SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

MEMORY PRIBADY

Oleh: M. Ulil Albab
“ PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN ”
Pendahuluan
Dalam konteks pendidikan, pesantren merupakan sebuah lembaga yang hidup dan dinamis. Banyak ruang yang dapat diperbincangkan, karena ia selalu menarik, segar dan aktual. Dinamika pesantren dan interaksinya dengan masyarakat yang dimainkan oleh santri, kiai dan alumni pesantren semakin memperteguh kembali bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat. Secara mikro maupun makro, pesantren telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk berpegang pada idealisme, mengembangkan kemampuan intelektual, dan perilaku mulia untuk menata serta membangun karakter bangsa yang makmur dan berperadaban.
Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, pesantren dihadapkan pada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme yang tak terelakkan. Kemajuan teknologi informasi, dinamika sosial-politik, belum lagi sejumlah perubahan yang terbingkai dalam dinamika masyarakat. Semuanya berujung pada pertanyaan tentang resistensi, responsibilitas, kapasitas dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu; sejauhmana peran pesantren dalam merespon multikulturalisme yang berkembang di masyarakat?
Multikulturalisme yang merupakan titik temu berbagai budaya meniscayakan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya. Dalam konteks ini pesantren dituntut untuk proaktif, merespon dengan: pertama, tampil secara kreatif berdialog dengan budaya lokal dan budaya luar, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan nilai-nilai agama. Kedua, mengembangkan budaya toleransi sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat.
Pesantren di Era Multikultural
Dalam ilmu sosiologi, pesantren merupakan subkultur yang memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati. Kesemuanya ini dimiliki sepenuhnya oleh pesantren, yang memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam tata nilai, perilaku, dan bahkan model pendidikannya. Sehingga, Abdurrahman Wahid berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur dalam masyarakat.
Walau demikian, gambaran subkultur pesantren hanya mampu menjelaskan dunia pesantren yang unik dan belum bersentuhan dengan elemen-elemen dari luar dirinya; seperti organisasi, manajemen sumber daya manusia, dana, fisik, informasi, ilmu pengetahuan dan tekonologi. Itu sebabnya, Hadimulyo menggunakan istilah “institusi kultural” yang mengandung konotasi lebih longgar daripada subkultur. Dengan demikian, pesantren akan dilihat dalam pengertian “budaya pesantren” yang dalam realitas empiris lebih tampak sebagai counter culture yang seringkali memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan kultur yang dianggap dominan.
Di tengah perdebatan itu semua, kini di zaman global yang sudah meniscayakan pluralitas budaya sebagai kenyataan sosial, pesantren menghadapi tantangan dalam merespons identitas kultural masyarakat (budaya lokal) dan budaya luar dengan segala keanekaragamannya. Pesantren yang berkembang dari identitas sejatinya belakangan ini sedang bergulat secara intens dengan budaya lokal dan budaya lain yang saling mempengaruhi. Tak pelak lagi, era multikulturalisme adalah tantangan tersendiri bagi pesantren; apakah pesantren mampu menjawab tantangan paradigma kehidupan di bawah payung multikulturalisme yang mengandaikan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya.
Hal ini dikemukakan untuk melihat apakah pesantren sudah berani keluar dari kebenaran absolutnya (absolutly truth) yang kerapkali meminggirkan identitas kultural yang sudah diyakini oleh masyarakat. Atau dengan kata lain, budaya lokal (local wisdom) sebagai entitas yang telah lama hidup bersama masyarakat menjadi terpinggirkan akibat doktrin agama yang diyakini pesantren. Desakan pesantren ini praktis memposisikan budaya lokal berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan subordinat. Apalagi, pesantren bisa menjadi kekuatan yang ampuh untuk menghilangkan atau paling tidak memperdaya budaya lokal.
Pesantren dan Kearifan Budaya Lokal (Local Wisdom)
Pada dasarnya, watak dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan pesantren dengan kebudayaan lokal. Hal ini diambil dari kenyataan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan pesantren memunculkan konsekuansi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Nikii Keddie (1987), pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.
Sehingga, Islam sebagai agama yang dianut dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Pesantren yang mayoritas berdiri di pedesaan harus berhadapan dengan sekian banyak tradisi budaya asli masyarakat agraris. Namun karena semangat keagamaan yang membumi, pesantren lebih mampu bersikap ajur-ajer serta menyerap budaya setempat. Pesantren terbukti mampu berdialog dengan adat setempat secara produktif dan tidak saling menafikan antara yang satu dengan lainnya.
Misalnya, terhadap tradisi sedekah bumi, nyadran, nyatus, nyewu, miwiti, dan sebagainya pesantren menanggapinya dengan pendekatan memberi dan menerima. Pihak pesantren mengambil bentuk tradisi budaya tersebut sambil memberikan isi yang baru. Cara pendekatan ini terbukti bisa diterima kedua pihak dengan baik. Maka sekarang terdapat banyak upacara adat, seperti sedekah bumi, yang semula diselenggarakan untuk memuja dewa atau roh-roh yang mbaurekso desa, kini berganti isi menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah berkenan untuk memberi kemakmuran. Adat miwiti (mulai menuai padi) yang semula diadakan untuk memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. Juga, doa-doa yang dibaca adalah doa yang biasa dibaca di pesantren dan doa-doa yang berasal dari petunjuk Nabi Saw.
Mendialogkan Islam dan budaya memang sejak awal dilakukan Sunan Kalijaga yang berhasil mengisi spirit Islam ke dalam budaya lokal; seperti tradisi sekaten, mitung dino, nyatus, nyewu yang diisi dengan tahlil. Begitu juga wayang sebagai tradisi kesenian yang banyak disukai masyarakat, sudah dimodifikasi dengan spirit Islam. Tak heran, jika sekarang ini di Pesantren Kajen, Pati ada tradisi tahunan yang mementaskan wayang, yang banyak dinikmati oleh masyarakat sekitarnya. Kesemuanya ini menunjukkan betapa pesantren mampu berdialog dengan budaya dan kearifan lokal (local wisdom).
Namun demikian, tidak selamanya dialog antara pesantren dengan budaya lokal bisa berjalan baik. Hal ini disebabkan pihak pesantren menganggap secara prinsip beberapa unsur tradisi budaya setempat tidak bisa mereka terima. Misalnya, kebiasaan berjudi, sabung ayam, tunggon (kumpul kebo), minum arak, dan sebagainya. Dan dalam hal tidak terjadi persaingan budaya antara pesantren dan tradisi lokal, maka sering muncul ungkapan sinis terutama dari pihak adat. Sering kita dengar ungkapan “semantri-santri” (sok santri) yang ditujukan kepada mereka yang tidak bisa menerima kebiasa berjudi dan lain sebagainya.
Multikulturalisme dan Tantangan Pesantren
Belakangan ini multikulturalisme memang menjadi isu sentral dalam konteks hubungan antaragama dan antarbudaya. Multikulturalisme telah menjadi kenyataan faktual di dalam masyarakat global. Karena itu, multikulturalisme adalah sebuah tantangan bagi pengembangan budaya toleran dan pluralis di kalangan masyarakat.
Dalam perspektif ilmu politik, --mengikuti pemikiran Robushka dan Shepsle-- masyarakat multikultural didefinisikan dengan parameter: (1) keragaman kultural, (2) aliansi etnik dan (3) terorganisasi secara politik. Dalam konteks ini, secara alamiah masyarakat mempunyai karakteristik yang beragam (majemuk), yang ditandai oleh berbagai keragaman suku, agama, ras dan golongan (SARA) yang ada di dalamnya.
Masyarakat yang multikultural seperti ini sebenarnya merupakan potensi dalam membangun demokrasi modern. Namun, masyarakat multikultural juga memendam potensi yang rawan terhadap konflik sosial yang bisa mengakibatkan pudarnya keutuhan jalinan harmoni sosial masyarakat. Dengan kata lain, berbeda-bedanya suku, agama, dan budaya adalah suatu modal sosial, meminjam istilah Robert W. Hefner, yang apabila dirusak akan menimbulkan malapetaka bagi harmoni sosial yang mengarah pada konflik sosial. Sebab, ada tiga kecenderungan yang sering dihadapi dalam masyarakat multikultural. Yakni, (1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-hubungan antar kelompok. (2) Pelaku konflik melihat sebagai all out war. (3) Proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain.
Dalam konteks inilah, paradigma multikultural mengandaikan pengembangan teologi inklusif dan pluralis yang riil. Pada aras ini, toleransi etnik, budaya dan agama di Indonesia menjadi agenda penting sejak maraknya kekerasan etnik dan agama yang meledak seiring dengan pergeseran politik mutakhir. Itu sebabnya, pesantren sebagai entitas sosial memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan teologi multikultural sehingga memberikan pencerahan kepada umat akan arti pentingnya kehadiran etnik, budaya dan agama di dalam komunitas sosial. Tanpa ini semua, pesantren akan kehilangan peran strategis di zaman multikultural seperti sekarang ini yang menghadirkan banyak konflik; entah yang berbau agama maupun etnik.
Memadukan Islam dan Kultur dalam Pesantren
Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha. Bahkan, perpindahan masyarakat Melayu Indonesia dari sistem kegamaan dan budaya Hindu-Budha kepada Islam disamakan Najib al-Attas dengan perubahan pandangan Dunia Barat yang semula dipengaruhi mitologi Yunani kepada dunia nalar dan pencerahan.
Inilah yang dilakukan Sunan Kalijaga di Jawa ketika menyebarkan Islam dengan menggunakan budaya Jawa sebagai sarana dakwah Islam ke masyarakat Jawa. Islam disebarkan oleh Sunan Kalijaga dengan cara yang damai, tidak membasmi budaya lokal setempat, tetapi membuatnya tampil interaktif dan dialogis. Pada gilirannya, Islam di Jawa adalah Islam yang sudah berbaur dengan budaya lokal setempat. Dalam studi Clifford Geertz (Religion of Java) Islam merupakan faktor signifikan dalam pandangan dan perilaku keagamaan masyarakat Jawa. Perpaduan Islam-Jawa ini memberikan corak yang apresiatif terhadap kearifan budaya lokal.
Hal ini juga terjadi di daerah lain, seperti di Sumatera. Edwin E. Leob (1972) meneliti Islam di Sumatera (Mingkabau) yang percaya kepada tukang sihir dan dukun yang mempunyai kekuatan kodrati (supranatural), percaya pada takhayul (superstitious) yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Tapi sayangnya, setelah adanya gerakan Paderi, budaya lokal setempat dibasmi habis karena dianggap bertentangan dengan Islam. Penghancuran budaya lokal atas nama agama adalah bukti ketidakmampuan dakwah Islam berdialog dengan budaya lokal.
Di sinilah, Islam dan budaya lokal mesti ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling melemahkan. Karena itu, yang diperlukan adalah perpaduan antara Islam dengan budaya lokal. Perpaduan antara Islam dengan budaya lokal ini adalah sebuah tafsir agama yang membebaskan agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Timur Tengah, tetapi Islam mesti berdialog dengan budaya lokal setempat.
Tradisi besar Islam (normatif) adalah sebuah ajaran yang paling fundamental, tetapi ajaran ini tidak bisa menafikan begitu saja tradisi kecil (budaya lokal) yang menyebar di mana-mana sebagai realitas. Karena itulah, Islam mesti melakukan dialog dengan budaya lokal demi menemukan substansi Islam yang ada di mana-mana.
Hassan Hanafi pernah mengemukakan, "Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu. Di satu sisi, legitimasi teritorial, identitas budaya, nasionalisme, dan khasanah warisan. Di sisi lain, legitimasi modernitas yang ditandai dengan ketrbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum dan lain-lain.”
Dengan dua perpaduan antara Islam normatif dengan Islam historis, maka jalan tengah bagi Islam sebagai agama yang absolut tidak akan kehilangan identitas absolutnya di tengah perubahan zaman. Sebaliknya, budaya sebagai entitas yang otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinat-terpinggirkan ketika agama masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, agama dan budaya mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, agama dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara bersama-sama membangun peradaban baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakat setempat. Dengan demikian, secara lebih luas, agama dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan (konflik), yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya.
Kesimpulan
Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat. Tertanamnya kesadaran multikultural dan pluralitas kepada masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan pesantren ke dalam paradigma yang toleran dan humanis. Karena paradigma pendidikan pesantren yang ekslusif dan intoleran jelas-jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi-etnik dan agama. Dengan demikian, filosofi pendidikan pesantren yang ekslusif tidak relevan lagi di zaman multikultural. Sebab, jika cara pandangnya bersifat ekslusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi ekslusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap menghargai kebenaran agama lain.
Seperti dikemukkan Philip Yampolsky, "Melintasi batas adalah sangat penting untuk negara multikultural seperti Indonesia. Tantangan negara multikultural adalah bagaimana membangun toleransi dan pengertian antar kelompok, supaya semuanya bisa hidup dengan damai." Di sinilah signifikansi kita mendekonstruksi paradigma pesantren ekslusif, yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan pola pikir yang bersahaja untuk menghargai dan menghormati agama-agama dan budaya tanpa konflik di tengah-tengah masyarakat multikultural ini.

DAFTAR PUSTAKA
Keddie, Nikki R., Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987.
Rafiq, Ahmad, NU/Pesantren dan Tradisi Pluralisme dalam Konteks Negara-Bangsa, dalam
Rahardo, Dawam (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1974.
Rahardo, Dawam (ed.), Pergulatan Dunia pesantren: Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta, 1985.
Suaedy, Ahmad (Ed), Pergulatan Pesantren dan Demokraatisasi, LKiS, Yogyakarta, Cet. I, 2000.
Tohari, Ahmad, Membangun Dialog Produktif Pesantren-Budaya Lokal, Makalah tidak diterbitkan.
Wahid, Marzuki Dkk (Ed), Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Pustaka Hidayah, Jakarta, Cet. I, 1999.
Yaqin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, Cet. I, 2005.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar