakan dalam cara-cara bertingkash laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.
Menurut Withherington dalam bukunya Educational Psycholofy mengemukakan “ belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian” .
Dari pengertian di atas bahwa belajar adalah proses perubahan menyangkut dari berbagi aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis. Seperti halnya perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapa, kebiasaan ataupun sikap.

Bagaimana Proses Belajar Itu Berlangsung
Manusia dan mahluk hidup linnya saling membutuhkan untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk mencapai apa yang di inginkan manusia selalu senantiasa belajar guna untuk perkembangan penetahuan. Namun ada beberapa macam yang perlu di perhatikan dalam proses belajar, diantaranya adalah :
a. Belajar dan kematangan.
Yang dimaksud dengan kematangan adalah proses pertumbuhan organ-organ. Suatu organ bisa di katakan matang apabila organ tersebut bisa menjalankan fungsinya masing-masing. Dan kematangan itu akan datang dengan sendirinya. Sedangkan belajar lebih membutuhkan latihan-latihan dan konsentrasi dari orang terebut. Kedua proses ini sangat berhubungan erat satu sama lain dan saling menyempurnakan.
b. Belajar dan penyesuaian diri.
Penyesuaian diri merupakan juga suatu proses yangb dapat merubah tingkah laku manusia. Penyesuian ini meliputi dua hal yaitu ; mengubah dirinya sesauai dengan keadaan lingkungannya dan merubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan dirinya.
c. Belajar dan pengalaman
Belajar dan pengalaman keduanya merupakan suatu proses yang dapat merubah perilaku, sikap. Mungkin kalo hanya belajar saja tidak cukup maka dari itu di butuhkan sebuah pengalaman. Pengalaman ini bisa dalam bentuk pengalaman yang sedih atau pengalaman yang menyenangkan.
d. Belajar dan bermain
Dalam bermain juga proses belajar . persamaannya ialah bahwa keduanya bisa merubah tingkah laku, sikap dan pengalaman. Akan tetapi, keduanya adalah kegiatan bealajar yang mempunyai tujuan yang terletak pada masa depan. Dan proses belajar bermain hanya berlaku pada waktu itu saja.
e. Belajar dan menghafal.
Menghafal tidak sama dengan belajar. Menghafal adalah sesuatu yang menjamin bahwa oaramng tersebut sudah belajar dalam arti sebenarnya. Dan untuk mengetahui tidak cukiup hanya dengan menghafal tetapi juga membutuhkan yang namanya pengertian.
f. Belajar dan latihan.
Persamaannya belajar dan latihan adalah keduanya dapat menyebabkab perubahan / proses dalam tingkah laku, sikap dan pengetahuan. Akan tetapi, anatar keduanya terdapat pula perbedaan. Di dalam praktek terdapat pula proses belajar yang terjadi tanpa latihan.umpanya : seorang anaka tangannya terbakar, sekali saja ia tahu bahwa kalo api itu panas, jadi, belajar mempunyai arti yang lebih luas dari pada latihan.

Teori Dalam Belajar
Meemperjelas lebih jauh tentang belajar dalam pembahasan kali ini adalah apa saja teri-teori dalam belajar, yang merupakan hasil penyelidikan para ahli psikologi pernah penelitian tentang aliran psikologinya masing-masing.
Adapun mengenai teori – teori dalam belajar diantaranya adalah sebagai berikut ;
a) Teori classical conditioning.
Yang dimaksudkan dengan teori classical conditioning adalah cedrung mengarah gerakan-gerakan reflek. Sehingga dengan demikian dapat di bedakan menjadi dua macam refleks, yaitu reflek wajar (keluar air liur ketika lihat oarng makanan yang lezat) dan refleks bersyarat (keluar air ketiak melihat orang memberikan makanan dan mendengarkan langkah kakiknya).
Namun dalam teori classical conditioning ada semacam kelemahan, diantaranya adalah :
- Proses belajar itu dapat di amati langsung, padahal belajar dalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar, kecuali hanya sebagian gejalanya.
- Peristiwa proses belajar manusia yang dianalogkan dalam perilaku hewan itu sangat sulit di terima, mengingat ada perbedaaan yang tajam antar keduanya.
- Peristiwa belajar itu bersifat otomatis seperti mesin dan robot padhal seseorang yang beljar itu memiliki self control untuk menolak atau merespon Sesutu bila tidak ia kehendaki .
b) Teori instrumental conditioning
Menurut skinner tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau operant ini diperngaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya jadi disini lebih ditekankan pada peran atau tingkah laku.
Sebagaiman operan condisioning adalah pengkondisian pembentukan prilaku seseorang yang di sebabkan adanya rangsangan, sehingga membawa efek yang sama terhadap lingkungan . Jadi maksudnya salh satu proses pembentukan prilaku yang diebabkan adanya rangsangan yang membwa efek dilingkungan ekitar sehingga pembinaan perilaku repon tersebutdapat terwujud.
Ada beberapa prosedur dalam pembentukan tingkah laku peserta didik, dintaranya adalah:
- Identifikasi mengenai hal-hal apa yang menjadi reinforce (stimulus penguat) bagi prilku yang akan dibentuk
- Analisis untuk mengidentifikasikan komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku-perilaku yang dimaksud. Lalu disusun dalam urutan yang tepat menuju kepada terbentuknya perilaku tersebut.
- Mempergunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan semntara.
- Melakukan pembentukan perilakudengan mengguanakn urutan-urutan komponen yang telah disusun. Sehingga tngkah laku yang dimaksud akan terbentuk .
Dalam pembahsan ini kelemahan dari teori ini adalah sama dengan kelemahan dari teori yang pertama.dn pada dasarnya teori ini adalah kelanjutan dari teri yang pertama
c) Teori kognitif learning.
Dalam teori kognitif learning ini lebih mengarah kepada kegiatan kognitif dan tingkah laku dalam hubungannya dengan situasi tertentu. Dalam hal ini ada perpaduan antara kognitif dan psikologi islam dalam tingkah laku dan ada lima kategori untuk menerangkan tingkah laku ;
a. Kemampuan penyusun (menghasilakn kognisi dan tingkah laku tertentu).
b. Menyusun strategi dan membentuk pribadi.
c. Harapan tingkah laku dan hasil stimulus dalam situasi tertentu.
d. Nilai stimulus yang subjekti ; motivasi dan timbulnya stimulus.
e. Sitem pengaturan diri dan perencanaan.
d) Teori social.
Dalam teori social yang terpenting adalah kemampuan seseorang untuk mengabstrakanbinformasi dari perilaku orang lain, mengam,bil keputusan mengenai perilaku mana yang akan di tiru dan kemudian melakukan perilaku-perilaku uang dipilih. Dan ada tiga asumsi dasar yang perlu di perhatikan, yaitu ;
- Hakikat proses belajar.
- Hubungan antar individu dengan lingkungan.
- Hasil belajar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
Dari pembahasan diatas sudah dijelaskan tentang beljar akan tetapi suatu pembelajaran itu dikatakan berhasil atau tidaknya itu tergantung kepada factor-faktornya, factor ini di bedakan menjadi dua macam, yaitu ;
a. factor yang ada pada diri oraganisme itu sendiri yang disebut factor individual antara lain fakotr kematngan atau pertumbuhan, kecerdasan latihan, motivasi, dan factor pribadi.
b. faktor yang ada diluar individual disebut social antar lain factor social adalah keluarga atau keadaan ruamah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang digunakan dalam mengajar,lingkungan, dan kesempatan yang tersedia dan motivasi social.
.

IV. SIMPULAN
- Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri manusia yang ditanyakan dalam cara-cara bertingkash laku yang baru berkat pengalaman dan latihan:
- Adapun mengenai teori – teori dalam belajar diantaranya adalah sebagai berikut ;
a) Teori classical conditioning.
b) Teori instrumental conditioning
c) Teori kognitif learning.
d) Teori social.
- factor-faktornya, factor ini di bedakan menjadi dua macam, yaitu ;
1. factor yang ada pada diri oraganisme itu sendiri yang disebut factor individual
2. faktor yang ada diluar individual disebut social antar lain factor social adalah keluarga atau keadaan ruamah tangga, guru dan cara mengajarnya

V. PENUTUP
Demikian makalah yang bias kami sampaikan, makalah ini pastinya jauh dari kesempurnaan. Dengan tangan terbuka dan lapang dada kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dengan rendah hati kami akan mendengar saran kritik, guna mengevaluasi makalah ini,

VI. REFERENSI
Bastaman, Hanna Djumahna, Integrasi Psikologi Islam Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1995
Wasty Sumntono. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta Malang,1983
Suryadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, PT Raja Grafindo. Jakarta. 1989
http://psikologiislam-mujib.blogspot.com/2008/03/psikologi-islam-islamic-psychology_30.html
http://www.acehforum.com/search belajar dan pengetahuan
Abdul Rahman Shaleh , Psikologi Suatu Pengantar dalam persepektif islam. Perenda Media, Jakarta, 2004.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PROSPEK GURU PAI KEDEPAN

Oleh : M. Ulil Albab
PROSPEK GURU PAI KEDEPAN
Dalam tulisan ini saya ingin mencoba menajamkan kembali perspektif pendidikan agama islam tentang guru. Bacaan ini penting untuk dieksplore pada tulisan ini mengingat kedudukan guru PAI sebagai bagian tak terpisahkan dari manifesto pendidikan Islam di sekolah umum. Profesi guru dalaam pendidikan Islam dianggap sebagai profesi yang mulia. Bahkan kedudukan seorang guru adalah setingkat di bawah kedudukan para Nabi. Posisi guru yang mulia ini disebabkan peranya yang strategis dalam membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk sehingga orang lain selamat di dunia dan akherat.
Meningginya jumlah calon guru-guru yang menganggur atau guru-guru yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ta’dib atau tarbiyah agaknya sejalan dengan menguatnya budaya “mengguruhi”(bukan mendidik) di Negara kepulauan ini. Istilah Guru bukan mudarris juga bukan mu’addib, tetapi jelas berasal dari bahasa sankrit dan budaya hindhu India yang berarti orang yang dipandang ampuh, terhormat dalam bidang pengajaran agama atau “a personal religius teacher and spiritual guide in Hinduism” .
Implikasi logis dari positioning guru yang mulia ini adalah adanya penghormatan dari siswa kepada gurunya. Penghormatan ini di satu sisi akan menguatkan brand image guru yang memang diperlukan dalam proses pendidikan. Namun demikian, penghormatan berlebihan kepada guru yang mewujudkan pada pengkultusan pribadi guru yang justru akan memasung sikap atau nalar kritis yang dimiliki oleh para muridnya. Diskripsi tipologi relasi guru dan siswa dalam khasanah islam konservatif (salafi) dapat kita baca dalam buku Ta’lim al-Muta’alim yang di karang oleh Alzarnuji. Dimana kitab salafi itu menjadi referensi penting dalam dunia pendidikan, namun di satu sisi oleh para aktifis pendidikan kitab itu mendapat kritikan yang tajam, karena content dari kitab itu sebagian menggambarkan relasi guru dan siswa yang sangat sakral dan dibatasi, dimana seoarang siswa tidak boleh bertanya kepada guru sebelum guru memberikan waktu, kemudian larangan membantah kepada guru dll.
Tampaknya kompetensi guru dalam perspektif pendidikan Islam banyak yang sesuai dengan kompetensi guru yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan umum. Kesesuaian ini terutama menyangkut tentang kompetensi kepribadian guru. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan metodologi pengajaran, seperti yang dirumuskan para tokoh Islam diatas, ada yang perlu disesuiaikan dengan teori pendidikan yang telah berkembang.
Disnilah dapat kita baca secara jelas bahwa substansi dari PAI dapat dikategorikan sebagai pendidikan nilai (value education), karena misi utamanya adalah menanamkan nilai Islam ke dalam diri siswa atau peserta didik, di samping memberikan bekal pengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, penekanan utama adalah pada pembentukan (charcter building) siswa agar sesuai dengan kepribadian sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Itulah sebabnya, PAI lebih menekankan pada ranah afektif dan psikomotorik daripada hanya sekedar kognitif seperti tercemin dalam kurikulum PAI tahun 1994.
Instrument guru merupakan salah satu instrument terpenting dalam pendidikan nilai karena posisinya sebagai sumber identifikasi nilai moral atau sumber keteladanan bagi peserta didik. Itulah sebabnya, keberadaan guru PAI menjadi sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Keberadaan guru PAI tidak bisa digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain, karena guru PAI tidak semata-mata berperan dalam kegiatan transfer of knowledges saja.
Bisa kita lihat moral anak bangsa pada saat ini sangat jauh dari pribadi beragama. ini bisa kita lihat pembuktian tadi, bahwa pemerintah sekalipun tidak mempermasalahkan guru PAI di tiap daerah tidak mendapatkan perhatian khusus seperti guru mata pelajaran lainnya, sekarang mari kita lihat berapa orang guru mata pelajaran PAI yang honorer dan guru bantu, contohnya saja di daerah ku Tasikmalaya, di sana amat banyak sekali guru honorer yang sampe 5 tahun belom diangkat sebagai PNS,
Perlu diketahui, tunjangan sertifikasi guru PAI dibayarkan sebesar sebulan gaji sesuai dengan golongan masing-masing. Dari 23 guru tersebut, tunjangan selama 6 bulan itu ada menerima sampai Rp 14 juta. Pihaknya berharap, dengan dicairkannya tunjangan sertifikasi, para guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
СТ Sesuai ketentuan penerima tunjangan sertifikasi ialah guru yang sudah mengajar minimal 24 jam dalam sepekan. Dari data yang sudah dikumpulkan dan pengecekan ke lapangan, guru yang menerima tunjangan sudah memenuhi syarat. Tapi jika nantinya didapati ada yang tidak memenuhi syarat, tunjangan yang telah diterima itu harus dikembalikan ke kas Negara,ТТ ujar Asnawi. Maka dari itu tidak hanya sertifikasi guru saj akan tetapi kompetensi seorang guru sangatlah penting untuk terciptanya anak bangsa yang beragama baik dan tujuan pendidikan juga tercapai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENGARUH METODE DEMONSTRASI PADA MATA PELAJARAN FIQIH TERHADAP PEMAHAMAN SISWA KELAS VIII MTS IBTIDAUL FALAH DAWE KUDUS TAHUN PELAJARAN 2008/2009"

Nama : M. Ulil Albab
NIM : 107060
Jurusan : Tarbiyah / PAI

PENGARUH METODE DEMONSTRASI PADA MATA PELAJARAN FIQIH TERHADAP PEMAHAMAN SISWA KELAS VIII MTS IBTIDAUL FALAH DAWE KUDUS TAHUN PELAJARAN 2008/2009"
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan gambaran judul diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih di MTs. Ibtidaul Falah Kelas VIII Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009 ?
2. Bagaimana pemahaman siswa kelas VIII di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009 ?
3. Adakah pengaruh signifikan antara metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih dengan pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Kelas VIII Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009 ?
B. Metode Pengumpulan Data
Penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian kancah (field research) dengan pendekatan kuantitatif, maka untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dengan menempuh beberapa teknik pengumpulan data yang terdiri:
a. Angket (kuesioner)
Teknik angket merupakan suatu pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan pertanyaan-pertanyaan kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar pertanyaan.
b. Interview (wawancara)
Adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada responden dari jawaban.
Metode ini digunakan penulis untuk memperoleh data tentang tinjauan historis, pelaksanaan pendidikan yang memerlukan penjelasan dari kepala sekolah, guru, karyawan, dan sebagainya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yakni teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian tersebut. Teknik ini digunakan penulis untuk memperoleh data atau gambaran umum mengenai keadaan guru siswa, struktur organisasi sekolah, serta data-data lain yang diperlukan selama penelitian.
d. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Observasi dapat menggunakan cara dengan alat indera atau dengan bantuan alat video, tape rekaman. Digunakan untuk mengetahui kondisi metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih terhadap pemahaman siswa kelas VIII MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus Tahun Pelajaran 2008/2009.
C. Data Uji Instrumen
1. Uji Validitas Instrumen
Uji validitas instrument adalah pengujian untuk membutikan bahwa instrument yang digunakan itu valid maksudnya instrument yang berupa angket tersebut itu dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Adapun dalam melakukan pengujian validitas instrument menggunakan pengujian validitas konstruksi (construct validity) yaitu dengan mengkorelasikan antara skor item instrument untuk keperluan ini maka diperlukan bantuan komputer yaitu dengan menggunakan SPSS.
a. Uji Validitas Instrumen Variabel Metode Demonstrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih (X)
Untuk mengetahui hasil korelasi antara skor item dengan skor total dapat diperoleh dengan bantuan SPSS dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4
Validitas Instrumen Variabel Metode Demonstrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih (X)
No Item r Korelasi N=30, Tabel r Product Moment Keterangan Validitas
1 0.422 0.361 Valid
2 0.532 0.361 Valid
3 0.616 0.361 Valid
4 0.443 0.361 Valid
5 0.507 0.361 Valid
6 0.441 0.361 Valid
7 0.474 0.361 Valid
8 0.441 0.361 Valid
9 0.414 0.361 Valid
10 0.410 0.361 Valid
11 0.493 0.361 Valid
12 0.586 0.361 Valid
13 0.362 0.361 Valid
14 0.578 0.361 Valid
15 0.516 0.361 Valid
Dari hasil di atas dapat dianalisa bahwa item X1 jika dikorelasikan dengan skor total mendapatkan nilai sebesar 0,422. Apabila dikonsultasikan dengan harga r tabel dengan signifikan 5% (0,361) maka item X1 lebih besar dari harga r tabel, sehingga item X1 dapat dinyatakan valid. Untuk item selanjutnya seperti keterangan di atas.
b. Uji Validitas Instrumen Variabel Pemahaman Siswa (Y)
Tabel 5
Validitas Instrumen Variabel Pemahaman Siswa (Y)
No Item r Korelasi N=30, Tabel r Product Moment Keterangan Validitas
1 0.379 0.361 Valid
2 0.475 0.361 Valid
3 0.456 0.361 Valid
4 0.689 0.361 Valid
5 0.399 0.361 Valid
6 0.510 0.361 Valid
7 0.455 0.361 Valid
8 0.409 0.361 Valid
9 0.582 0.361 Valid
10 0.451 0.361 Valid
11 0.473 0.361 Valid
12 0.367 0.361 Valid
13 0.382 0.361 Valid
14 0.564 0.361 Valid
15 0.558 0.361 Valid
Dari hasil di atas dapat dianalisa bahwa item Y1 jika dikorelasikan dengan skor total mendapatkan nilai sebesar 0,379. Apabila dikonsultasikan dengan harga r tabel dengan signifikan 5% (0,361) maka item Y1 lebih besar dari harga r tabel, sehingga itemx1 dapat dinyatakan valid. Untuk item selanjutnya seperti keterangan di atas.
2. Uji Reliabilitas Instrumen
Uji reliabilitas instrument adalah pengujian untuk membuktikan bahwa instrument yang berupa tes itu mempunyai nilai reliabiltias yang tinggi, maksudnya tes tersebut mempunyai hasil yang konsisten dan keajegan dalam mengukur apa yang hendak diukur Agar data yang diperoleh dengan cara penyebaran kuesioner tersebut valid dan reliabel, maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan cronbach alpha. Instrument dikatakan reliabel jika memiliki cronbach alpha lebih besar dari 0.60.
a. Uji Reliabilitas Instrumen Varibael Metode Pada Mata Pelajaran Fiqih(X)
Secara internal reliabilitas instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu. Penelitian ini digunakan analisis reliabilitas dengan internal consistensi, yaitu dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian dianalisa dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen. Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan rumus alfa cronbach.
Selanjutnya pada uji reliabilitas SPSS dari reliability coefisients 15 items, diketahui alpha sebesar 0,847, maka lebih besar dari 0,60. Jadi dapat disimpulkan bahwa reliabilitas dari konstruk atau variabel metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih (X) termasuk dalam kategori tinggi. (lihat pada lampiran uji reliabilitas)
b. Uji Reliabilitas Instrumen Varibael Pemahaman Siswa (Y)
Secara internal reliabilitas instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu. Penelitian ini digunakan analisis reliabilitas dengan internal consistensi, yaitu dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian dianalisa dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen. Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan rumus alfa cronbach.
Dari hasil analisis SPSS pada uji reliabilitas instrumen variabel pemahaman siswa yang dilakukan, hasil cronbach alpha sebesar 0.840 angka ini jauh di atas dari 0.60. Jadi dapat disimpulkan bahwa reliabilitas dari konstruk atau variabel pemahaman siswa (Y) termasuk dalam kategori tinggi. (lihat pada lampiran uji reliabilitas)
D. Data Hasil Angket Tentang Metode Demonstrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih dengan Pemahaman Siswa Kelas VIII di MTs Ibtidaul Falah Samirejo Dawe kudus
1. Hasil Angket Tentang Metode Demonstrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih
Untuk memperoleh data tentang metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih, peneliti menggunakan metode angket yaitu memberikan pertanyaan secara tertulis kepada 45 responden sebanyak 15 item pertanyaan yang masing-masing item tersebut mempunyai alternatif jawaban dan masing-masing alternatif jawaban mempunyai jawaban skor sebagai berikut:
- Untuk skor a dengan nilai 4
- Untuk skor b dengan nilai 3
- Untuk skor c dengan nilai 2
- Untuk skor d dengan nilai 1
Tabel 6
Hasil Angket Metode Demontrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih (X)
No Resp Jawaban
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 2 3 4 2 3 3 3 4 4 4 3 3 2 4 4 48
2 4 3 2 2 3 2 2 3 4 4 4 2 3 2 4 44
3 4 4 4 2 2 4 4 4 2 4 4 4 4 2 2 50
4 4 4 4 1 3 4 4 3 4 4 2 4 4 2 3 50
5 3 2 3 3 2 3 3 2 4 3 2 2 3 2 3 40
6 4 4 4 4 2 4 4 4 3 2 4 3 4 3 3 52
7 4 3 3 3 2 4 4 3 4 3 4 3 4 3 3 50
8 4 2 2 4 2 3 3 3 4 3 3 3 3 2 2 43
9 3 3 2 2 1 1 1 2 4 2 2 2 1 2 2 30
10 2 2 3 2 2 3 3 2 3 3 2 2 3 2 2 36
11 4 3 4 2 2 4 4 2 4 4 4 2 4 2 4 49
12 3 3 4 2 2 3 3 2 4 3 3 2 3 2 2 41
13 2 3 3 4 2 3 3 2 2 3 2 2 4 4 2 41
14 4 4 4 3 1 3 1 2 4 2 2 3 4 2 2 41
15 4 4 4 3 1 4 4 3 4 2 2 4 4 3 3 49
16 4 4 4 1 2 4 4 4 4 2 2 4 4 4 3 50
17 4 3 3 3 2 4 4 2 4 3 2 3 4 3 3 47
18 4 4 2 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56
19 3 3 2 1 1 4 4 2 4 3 3 3 4 2 3 42
20 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 57
21 2 3 4 2 2 1 3 3 2 2 3 3 4 2 3 39
22 4 3 2 4 1 4 4 2 4 4 2 4 4 2 3 47
23 3 3 2 1 3 2 2 2 4 4 2 4 3 2 2 39
24 4 3 2 4 2 1 3 2 4 4 3 2 3 2 3 42
25 2 3 4 1 3 2 2 3 4 3 2 1 3 3 2 38
26 3 3 3 4 2 4 4 3 4 2 4 2 4 4 4 50
27 4 2 2 4 2 3 3 4 4 4 2 2 4 2 2 44
28 4 4 3 1 2 3 3 3 4 3 3 2 4 3 4 46
29 2 4 3 4 3 4 4 1 4 3 3 3 4 2 4 48
30 4 4 2 2 3 4 4 2 4 3 2 2 4 4 2 46
31 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 57
32 4 4 4 4 4 4 3 2 3 1 4 2 3 4 4 50
33 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 58
34 2 3 4 3 1 3 2 4 1 2 3 2 2 3 3 38
35 3 2 3 4 4 4 3 2 2 4 4 4 3 4 4 50
36 4 3 3 3 3 3 4 2 3 3 2 3 4 3 3 46
37 4 3 2 4 2 4 4 4 3 2 1 3 1 2 2 41
38 4 3 3 2 3 4 4 2 3 3 2 3 4 3 3 46
39 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1 4 1 4 4 54
40 3 4 4 3 2 3 4 4 1 1 1 2 2 3 4 41
41 2 3 3 4 4 3 2 1 4 4 4 3 4 4 3 48
42 3 2 2 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 2 50
43 2 3 4 3 3 3 4 3 1 3 2 1 2 3 3 40
44 4 4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 56
45 2 3 4 3 4 3 1 2 3 1 2 3 2 1 1 35
Jumlah 2065
2. Hasil Angket Tentang Pemahaman Siswa
Memperoleh data tentang pemahaman siswa, peneliti menggunakan metode angket yaitu memberikan pertanyaan secara tertulis kepada 45 responden sebanyak 15 item pertanyaan yang masing-masing item tersebut mempunyai alternatif jawaban dan masing-masing alternatif jawaban mempunyai jawaban skor sebagai berikut:
- Untuk skor a dengan nilai 4
- Untuk skor b dengan nilai 3
- Untuk skor c dengan nilai 2
- Untuk skor d dengan nilai 1
Tabel 7
Hasil Angket Pemahaman Siswa (Y)
No Resp Jawaban
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 3 3 2 3 4 4 2 4 3 3 3 4 3 3 3 47
2 4 3 2 2 3 2 4 3 4 4 4 2 3 2 4 46
3 3 3 2 3 4 4 2 4 3 3 3 4 4 3 4 49
4 2 4 2 3 3 4 1 4 3 4 4 4 3 4 4 49
5 3 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 3 3 3 44
6 4 3 2 4 3 4 2 4 4 3 3 4 3 4 4 51
7 3 3 2 3 4 4 2 4 3 3 3 4 3 4 3 48
8 3 3 4 3 4 2 2 4 4 4 3 4 4 3 3 50
9 2 1 2 1 2 2 2 4 3 2 1 3 3 3 3 34
10 3 2 4 2 2 2 2 4 3 2 1 3 3 3 2 38
11 3 3 3 3 3 2 2 4 3 3 4 3 3 3 3 45
12 4 3 2 4 3 4 2 4 3 4 3 4 3 4 4 51
13 3 3 2 3 3 2 2 4 3 3 4 4 4 4 3 47
14 2 2 3 3 3 4 2 4 3 3 3 4 3 4 3 46
15 2 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 3 3 4 44
16 4 4 4 3 4 4 2 4 3 3 4 4 3 4 4 54
17 2 3 3 3 2 2 2 4 3 3 3 4 3 3 3 43
18 3 3 4 4 3 2 4 4 3 3 3 4 4 4 4 52
19 3 2 2 3 3 4 2 4 3 3 3 3 3 3 3 44
20 4 3 3 4 3 4 2 4 3 4 4 3 3 3 4 51
21 3 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 3 3 3 3 43
22 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 3 4 3 3 4 48
23 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 2 3 3 3 3 45
24 2 3 2 4 3 4 2 4 3 4 4 4 3 4 4 50
25 4 2 3 3 2 3 2 4 3 2 4 4 4 3 4 47
26 3 2 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 3 4 4 45
27 3 3 3 4 3 4 2 4 3 3 3 4 3 3 3 48
28 3 3 2 3 3 1 2 4 3 3 3 3 3 3 3 42
29 4 4 3 1 1 2 2 4 2 3 3 4 4 3 3 43
30 3 2 2 3 2 4 2 4 2 2 4 3 3 3 3 42
31 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 2 3 4 4 55
32 4 4 2 3 4 4 4 3 2 2 3 4 4 4 2 49
33 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 56
34 2 3 2 3 4 3 2 1 2 3 1 2 3 3 2 36
35 4 4 3 2 3 4 4 4 3 2 2 4 4 4 3 50
36 3 3 4 3 2 3 2 3 4 2 3 3 2 3 4 44
37 3 3 3 2 1 2 2 2 4 4 3 2 3 3 3 40
38 3 4 4 3 3 2 3 1 4 2 3 3 2 3 4 44
39 3 4 4 4 4 4 3 2 3 4 3 3 4 4 4 53
40 2 3 2 4 4 3 1 2 4 2 2 3 3 3 2 40
41 4 3 2 3 3 2 3 3 4 3 4 4 4 3 2 47
42 3 4 3 2 2 3 4 4 3 3 4 4 4 3 3 49
43 4 3 2 1 2 3 3 3 1 3 2 3 3 3 2 38
44 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 2 3 4 3 4 53
45 3 2 2 3 2 3 1 2 2 2 1 2 2 3 2 32
Jumlah 2072

E. Uji Asumsi Klasik
Berdasarkan hasil pengujian gejala penyimpangan klasik terhadap data penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Uji Normalitas Data
Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dengan melihat test of normality.
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas adalah melihat test of normality dengan hasil SPSS sebagai berikut:

Kriteria:
Adapun kriteria pengujian normalitas data
1) Variabel X
a) Angka signifikan > 0,05, maka data berdistribusi normal
b) Angka signifikan < 0,05, maka berdistribusi tidak normal Dengan demikian variabel X angka signifikan 0,200 > 0,05 maka distribusi normal.
2) Variabel Y
a) Angka signifikan > 0,05, maka data berdistribusi normal
b) Angka signifikan < 0,05, maka berdistribusi tidak normal Dengan demikian variabel Y angka signifikan 0,200 > 0,05 maka distribusi normal.
2. Uji Homogenitas Data
Uji homogenitas pada prinsipnya ingin menguji apakah sebuah grup (data kategori) mempunyai varians yang sama diantara anggota grup tersebut. Jika varians sama, dan ini yang seharusnya terjadi, maka dikatakan ada homogenistas. Sedangkan jika varians tidak sama, maka dikatakan terjadi heteroskedatisitas.
Salah satu cara termudah untuk melihat homogenitas adalah melihat test of homogeneity of variance dengan hasil SPSS sebagai berikut:



Kriteria:
Jika probabilitas (Sig) > 0,05, maka Ho diterima
Jika probabilitas (Sig) < 0,05, maka Ho ditolak Dari tabel di atas, diketahui nilai probabilitas variabel X sebesar 0.294, sedangkan nilai probabilitas variabel Y sebesar 0.444. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedua mempunyai nilai lebih besar dari angka signifikan 0.05, maka Ho diterima. 3. Uji Linieritas Data Uji linieritas data adalah uji untuk menentukan masing-masing variabel bebas sebagai predictor mempunyai hubungan linieritas atau tidak dengan variabel terikat. Dalam hal ini penulis menggunakan uji linieritas data menggunakan scatter plot (diagram pencar) seperti yang digunakan untuk deteksi data outler, dengan memberi tambahan garis regresi. Oleh karena scatter plot hanya menampilkan hubungan dua variabel saja, maka pengujian data dilakukan dengan berpasangan tiap dua data. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut: 1) Jika pada grafik mengarah ke kanan atas, maka data termasuk dalam kategori linier. 2) Jika pada grafik tidak mengarah ke kanan ke atas, maka data termasuk dalam kategori tidak linier. Untuk mengetahui adanya linieritas antara variabel X (metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih) dengan variabel Y (pemahaman siswa), dapat dilihat pada garfik regresi linier menurut SPSS adalah: Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih terdapat korelasi dengan pemahaman siswa, hal ini ditunjukkan dengan adanya garis regresi yang mengarah ke kanan, sehingga ini membuktikan adanya linieritas pada hubungan dua varibel. F. ANALISIS DATA Kemudian untuk membuktikan ada tidaknya serta untuk mengetahui diterima tidaknya hipotesis yang penulis ajukan, maka di sini akan dibuktikan dengan mencari koefisien korelasi antara variabel X yaitu tentang metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih dengan variabel Y yaitu pemahaman siswa kelas VIII di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus. Kemudian langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut: 1. Analisis Data Tentang Metode Demonstrasi Pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus Untuk mengetahui metode pada mata pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus, maka peneliti akan menyajikan data yang diperoleh dari penyebaran angket untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk dihitung nilai rata-rata (mean) dari data yang terkumpul melalui angket variabel X yang terdiri dari 15 item soal, yaitu: Tabel 8 Skor Nilai Angket Metode Pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus No Alternatif Penskoran Skor Resp. A B C D 4 3 2 1 Total 1 6 6 3 0 24 18 6 0 48 2 5 4 6 0 20 12 12 0 44 3 10 0 5 0 40 0 10 0 50 4 9 3 2 1 36 9 4 1 50 5 1 8 6 0 4 16 12 0 40 6 9 4 2 0 36 12 4 0 52 7 6 8 1 0 24 24 4 0 50 8 3 7 5 0 12 21 2 0 43 9 1 2 8 4 4 6 10 4 30 10 0 6 9 0 0 18 16 0 36 11 9 1 5 0 36 3 18 0 49 12 2 7 6 0 8 21 10 0 41 13 3 5 7 0 12 15 12 0 41 14 5 3 5 2 20 9 10 2 41 15 8 4 2 1 32 12 4 1 49 16 10 1 3 1 40 3 6 1 50 17 5 7 3 0 20 21 6 0 47 18 13 0 2 0 52 0 4 0 56 19 4 6 3 2 16 18 6 2 42 20 13 1 1 0 52 3 2 0 57 21 2 6 6 1 8 18 12 1 39 22 8 2 4 1 32 6 8 1 47 23 3 4 7 1 12 12 14 1 39 24 4 5 5 1 16 15 10 1 42 25 2 6 5 2 8 18 10 2 38 26 8 4 3 0 32 12 6 0 50 27 6 2 7 0 24 6 14 0 44 28 5 7 2 1 20 21 4 1 46 29 7 5 2 1 28 15 4 1 48 30 7 2 6 0 28 6 12 0 46 31 12 3 0 0 48 9 0 0 57 32 9 3 2 1 36 9 4 1 50 33 14 0 1 0 56 0 2 0 58 34 2 6 5 2 8 18 10 2 38 35 8 4 3 0 32 12 6 0 50 36 3 10 2 0 12 30 4 0 46 37 5 3 3 2 20 9 10 2 41 38 4 8 3 0 16 24 6 0 46 39 13 0 0 2 52 0 0 2 54 40 5 4 3 3 20 12 6 3 41 41 7 5 2 1 28 15 4 1 48 42 8 4 3 0 32 15 6 0 50 43 2 8 3 2 8 24 6 2 40 44 11 4 0 0 44 12 0 0 56 45 2 5 4 4 8 15 8 4 35 Jumlah ∑fX=2065 Dari data nilai angket tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui nilai rata-rata atau mean metode pada mata pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 9 Distribusi Frekuensi Metode Pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus Skor Frekuensi (f) Prosentase f . X 30 1 2.2 30 35 1 2.2 35 36 1 2.2 36 38 2 4.4 76 39 2 4.4 78 40 2 4.4 80 41 5 11.1 205 42 2 4.4 84 43 1 2.2 43 44 2 4.4 88 46 4 8.9 184 47 2 4.4 94 48 3 6.7 144 49 2 4.4 98 50 8 17.8 400 52 1 2.2 52 54 1 2.2 54 56 2 4.4 112 57 2 4.4 114 58 1 2.2 58 Total 45 100.0 ∑fX=2065 Kemudian dari tabel disitribusi di atas juga akan dihitung nilai mean dan range dari metode pada mata pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus dengan rumus sebagai berikut: = = 45,89 Setelah diketahui nilai mean, untuk melakukan penafsiran nilai mean yang telah didapat peneliti membuat interval kategori dengan cara atau langkah-langkah sebagai berikut: Keterangan: i : Interval kelas R : Range K : Jumlah kelas Sedangkan mencari range (R) dengan menggunakan rumus: R = H – L + 1 K = Jumlah item x skor tertinggi, a = 4 = 15 x 4 = 60 L = Jumlah item x skor terendah, d = 1 = 15 x 1 = 15 Jadi R = H – L + 1 = 60 – 15 + 1 = 46 Maka diperoleh nilai interval sebagai berikut : i = = = 11,5 dibulatkan 12 Dari hasil interval di atas dapat diperoleh nilai 12, maka untuk mengkategorikan metode pada mata pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus dapat diperoleh interval sebagai berikut: Tabel 10 Nilai Interval Kategori Metode Pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus No Interval Kategori 1 49 – 60 Sangat Baik 2 37 – 48 Baik 3 28 – 36 Cukup 4 15 – 27 Kurang Hasil di atas menunjukkan mean dengan nilai 45,89 dari metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus adalah tergolong baik karena termasuk dalam interval (37-48), artinya metode pendidikan agama Islam rata-rata memiliki pemahaman yang baik sehingga mempengaruhi dalam siswa dalam belajar di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus. 2. Analisis Data Tentang Pemahaman Siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus Untuk mengetahui pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus, maka peneliti akan menyajikan data yang diperoleh dari angket untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk dihitung nilai rata-rata (mean) dari data yang terkumppul melalui angket variabel Y yang terdiri dari 15 item soal, yaitu: Tabel 11 Skor Nilai Angket Tentang Pemahaman Siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus No Alternatif Penskoran Skor Resp. A B C D 4 3 2 1 Total 1 4 9 2 0 16 27 4 0 47 2 6 4 5 0 24 12 10 0 46 3 6 7 2 0 24 21 4 0 49 4 8 4 2 1 32 12 4 1 49 5 2 10 3 0 8 30 6 0 44 6 8 5 2 0 32 15 4 0 51 7 5 8 2 0 20 24 4 0 48 8 7 6 2 0 28 18 4 0 50 9 1 5 6 3 4 15 12 3 34 10 2 5 7 1 8 15 14 1 38 11 2 11 2 0 8 33 4 0 45 12 8 5 2 0 32 15 4 0 51 13 5 7 3 0 20 21 6 0 47 14 4 8 3 0 16 24 6 0 46 15 3 8 4 0 12 24 8 0 44 16 10 4 1 0 40 12 2 0 54 17 2 9 4 0 8 27 8 0 43 18 8 6 1 0 32 18 2 0 52 19 2 10 3 0 8 30 6 0 44 20 7 7 1 0 28 21 2 0 51 21 1 11 3 0 4 33 6 0 43 22 4 10 1 0 16 30 2 0 48 23 2 11 2 0 8 33 4 0 45 24 8 4 3 0 32 12 6 0 50 25 6 5 4 0 24 15 8 0 47 26 4 7 4 0 16 21 8 0 45 27 4 10 1 0 16 30 2 0 48 28 1 11 2 1 4 33 4 1 42 29 5 5 3 2 20 15 6 2 43 30 3 6 6 0 12 18 12 0 42 31 11 3 1 0 44 9 2 0 55 32 8 3 4 0 32 9 8 0 49 33 11 4 0 0 44 12 0 0 56 34 1 6 6 2 4 18 12 2 36 35 8 4 3 0 32 12 6 0 50 36 3 8 4 0 12 24 8 0 44 37 2 7 5 1 8 21 10 1 40 38 4 7 3 1 16 21 6 1 44 39 9 5 1 0 36 15 2 0 53 40 3 5 6 1 12 15 12 1 40 41 5 7 3 0 20 21 6 0 47 42 6 7 2 0 24 21 4 0 49 43 1 8 4 2 4 24 8 2 38 44 9 5 1 0 36 15 2 0 53 45 0 4 9 1 0 12 18 1 32 Jumlah ∑fY=2072 Dari data nilai angket tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui nilai-nilai rata-rata (mean) dari pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 12 Distribusi Frekuensi Tentang Pemahaman Siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus Skor Frekuensi (f) Prosentase f . Y 32 1 2.2 32 34 1 2.2 34 36 1 2.2 36 38 2 4.4 76 40 2 4.4 80 42 2 4.4 84 43 3 6.7 129 44 5 11.1 220 45 3 6.7 135 46 2 4.4 92 47 4 8.9 188 48 3 6.7 144 49 4 8.9 196 50 3 6.7 150 51 3 6.7 153 52 1 2.2 52 53 2 4.4 106 54 1 2.2 54 55 1 2.2 55 56 1 2.2 56 Total 45 100.0 ∑fY=2072 Kemudian dari tabel di atas juga akan dihitung nilai mean dan range dan kelas interval dari pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus sebagai berikut : = = 46,04 Setelah diketahui mean dari pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus, selanjutnya dicari lebar interval untuk mengkategorikan sangat baik, baik, sedang maupun kurang dengan menggunakan rumus: Keterangan: i : Interval kelas R : Range K : Jumlah kelas Sedangkan mencari range (R) dengan menggunakan rumus : R = H – L + 1 H = Jumlah item x skor tertinggi, a = 4 = 15 x 4 = 60 L = Jumlah item x skor terrendah, d = 1 = 15 x 1 = 15 Jadi R R = H – L + 1 = 60 – 15 + 1 = 46 Maka diperoleh nilai interval sebagai berikut : i = = = 11,5 dibulatkan menjadi 12 Dari hasil di atas dapat diperoleh nilai 12, sehingga untuk mengkategorikannya dapat diperoleh interval sebagai berikut: Tabel 13 Nilai Interval Kategori Pemahaman Siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus No Interval Kategori Kode 1 49 – 60 Sangat Baik A 2 37 – 48 Baik B 3 28 – 36 Cukup C 4 15 – 27 Kurang D Hasil di atas menunjukkan mean dengan nilai 46,04 dari pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus adalah tergolong baik karena termasuk dalam interval (37-48), artinya pemahaman siswa di MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus di latar belakangi adanya metode demonstrasi pendidikan agama Islam yang digunakannya. G. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dalam rangka pembahasan skripsi yang dilaksanakan dengan studi pustaka maupun dengan studi lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Mean variabel X, yaitu metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih sebesar 45,89 berarti tergolong baik, karena termasuk dalam interval (37-48), artinya metode demonstrasi pendidikan agama Islam rata-rata memiliki pemahaman yang baik sehingga mempengaruhi dalam pemahaman siswa MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus. 2. Mean variabel Y, yaitu pemahaman siswa kelas VIII sebesar 46,04 berarti tergolong baik, karena termasuk dalam interval (37-48), artinya pemahaman siswa dalam belajar MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus dilatar belakangi adanya metode demonstrasi pendidikan agama Islam yang digunakan. 3. Hasil analisis product moment bahwa studi tentang metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih terhadap pemahaman siswa kelas VIII MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009 sebesar adalah 0,773 kemudian dikonsultasikan dengan taraf signifikan 5% = 0,294 dan 1% = 0,380, sehingga r hitung lebih besar daripada r tabel (ro > rt), artinya adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kedua variabel, yaitu variabel metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih terhadap pemahaman siswa kelas VIII MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009. Besarnya koefisien determinasi (R) sebesar 0,597529 atau 59,75%. Hal ini berarti pengaruh metode demonstrasi pada mata pelajaran Fiqih terhadap pemahaman siswa kelas VIII MTs Ibtidaul Falah Dawe Kudus tahun pelajaran 2008/2009 sebesar 59,75%, sedang sisanya 100%-59,75% = 40,25% yang merupakan pengaruh variabel lain yang belum diteliti oleh penulis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

RELASI AGAMA DAN NEGARA

RELASI AGAMA DAN NEGARA
(Dalam Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama)

oleh: M. Ulil Albab


“Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan ter tentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum Muslimin agar menganut suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasi kan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertim bangkan perkem bangan sosial dan tuntutan zaman.”
Ali Abd al-Raziq


“Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwu judan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.”
Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,
Muktamar NU ke-26 1984


Pendahuluan
Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.
Menguraikan hubungan antara agama dan negara dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah. Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan kompleks. Pokok soal ini telah cukup lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. (Munawir Sadzali, 1990) Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling ber tentangan, mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara.
Pengalaman umat Islam di pelbagai belahan dunia, terutama semenjak berakhirnya perang dunia kedua menunjukkan adanya hubungan yang canggung antara Islam dan negara. (Azyumardi Azra, 1996: 1)
Kecangungan ini kemudian berimplikasi pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur politik masyarakat Muslim; dan secara ipso facto eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga berbeda-beda.
Oleh karena itu, tidak bisa lain kecuali harus dilakukan peng kajian dan penelitian ilmiah yang serius tentang bagaimana sesungguh nya Islam mengkonsepsi “negara”; bagaimana hubungan antara Islam dan negara; apakah Islam sebagai agama tidak membutuhkan negara, oleh karena keduanya memang merupakan dua entitas yang berbeda; Selanjutnya, adakah sesungguhnya negara Islam (dawlah islâmiyah) itu. Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam; Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan sebagai representasi negara Islam. (Musdah Mulia, 2001: 3) Atau, mungkin dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya meng implementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam.
Dari sejumlah pertanyaan di atas, upaya intelektual untuk penyelidikan doktrinal dan empirik terus dilakukan. Secara sederhana, paling tidak penyelidikan tentang negara mengandung dua maksud. (Din Syamsuddin, 1992: 4-7)
Pertama, penelitian itu mencoba untuk menelusuri dan menen tukan sejauhmana Islam menggariskan konsep secara clear-cut tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan. Penghampiran yang menekankan dimensi formalisme dan skripuralisme ini bertunjang pada sebuah premis bahwa Islam memiliki konsep tentang negara.
Kedua, penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam.” Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep kenegaraan, tetapi hanya menawar kan prinsip-prinsip dasar berupa etik-moral tentang kenegaraan. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
Persoalannya adalah data historis tentang relasi Islam dan negara sering menampilkan fenomena kegamangan, kesenjangan seka ligus pertentangan secara frontal-diametral. Membaca sejumlah refe rensi keseja rahan, fenomena itu dapat disederhanakan bersumber pada dua sebab, yaitu; Pertama, adanya perbedaan konseptual antara Islam dan negara yang menimbulkan problem untuk mensinergikan secara praksis di lapangan. Dari sudut teks ajaran, Islam adalah agama multi interpretasi yang dengan mudah membuka peluang bagi terjadinya pluralitas tafsir. Konsekuensinya sudah bisa diduga, tidak akan pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan negara dikaitkan secara pas; Kedua adanya anomali praktik politik dari etika dan moralitas agama. Pemandangan yang ditayang kan dalam sejarah kemanusiaan ternyata justeru tidak berkelindan dengan acuan normatif Islam.

Paradigma Relasi Islam-Negara
Secara kategorial, paling tidak ada tiga paradigma pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan negara. (Bahtiar Effendi, 1998: 6-15) Pertama, paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah. (Muhammad Yusuf Musa, 1963: 18) Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupa kan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidup an. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif. Bahkan, sebagian kalangan melangkah lebih jauh dari itu; mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.
Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama kalang an fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial. (Qamarud din Khan, 1995: 172) Singkatnya, model yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek-aspek legal-formal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini adalah sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran Islam.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam. Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.
Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam, (Masykuri Abdillah: 57) yaitu: [1] Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla (1865-1935), dan [2] Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara total dan meno lak sistem yang dibuat manusia, seperti Khurshid Ahmad, Muhammad Asad, Muhammad Husayn Fadhlallah, Sayyid Quthb (1906-1966), Abu al-A’la Mawdudi (1903-1979), dan Hasan Turabi.
Model pemikiran pertama ini mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan ini telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal yang hanya menekankan dimensi eksteriornya. Kecenderu ngan literalistik ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan ter abaikannya dimensi kontekstual dan interior dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersembunyi di belakang “penampilan-pe nampilan tekstual”nya hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya.
Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama mem butuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.
Paradigma kedua memandang bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah. (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1983: 23) Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur`an yang seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang ilmu politik. Menurut aliran pemikiran ini, istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al-Qur`an. Istilah dawlah memang ada, tapi bukan bermakna negara. Istilah ini dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Hanya dalam perjalanan waktu, makna harfiyah ini telah berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan itu selalu berpindah tangan.
Sungguhpun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat kedua ini mengakui bahwa al-Qur`an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang kemudian menjadi landasan bagi aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip keadilan (al-‘adâlah), kesamaan (al-musâwah), per saudaraan (al-ukhuwwah) dan kebebasan (al-hurriyah). Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara ber pegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterap kannya adalah sesuai dengan ajaran Islam (islâmy).
Dengan alur argumentasi semacam ini, menurut pandangan kedua, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Sebagai kebalikan aliran dan model pemikiran yang pertama, maka yang kedua ini menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal-formal. Bagi pendapat ini, yang pokok adalah negara--karena posisinya yang bisa menjadi instrumen dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama--dapat menja min tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah Mohamad Husayn Haykal (1888-1956), (Husayn Haikal, 1993) Muhammad Abduh (1849-1905), Fazlurrahman (1919-1988), dan Qamaruddin Khan.
Ketiga, paradigma sekularistik yang menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai gantinya, diajukan lah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973),Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Sa’id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).

Dilema Negara Pancasila: Sikap Nahdlatul Ulama
Ketika Orde Baru berada dalam puncak kejayaan kekuasaannya muncul kebutuhan mendasar untuk mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara dan satu-satunya asas bagi organisasi keagama an dan kemasyarakatan. Kebutuhan ini tentu saja menimbulkan kontroversi paradigmatik yang luar biasa di kalangan semua komponen bangsa, terutama umat Islam: antara mengikuti kehendak politik Orde Baru dan menolaknya untuk menegakkan “negara Islam”. Ini sebuah dilema besar bagi bangsa Indonesia yang dalam kenyataannya terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis dan bahasa, dan puluhan agama, sementara mayo ritas penduduknya beragama Islam di mana gagasan mendirikan negara Islam masih belum pupus dari cita-cita gerakan sebagian penduduknya.
Dilema ini masih berlanjut, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organi sasi Kemasyarakatan, tetapi begitu Orde Baru tumbang dari kekuasaan nya, gagasan pendirian “negara Islam” muncul kembali. Upaya mencan tumkan kembali isi Piagam Jakarta ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 oleh sebagian gerakan Islam pada Sidang Tahunan MPR 2000 dan 2002 adalah bukti masih bersemainya gagasan politik tersebut. Meski berbagai indoktrinasi politik telah dilakukan oleh negara untuk meyakinkan pilihan NKRI dan Pancasila sebagai pilihan ideologi paling tepat bagi bangsa Indonesia yang pluralistik ini, tetapi gagasan itu tetap saja selalu hadir kembali pada saat menemukan momentum politiknya.
Di sinilah upaya pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya dari pemikiran keagamaan.
Bagi organisasi Nahdlatul Ulama sebetulnya diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah dapat dianggap selesai. Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 yang memutus kan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan memulih kan kembali NU menjadi organisasi keagamaan sesuai dengan Khitthah (Semangat) 1926. Melalui forum keagamaan kultural Bahstul Masa’il, ulama NU mampu menemukan rumusan yang tepat untuk mengurai dan memberikan kesimpulan tentang relasi Islam dan Pancasila dari perspektif keagamaan, khsususnya pendekatan fiqh.
NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pertama yang menuntaskan penerimaaannya atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya pertama menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhamadiyyah menerima Pancasila setelah terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, me liputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.

Dalam deklarasi itu, jelaslah bahwa NU mengakui dan mendu kung penuh Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, yang pengamalannya bisa menjadi perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syari’at agamanya. NU dengan tegas dan jelas memisahkan antara negara dengan agama. Pancasila adalah dasar negara, bukan agama. Keberadaan Pancasila tidak dapat meng gantikan agama atau dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Meski begitu, bukan berarti agama tidak berurusan dengan negara. Dalam deklarasi itu malah dinyatakan bahwa adalah kewajib an NU—atau dengan kata lain kewajiban umat beragama--untuk mengamankan tafsir yang benar tentang Pancasila dan sekaligus pengamalannya yang murni dan konsekuen agar sesuai dengan upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari’at agamanya. Ini artinya NU memposisikan agama sebagai landasan moral-etik bagi negara agar negara tetap berada dalam kontrol agama untuk menegak kan keadilan dan selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemasla hatan rakyatnya.
Deklarasi ini sekali lagi menjelaskan posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.
Keputusan penting dan mendasar ini, diakui atau tidak, banyak diilhami oleh pemikiran K.H. Achmad Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU saat itu. Pemikiran Kyai Achmad Shiddiq ini sekaligus juga merupakan argumen teologis dan fiqhiyyah atas sikap keagamaan NU terhadap kenyataan negara-bangsa modern dewasa ini. Beberapa simpul pemi kiran Kyai Achmad Shiddiq yang utama adalah sebagai berikut :

1. Mendirikan negara dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejah teraan duniawy wajib hukumnya.
2. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak termasuk Islam.
3. Hasil dari keputusan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Ditelusuri lebih jauh, seperti termaktub dalam makalahnya, pemikiran Kyai Achmad Shiddiq ini dilatari oleh dua landasan yang berkait, yaitu: pertama, landasan historis. Dinyatakan bahwa umat Islam tidak pernah absen dalam perjuangan menolak penjajahan dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Umat Islam senantiasa berada dalam garda terdepan dalam mengusir penjajah daan mengisi kemerdekaan yang diperolehnya. Kedua, landasan hukum. Bahwa Allah SWT telah mewajibkan amar ma’rûf nahy munkar bagi umat manusia. Kewajiban ini tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan dan imamah (kepemimpinan politik) yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan inilah, maka mendukung negara Panca sila menjadi wajib hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.
Konsekuensi dari penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas ini, seperti juga ditegaskan oleh Kyai Achmad Shiddiq, memberi kan arti bahwa wujud negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum Muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.
Nalar ideologi dan kebangsaan ulama NU ini sebetulnya tidak secara tiba-tiba muncul. Sejak perang kemerdekaan hingga perkem bangan dewasa ini, yakni dalam menghadapi dua arus utama yang bertolak belakang antara menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal ini, NU selalu mengambil jalan tengah (tawassuth) dan peran strategis dalam pembentukan negara dan karakter bangsa.
Dua bulan setelah Republik Indonesia diproklamasikan kemerde kaannya, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” yang mewajibkan setiap orang (fardlu ‘ain) dalam radius 94 km untuk melakukan jihâd fiy sabîlillâh melawan Belanda. Belanda saat itu tiba kembali di Tanah Air untuk menjajah. Fatwa ini kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946. (K.H.A. Aziz Masyhuri, 1997: 197) Keputusan Muktamar itu secara lengkap ber bunyi:

[1] Bahwa berperang menolak penjajah dan para pembantunya adalah wajib ‘ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak juga yang sama berada di tempat yang dimasuki oleh mereka itu (penjajah atau pembantunya). [2] Wajib ‘ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada di dalam tempat-tempat yang jaraknya kurang dari 94 km terhitung dari tempat mereka itu (musuh). [3] Wajib kifayah atas segenap orang-orang yang berda di tempat-tempat yang jaraknya ada 94 km tersebut. [4] Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut dalam nomor 1 dan 2 di atas tidak mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup.

Keputusan keagamaan ini merupakan dukungan politik keagama an NU yang sangat berani dan mampu mempengaruhi semangat rakyat untuk mempertahankan bentuk baru negara Indonesia yang diproklamasikan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konsti tusionalnya.
Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935, NU telah memberikan status hukum negara Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh Pemerintah Penjajah Belanda dengan “negara Islam”. Meskipun saat itu Indonesia masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas menjalankan syari’at keagamaannya. Dengan logika ini, maka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengisi kemerde kaan dengan persatuan-kesatuan, kedamaian, kerukunan, dan lebih-lebih keadilan-kemanusiaan menjadi sangat penting bagi Nahdlatul Ulama.
Atas nalar ini pula, NU secara tegas menolak gagasan dan kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Kartosu wiryo, dkk. pada zaman Orde Lama. Ulama NU memberikan keputusan fiqh kepada Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat (pemberontakan kepada negara yang sah) akibat pemikiran dan gerakannya itu. Pengakuan NU terhadap Pemerintahan yang sah dilakukannya pada Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954. Keputusan Konferensi yang kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya, 8-13 September 1954, memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah (penguasa pemerintahan secara dlarurat sebab kekuasaannya, atau pemegang pemerintahan sementa ra (de facto) dengan kekuasaan penuh). Keputusan ini dilakukan secara sadar untuk membentengi rongrongan pemberontak yang ber maksud menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.
Dengan rangkaian ijtihad nalar politik keagamaan ini, “Dekla rasai Hubungan Pancasila dan Islam” dirumuskan oleh ulama NU se bagai Keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo. Ke putusan ini sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, sekaligus memperkuat basis teologis penerimaan NU atas kenyataan negara-bangsa (nation state) yang pluralistik dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai ijtihad politik yang tepat.
Sebagai implementasi penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Anggaran Dasar NU pun sejak 1984 berubah sesuai dengan paradigma tersebut. Ada hal yang menarik untuk dicatat dari perkembangan Anggaran Dasar NU dari muktamar ke muktamar. Dalam Anggaran Dasar NU hasil Muktamar ke-27 di Situbondo, 8-12 Desember 1984, asas NU berubah dari Islam menjadi Pancasila. Dalam rumusan ini di bedakan antara “asas” dan “aqidah”. Islam ditempatkan sebagai aqi dah, bukan asas. Sedangkan asas diisi dengan Pancasila. Secara leng kap rumusan itu sebagai berikut:

Pasal 2
Asas
Nahdlatul Ulama berasas Pancasila

Pasal 3
Aqidah
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Dibandingkan dengan Muktamar Situbondo, rumusan Anggaran Dasar NU pada Muktamar ke-28 di Krapyak, 25-28 Nopember 1989, dan Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya, 1-5 Desember 1994, ter dapat perubahan penempatan “asas” dan “aqidah”. Rumusan “aqidah” ditempatkan di atas rumusan “asas”, sebagaimana dikutip kan secara lengkap sebagai berikut:
Bab II Aqidah
Pasal 3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Bab III Asas
Pasal 4
Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila

Sedangkan pada Muktamar paling akhir, Muktamar XXX di Lirboyo Kediri, tanggal 21-26 Nopember 1999, rumusan “aqidah” dan “asas” digabung dalam satu bab dan pasal, dengan perubahan substansi yang sangat mendasar, bahwa aqidah dan asas NU adalah Islam. Rumusan ini seolah mengulang rumusan AD NU sebelum Muktamar 1984. Secara lengkap rumusan tersebut sebagai berikut:

Bab II Aqidah/Asas
Pasal 3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menga nut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Ke tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerak yatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksa naan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indo nesia.

Jika dicermati satu rumusan AD NU dari muktamar ke muktamar paska-1984, maka tampak terdapat perubahan, bukan saja pada pe nempatan “asas” dan “aqidah” melainkan juga pada rumusan substanstif. Perubahan ini adalah konsekuensi dari dinamika pemikiran yang bergolak di dalam lingkungan NU. Akan tetapi, perubahan rumusan Anggaran Dasar ini ternyata tidak diikuti dengan pencabutan keputusan Muktamar Situbondo yang menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia. Ini artinya, sikap dasar NU terhadap negara Pancasila tetap tidak berubah, tetapi karena tuntutan euphoria politik eksternal saat Muktamar Lirboyo yang memaksa menjadikan Islam sebagai alternatif dari krisis multidimensi, NU mencoba melakukan adaptasi-adaptasi secukupnya. Adaptasi ini dilakukan dengan memodifikasi rumusan AD NU.

Sikap Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Konsekuensi dari penerimaan terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, dalam kebutuhan praktis dan strategis menumbuhkan sikap kebangsaan Nahdlatul Ulama dari faham keagama an yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercermin dari nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara sikap ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sikap Tawasuth dan I’tidal
Yakni, suatu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini seharusnya dapat menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh
Yakni, sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan pandang, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun
Yakni, sikap seimbang dalam berkhidmah. Dalam hal ini adalah sikap menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya, dan menye laraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahy Munkar
Yakni, sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumus kan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Implementasi sikap dasar kebangsaan ini dalam bidang politik-kekuasaan ditegaskan oleh Keputusan Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta bahwa NU sebagai suatu organisasi sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtimâ’iyyah) tidak mempunyai ikatan organisato ris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. NU tidak akan menggabungkan diri secara organi satoris ke dalam organisasi sosial politik yang manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik yang manapun juga, dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.
Dengan sikap politik seperti ini, diharapkan NU selalu terlibat dalam setiap upaya pengembangan budaya politik yang sehat dan bertanggungjawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, serta membangun mekanisme musya warah-mufakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Oleh karena itu, NU menetapkan prinsip-prinsip dasar etika politik bagi warganya sebagai berikut:
1. Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senan tiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk menca pai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akherat.
3. Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indoensia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan.
5. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsesus nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaa’ah.
7. Berpolitik bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasya rakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk men ciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menya lurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Simpulan
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, ternyata NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawâzun, ta’âdul, dan tasâmuh merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer. Keberhasilan NU memberikan penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara ini mengindikasi kan adanya pergeseran paradigma di kalangan NU sendiri dalam me mandang kenyataan negara-bangsa. Baik pada aspek siyâsah, maupun aspek hukum dan peradaban, transformasi pemikiran di kalangan NU terus menggelinding.
Tidak diingkari bahwa masyarakat NU adalah masyarakat fiqh. Ini tidak lain karena masih dominannya kalangan Pesantren di jajaran NU, sementara paradigma pesantren identik dengan fiqh. Dengan kata lain, NU adalah pesantren-makro, dan pesantren adalah NU-mikro. Akan tetapi mempertimbangkan pemikiran di atas, saya kira tidak berlebihan jika dicatat bahwa di dalam kalangan NU tengah terjadi transformasi paradigma fiqh dari literalisme ke kontekstualisme, dari skripturalisme ke substansialisme, dan dari madzhab qawli ke madzhab manhaji.
Oleh karena itu, anggapan yang menyatakan bahwa NU konservatif, ortodoks, mundur dalam berfikir, menutup pintu ijtihad, dan sejumlah stereotyping lain yang memposisikan NU dalam kubangan “kejumudan” dan “ketertinggalan” kiranya segera dipertim bangkan kembali. NU memang tradisional, tetapi radikal dan kritis dalam merespons perkembangan zaman dan kenyataan sosial kekinian. Wallâhu A’lam bi al-Shawâb.



BIBLIOGRAFI


Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bina Utama Jakarta, 1999
Ahmad Khurshid, “Islam: Basic Principles and Characterristics”, dalam Islam: Its Meaning and Message, disunting oleh Khurshid Ahmad, Leicester: Islamic Foundation, 1976.
Ali Abdurraziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts fiy al-Khilafah wa al-Hukumah fiy al-Islam, Beirut: 1966.
Al-Zastrouw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 1999
Bush, Robin, Islam and Civil Society in Indonesia: the Case of the Nahdlatul Ulama, Disertasi pada University of Washington, 2002.
Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.
D.B Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory New York: Tanpa Penerbit, 1903.
Dhiya’ al-Din al-Riys, al-Islam wa al-Khilafah fiy al-Ashr al-Hadits: Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, Jeddah: 1973
Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992.
Douglas E. Ramage, Demokratisasi, Toleransi Agama dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahaman Wahid, dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1997.
Hamed Enayat, Modern Islamic Political Thought, the Response of the Syi’i and Sunni Muslims to the Twentieth Century, London: The Macmilland Press, 1982.
Hasan Turabi, al-Harakah al-Islamiyah fiy Sudan: al-Tathawwur wa al-Kasb wa al-Manhaj, Lahore: Iman, 1410/1990
Husain Haykal, Mudzakkirat fiy al-Siyasah al-Mishriyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990.
Ismail, Faisal, Islam in Indonesian Politics: A Study of Muslim Responses to and Acceptance of The Pancasila, Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill University Montreal, Desember 1995.
John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago and London: 1988.
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
Muhammad Sa’id al-Asymawi, al-Islam al-Siyasiy, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.
Muhammad Yusuf Musa, Nidham al-Hukm fiy al-Islam, Kairo: dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1963.
Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, Bandung: Pustaka, 1998
R. William Lidlle, Politics and Culture in Indonesia, Ann Arbor: Center for Political Studies Institute for Social Reasen the Indonesia, 1998.
Sayyid Qutb, al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fiy al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1967.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Fatma Press, 1999).
Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989).
Thaha Husein, al-Fitnah al-Kubra, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat al-Duktur Thaha Husein, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973.
Thomas W. Arnold, The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul, 1965.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS