SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon




METODOLOGI ILMU ISLAM
A.     Pendahuluan
Dalam memahami suatu ilmu perlu adanya metodologi yang jelas dan tepat, karena tanpa adanya metodologi ilmu tersebut kurang signifikan sehingga perlu adanya metodologi dalam hal ini ketepatan pemilihan metode untuk pengembangan suatu keilmuan. Apalagi dalam ilmu Islam, hal ini sangatlah urgen sekali ketika metode yang digunakan untuk mengetahui ilmu Islam kurang atau tidak signifikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah akan menerangkan dengan keterbatasan pemikiran adanya metodologi ilmu Islam.
B.     Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pemakalah dapat menarik pokok permasalahan yaitu bagaimana metode untuk dapat mengetahui serta memahami ilmu Islam ?  
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Metodologi Ilmu Islam
Metodologi berasal dari kata metode, secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani "Metodos". Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu "Metho"  yang berarti melalui atau melewati dan "hodos" yang berarti jalan atau cara. Jadi metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[1] Dalam bahasa Arab metode disebut "Thariqat" yang berarati jalan, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud,[2] sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Sedangkan ilmu dalam bahasa Arab, kata ilmu satu akar kata dengan kata 'alam (bendera atau lambang), 'alamah (alamat atau pertanda), dan 'alam (jagad raya, univers). Ketiga perkataan ini; 'alam, 'alamah dan 'alam mewakili gejala yang harus diketahui atau dimaklumi, yakni menjadi objek pengetahuan.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa metodologi ilmu Islam adalah suatu cara untuk mengetahui adanya gejala yang harus diketahui yang menjadi objek, dalam hal ini adalah objek pengetahuan yang Islam.[4]  
2.      Metode Dalam Ilmu Islam 
Untuk mengetahui adanya metodologi dalam ilmu Islam, disini pemakalah menerangkan adanya metode dalam ilmu Islam, yaitu:
a.       Metode Observasi atau Eksperimen
Metode observasi atau eksperimen ini, karena berkaitan dengan pengamatan indriawi, tentu sangat cocok untuk meneliti objek-objek fisik. Namun, seperti yang telah saya tunjukkan, untuk memperoleh pengetahuan yang objektif tentang objek-objek fisik ini, ternyata tidak semudah yang kita duga, dank arena itu diperlukan cara-cara dan juga alat-alat bantu bagi indra, yang tanpa mereka, pengamatan indra akan sangat tidak akurat dank arena itu gagal memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengetahui objek-objek fisik itu sebagaimana adanya. Ibn Haitsam, misalnya sangat memerlukan metode observasi yang khusus (termasuk eksperimen) dan alat-alat bantu bagi indra karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan indrawi, khususnya pengamatan mata. Dalam mahakaryanya, Al-Manazhir (The Optics), ia menunjukkan kelemahan pandangan mata dengan menunjukkan secara terperinci kekeliruan pandangan mata yang ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti jarak, posisi, transparasi, keburaman, lamina memandang, dan kondisi mata. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa menurut Ibn Haitsam, observasi, sebagai metode, perlu dibantu oleh metode matematika, atau apa yang disebut oleh Laplace sebagai "kalkulasi", untuk memperoleh informasi yang lebih akurat. Dalam karyanya itu, sebagaimana dalam karya-karya fisika modern, kia menemuka banyak sekali figur matematika yang baginya sangat diperlukan untuk menanggulangi kekeliruan dan kelemahan indriawi.[5]
Di tempat lain, metode observasi ini pun disempurnakan oleh para astronom muslim dengan menggunakan alat bantu berupa observatorium (dengan berbagai alat optik, seperti teleskop) untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa (termasuk  ukuran-ukurannya) daripada gambaran yang bisa diperoleh dari pengamatan langsung indra, khususnya mata. Dengan menggunakan observatorium itu sebagai alat bantu (sarana) observasi, dihasilkan data-data yang lebih baik dalam bidang itu, seperti yang direpresentasikan dalam apa yang dikenal dengan Thusi's Couple. Teori astronomi yang penting ini telah mampu memberikan gambaran gerakan planet yang lebih akurat daripada bagan Ptolommeus, dan menurut Toby Huff, dalam bukunya, The Rise of Early Modern Science, sangat besar pengaruhnya atas perhitungan dan teori astronomi Kopernikus.
Sumbangan para ilmuwan dan filosof muslim terhadap kemajuan di bidang ilmiah dan metodologinya terlihat dari kenyataan bahwa ditangan para ilmuwan dan filosof muslimalah teori-teori spekulatif-filosofis telah menemukan bentuk ilmiah-empirisnya yangs ejati, padahal dalam karya-karya klasik Yunaninya, mereka masih bersifat sangat teoritis. Melalui pengujian yang kritis dan eksperimen-eksperimen yang mereka lakukan, baik di laboratorium maupun observatorium, banyak teori yang berkembang sebelumnya baik di Yunani maupun Iskandariah terkoreksi atau terbukti salah. Para astronom muslim, misalnya, telah menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam sistem astronomi Ptolomeus sehingga karya mereka merupakan titik yang fundamental terhadap sistem Ptolomeus dan telah meratakan jalan bagi sistem astronomi Kopernikus.[6]
Demikian juga melalui eksperimen-eksperimennya terhadap cahaya, Ibn Haitsam telah membuktikan secara ilmiah kekeliruan teori Aristoteles tentang penglihatan (direct vision) dan menentukan bahwa berbeda dengan mata kita yang memancarkan cahaya kepada sebuah objek, melainkan sebaliknya, justru objek itu yang memantulkan cahaya kepada kita, baik dari dirinya, seperti lampu atau bintang, atau cahaya yang datang dari luar dirinya. Teori Aristoteles dia tolak karena kalau syarat untuk melihat objek itu adalah pancaran cahaya mata kita yang menjangkau sebuah objek, bagaimana mungkin kita bisa melihat benda yang jauh, padahal pancaran cahaya kita tidak mungkin menjangkaunya. Oleh karen itu. Melalui eksperimen-eksperimennya itu, Ibn haitsam telah menegakkan teori pandangan (vision) yang benar-benar diterima hingga saat ini. Tentunya ini merupakan sebuah prestasi yang menakjubkan untuk ukuran zaman itu.
b.      Metode Demonstrasi
Metode demonstratif pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambian sebuah kesimpulan ilmiah. Ini misalnya dilakukan dengan memerhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantarai kedua premi tersebut. Metode seperti itu dalam ilmu logika disebut "silogisme" (al-qiyas). Sebagai bagian terpenting dari logika, metode demonstrasi  berbagi tujuan dengan logika yang digambarkan oleh Al-farabi sebgai berikut:
1)      Untuk mengatur dan menuntun akal kea rah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mugkin salah.
2)      Untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah, dan
3)      Untuk memberi kita sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.[7]
Alat bantu yang ia maksud tak lain adalah kaidah-kaidah yang hubungannya dengan akal dan pengetahuan yang sama dengan hubungan kaidah-kaidah tata bahasa dengan bahasa dan lafal. Metode demonstratif mempunyai tempat yang khusus dalam keseluruhan ilmu logika karena seperti yang dikatakan oleh Al-Farabi, "metode atau seni demontratif ini meruipakanb tujuan utama pengkajian para peminat logika karena metode inilah yang dianggap paling memenuhi tujuan memperoleh pengetahuan yang meyakinkan dalam ilmu-ilmu filosofis."
Bentuk formal metode demontratif (dan metode logis lainnya) adalah "silogisme". Silogisme adalah pengambilan kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term (al-hadd al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demontratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran-kebenaran yang telah teruji atau kebenaran-kebenaran utama (primary truth) karena hanya apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau  premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulan-kesimpulan juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.

c.       Metode Intuitif
Kalau metode observasi berkaitan dengan pengamatan indriawi, metode emontratif dengan akal, maka metode intuitif, sesuai dengan namanya, berkaitan dengan intuisi atau hati (qabl). Apakah sebenarnya keunggulan metode intuitif dibandingkan dengan metode observasi dan demonstratif? Untuk mengetahui keunggulan metode intuitif (urfani) barangkali dapat dilakukan dengan cara membandingkannya degan metode observasi dan demonstratif. Persamaan metode intuitif  dengan metode observasi adalah kedua metode itu menangkap objek secara langsung. Mata, misalnya dapat menangkap secara langsung objek yang dilihatnya, atau telinga dapat menangkap secara langsung suara yang didengarnya. Demikian juga intuisi dapat menangkap objeknya secara langsung, hanya sifat objeknya yang berbeda. Observasi berhubungan dengan objek-objek fisik, sedangkan objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa, dan bahagia. Berbeda dengan metode intuisi, metode rasional, seperti yang telah disinggung sebelumnya, bersifat tidak langsung karena menangkap objeknya melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya, dank arena itu berdiri secara jelas berseberangan dengan metode intuitif yang bersifat langsung atau "immediate".[8]
Dengan demikian, telah jelas bahwa kekhasan metode intuitif ini terletak pada sifatnya yang langsung. Sifat langsung metode intuitif dalam menagkap objek ini dapat dianalisis ke dalam beberapa hal. Pertama, pengetahuan intuitif bisa dicapai melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami atau merasakan sendiri objeknya. Oleh karena itu, metode intuitif, dilihat dari sudut ini, disebut dzauqi (rasa), dan bukan melalui penalaran, seperti yang dilakukan oleh akal. Misalnya, kita tidak akan pernah mengerti dan memahami hakikat cinta. Cinta tak bisa dipahami lewat akal, tetapi lewat hati (intuisi). Jangan heran kalau kita tidak mampu mengungkapkan rasa cinta itu dengan kata-kata atau secara diskursif karena ia bukan wilayah akal, sedangkan hati bisa memahami hakikat cinta lewat pengalaman, bukan lewat kata-kata atau definisi. Dengan demikian cinta seorang sufi terhadap Tuhannya (ingat kasus Rabi'ah Al-'Adawiyah), tanpa kita sendiri jatuh cinta kepada-Nya.
Kedua, sifat langsung pengetahuan intuitif bisa dilihat dari apa yang sering disebut sebagai 'ilm hudhuri. Pengetahuan intuitif ditandai oleh hadirnya objek di dalam diri si subjek. Barangkali karena itu,pengetahuan intuitif disebut "presensial". Berbeda dengan pengenalan rasional yang memahami objek-objeknya lewat simbol-simbol, kata-kata, kalimat, atau rumus-rumus, pengenalan intuitif melampaui segala bentuk simbol dan menembus sampai ked lam jantung objeknya. Hal ini, seperti telah berulang-ulang disinggung, dengan jelas disinyalir dalam sebuah puisi Rumi, "Bisakah Anda menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R? Tentu saja tidak!" Anda, "kata Rumi, "baru menyebut nama, cari yang punya nama." Modus pengenalan rasional, karena kebergantungannya pada simbol, menurut Henry Bergson, tidak akan bisa menyentuh lubuk objeknya, tetapi hanya berputar-putar di sekitarnya.
Ketiga, sifat kelangsungan metode intuitif ini dapat dilihat dari apa yang saya sebut sebagai pengalaman "eksistensial". Akal dan metode rasionalnya, menuru Iqbal dan Bergson, cenderung meruang-ruangkan (spatilize) objeknya dan mengukurnya dengan ukuran-ukuran yang homogen. Kecenderungan akal untuk memghomogenkan objek-objeknya ini membuat akal sering melakukan generalisasi sehingga sering mengabaikan partikularisasi objek-objeknya.
Berbeda dengan kecenderungan akal di atas, intuisi mengenal objeknya bukan melalui kategorisasi, melainkan secara intim kasus per kasus. Pengenalan intuisi seperti ini membuat pengenalan intuitif lebih akurat dan langsung mnyentuh objek-objek partikular dengan segala karakteristik dan keunikannya. Ambillah sebuah contoh. Menurut kategori akal, satu jam dimana pun akan sama saja kualitasnya. Demikian juga satu meter disini akan sama saja dengan satu meter minanpun juga. Pengenalan kategori akal akan mengabaikan kenyataan bahwa satu jam bagi yang ditunggu tidak akan sama bagi yang menuggu karena bagi yang ditunggu satu jam akan terasa berlalu begitu cepat, sedangkan bagi yang menunggu akan terasa bergerak lamban sekali. Demikian juga akal akanm mengabaikan kenyataan bahwa "stasiun kereta" bagi yang sedang berpacaran tidak akan sama artinya dengan, misalnya, orang yang sedang sendirian, atau oleh orang yang sama pada waktu yang lain ketika hubungan mereka mulai retak. Sebaliknya, intuisi yang beroperasi secara langsung pada objek-objek particular akan mengerti keunikan-keunikan setiap ruang atau peristiwa dalam apa yang pernah saya sebut sebagai pengalaman eksistensial. Dengan metode yang sama, intuisi mengerti mengapa bagi orang-orang tertentu (khususnya orang-orang yang beragama) ada tempat-tempat yang sakral dan profane, sebagaimana juga ada waktu-waktu (hari, bulan, dan tahun) yang suci dan yang biasa.  
D.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa untuk mengetahui adanya ilmu Islam perlu diperhatikan adanya metode-metode yang digunakan, agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami dan menafsirkan ilmu Islam. Oleh karena itu, metode yang cukup tepat menurut pengehemat pemakalah dalam metodologi ilmu Islam adalah metode observasi, demonstrasi dan intuitif.   
E.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.   
Daftar Pustaka
Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. V, 1996.  
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.




















BAHASA ILMU ISLAM
B.     Pendahuluan
Sumbangan atau peran Islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, dan sumbangan kehidupan melalui pengembangan ilmu atau sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan saja termasuk amal saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada Allah. Sekarang ini kita dihadapkan pada ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (ilmu agama dan ilmu non agama). Dari pandangan tersebut pemakalah akan menjelaskan adanya bahasa dalam ilmu Islam. 
C.     Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pemakalah memberikan suatu permasalahan agar tidak melebar dari tema yang ada, yaitu bagaimana bahasa ilmu Islam, dalam hal ini pemakalah menerangkan adanya bahasa dari ilmu-ilmu Islam seperti ilmu matematika, ilmu astronomi, ilmu kimai dan ilmu optik.
D.    Pembahasan
1.      Pengertian Ilmu
Ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasianya.[9]
Dalam bahasa Arab, kata ilmu satu akar kata dengan kata 'alam (bendera atau lambang), 'alamah (alamat atau pertanda), dan 'alam (jagad raya, univers). Ketiga perkataan ini; 'alam, 'alamah dan 'alam mewakili gejala yang harus diketahui atau dimaklumi, yakni menjadi objek pengetahuan.[10]
Dengan demikian ilmu merupakan suatu lambang atau tanda dari perintah Tuhan yang untuk dilaksanakannya perlu diperhatikan dan dipahami dengan baik dan benar.    
2.      Bahasa Ilmu Islam 
Kesaksian iman, la ilah illa Allah, adalah sebuah pernyataan pengetahuan tentang realitas. Orang Islam memandang bahwa berbagai ilmu Islam sebagai ragam bukti yang menunjuk pada kebenaran yang paling fundamental dalam Islam. Oleh karena itu, semangat ilmiah merupakan bagian yang terpadu dari tauhid. Semangat ilmiah para ilmuwan muslim mengalir dari kesadaran mereka akan tauhid. Dalam beberapa literatur dijelaskan mengenai sumbangan umat Islam terhadap bahasa ilmu Islam.[11] Dalam hal ini pemakalah menerangkan adanya ilmu Islam seperti:
a.       Ilmu Matematika
Di antara tokoh Islam yang paling masyhur dalam bidang Matematika adalah al-Khawarizmi. Dialah yang pertama menulis buku ilmu hitung dan aljabar. Teks asli buku tersebut telah hilang yang ada hanyalah terjemahannya dalam bahasa Lartin. Istilah al-gorisme atau algoritme berasal dari nama al-Khawarizmi.
Umar al-Khayam dan al-Thusi adalah ulama yang terkenal dalam bidang ilmu Matematika. Angka nol adalah ciptaan umat Islam. Pada tahun 873 M, angka nol telah dipakai di dunia Islam dibawa para ilmuwan ke Eropa pada tahun 1202 M. oleh karena itu, angka 0 (nol) sanpai angka 9 (sembilan) yang dipakai sekarang, di Eropa, disebut angka Arab.[12]
Jasa atau fungsi umat Islam terhadap peradaban dunia adalah ditemukannya angka arab dan nol yang dengan angka tersebut matematika menjadi efektif dan begitu cepat berkembang. Sebelumnya, matematika dinilai lambat berkembang karena menggunakan angka romawi, seperti I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, dan seterusnya.
b.      Ilmu Astronomi
Buku-buku karangan ilmuwan Yunani seperti karya Ptolomeus dan Archimedes telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Diantara umat Islam yang terkenal ilmunya dalam bidang astronomi adalah Umar Khayam dan al-Farazi. Mereka menulis buku-buku tentang astronomi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin untuk kemudian diajarkan di Eropa. Kemajuan astronomi di dunia Islam ditandai dengan didirikannya observatorium di berbagai kota seperti di Bagdad, Kairo, Damaskus, Seville, dan Andalusia.
Kalender yang dibuat oleh Umar al-Khayam ternyata dinilai lebih akurat daripada kalender yang dibuat oleh Gregorius. Gregorius membuat perbedaan 1 (satu) hari dalam 330 tahun, sedangkan Umar Khayam membuat perbedaan 1 (satu) hari dalam 500 tahun.[13]
c.       Ilmu Kimia
Ulama muslim yang terkenal dalam bidang kimia adalah Jabir bin Hayyan dan Zakaria al-Razi. Nama kedua ulama ini di Eropa di kenal dengan nama Gaber dan Rhazes.
Pada zaman kejayaan Yunani, kimia banyak dibangun berdasarkan spekulasi. Sedangkan pada zaman kejayaan Islam, kimia dikembangkan atas dasar percobaan atau eksperimen. Dikalangan umat Islam terdapat keyakinan bahwa timah, loyang, besi, dan yang sejenis dengannya dapat diubah menjadi emas dengan perantara substansi tertentu. Eksperimen-eksperimen dilakukan oleh umat Islam untuk mencari substansi yang misterius. Meskipun tidak membawa hasil, eksperimen-eksperimen tersebut telah mendorong perkembangan ilmu kimia.[14]
d.      Ilmu Optik 
Ulama yang tekenal dalam bidang optik adalah Ibnu Haitsam. Ia, diantaranya, berhasil menentang teori penglihatan yang dikemukakan oleh Euklid dan Ptolomeus. Menurut Euklid dan Ptolomeus, benda dapat dilihat karena mata mengirim cahaya ke benda. Melalui cahaya itulah, mata dapat melihat benda. Sedangkan Ibnu Haitsam berpendapat sebaliknya. Menurutnya benda dapat dilihat karena benda mengirim cahaya ke mata. Melalui cahaya yang dikirim benda itulah, mata dapat melihat benda yang bersangkutan. Berdasarkan ilmu pengetahuan modern, teori Ibnu Haitsamlah yang ternyata dipandang benar.[15]
E.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa ilmu Islam merupakan pengembangan dari sains Islam yang ada, seperti adanya bahasa dalam ilmu matematika, kimia, astronomi dan optik. Semuanya ini merupakan suatu pengetahuan yang realitas, hal ini perlu dipahami dan dimengerti adanya bahasa terutama dalam ilmu Islam.    
F.      Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.   
Daftar Pustaka
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.
Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998.
Harun Nasution, Dimensi-dimensi Studi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Sayed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 98.








            [1]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. V, 1996, hlm. 61.  
            [2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 652.  
            [3]Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
            [4]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 3. 
            [5]Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 53.
            [6]Ibid, hlm. 55.
            [7]Ibid, hlm. 59.
            [8]M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 57.
            [9]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 18.
            [10]Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
            [11]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 22.
            [12]Harun Nasution, Dimensi-dimensi Studi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hlm. 96-98.
            [13]Sayed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 98..
                [14]Ibid, hlm. 103.
            [15]Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 99.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar