SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
PERSPEKTIF ISLAM



Bicara reproduksi perempuan sesungguhnya adalah bicara soal tubuh perempuan berikut semua yang dimilikinya. Ia bukan sekedar seonggok tulang yang dibungkus daging dan kulit serta organ-organ reproduksi, tetapi juga hati nurani dan akal pikirannya. Ia adalah tubuh manusia dengan seluruh eksistensinya seperti manusia berjenis kelamin laki-laki. Dalam waktu yang sangat panjang makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan ini dipandang oleh banyak peradaban manusia sebagai sosok yang yang hadir untuk dinikmati secara seksual, berfungsi melahirkan sekaligus juga direndahkan. Aristoteles mengkonseptualisasikan perempuan bukan hanya berkedudukan subordinat, melainkan juga secara bawaan dan biologis bersifat inferior dalam kapasitas mental maupun fisik. Semuanya bersifat alami.(Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, hlm.29).

Dalam peradaban Arabia pra Islam perempuan adalah “mata’” (benda) yang bisa diwariskan atau digadaikan dan “mut’ah” (kesenangan) yang bisa diperebutkan laki-laki. Lebih dari itu perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan. Karena itu ia seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan dan pantas untuk dibunuh bahkan hidup-hidup. Realitas kebudayaan seperti ini diungkapkan oleh sejumlah ayat dalam al Qur-an. (Baca :Q.S. al Nahl, 58, al Takwir, 9). Wahb bin Munabbih, seorang ahli tafsir bibel terkemuka, beragama Yahudi kemudian masuk Islam, seperti dikutip ahli Tafsir klasik terkemuka, Ibnu Jarir al Thabari, ketika mengomentari kejatuhan Adam dari sorga, mengatakan : “Tuhan bertanya kepada Adam : mengapa kamu menentang perintah-Ku?”. Adam menjawab : “Gara-gara Hawa. Tuhan kemudian mengatakan : “Jika begitu, Aku akan jadikan dia (Hawa) berdarah-darah setiap bulan, Aku jadikan dia bodoh dan Aku jadikan dia menderita ketika melahirkan. Padahal sebelumnya dia Aku jadikan bersih cerdas dan melahirkan dengan menyenangkan”. Salah seorang periwayat kisah ini mengomentari : “Andaikata tidak karena Hawa, niscaya perempuan di seluruh muka bumi tidak akan pernah haid, cerdas-cerdas dan melahirkan tanpa susah payah”. (Al thabari, Jami’ al Bayan ‘an Takwil Ay al Qur-an, I/237).

Pernyataan al Qur-an maupun perspektif Ibnu Munabbih di atas dengan jelas memperlihatkan betapa pandangan peradaban Arabia pra Islam dan wacana tafsir keagamaan telah menyudutkan dan merendahkan perempuan sedemikian jauhnya. Meskipun pandangan Ibnu Munabbih sulit dipahami oleh logika sehat dan sangat berbau mitologis, tetapi ia memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap status perempuan di kemudian hari. Penghargaan sedikit lebih baik terhadap kaum perempuan dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali melalui izin suami atau keluarga dekatnya atau dengan pengawasan yang sangat ketat. Dan di rumah itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan seks laki-laki (suami) dan melahirkan anak. Perempuan (isteri) harus senantiasa siap menerima kebutuhan laki-laki itu kapan saja dan di mana saja, di dapur atau di atas punggung unta.



Islam dan Hak-hak Perempuan

Islam sebagai agama seperti juga agama-agama yang lain adalah otoritas yang selalu berfungsi menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tirani-tirani manusia yang lain. Al Qur-an menyebutkan fungsi ini sebagai “yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur” (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya). Islam hadir dalam peradaban patriarkhis yang menindas perempuan. Nabi Muhammad menyampaikan statement Tuhan tentang penghapusan diskriminasi manusia di  satu sisi dan membangkitkan kesadaran baru tentang martabat manusia di sisi yang lain. Laki-laki dan perempuan menurut teks suci Tuhan lahir dari entitas yang sama dan karena itu berkedudukan sejajar dan sama di hadapan Tuhan. (Baca : Q.S. al Nisa, 1). Ini adalah merupakan konsekwensi logis dari teologi monoteistik yang dibawa Islam. Beberapa ayat al Qur-an yang turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki. Mereka memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi laki-laki. Ini, kata Umar bin Khattab adalah paradigma baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.(Al Bukhari, al Shahih,V/2197). Bahkan beberapa surah diberi nama “al Nisa” yang berarti perempuan, atau nama seorang perempuan, seperti Maryam atau yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti al Thalaq.

Pandangan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan dalam al Qur-an meliputi aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas dan seksualitas serta segala aktifitas kehidupan praktis yang lain. Tentang hubungan seksualitas, al Qur-an menyatakan : “dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban mereka”.(Q.S. al Baqarah, 228).  Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi terkemuka, mengomentari ayat ini dengan mengatakan : “Aku suka berdandan untuk isteriku seperti aku suka dia berdandan untukku”.(Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al Azhim, I/271). Ayat lain juga menyebutkan : “mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.(Q.S. Al Baqarah, 187). Ayat ini dikemukakan dalam konteks relasi seksual suami isteri. Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, al Hasan, Qatadah, al Siddi, Muqatil bin Hayyan menyatakan bahwa ayat ini berarti bahwa mereka tempat ketenangan bagi kamu (laki-laki) dan kamu tempat ketenangan bagi mereka (perempuan). Ibnu Katsir atas dasar ayat ini menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk menikmati kehidupan seksualnya. (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, I/220). 

Pandangan mainstream konservatif


Pandangan egalitarianisme Islam di atas adalah satu dari sekian prinsip Islam yang diharapkan menjadi landasan bagi system dan pranata-pranata social yang harus dibangun oleh masyarakat Islam untuk sebuah kehidupan yang adil. Sesudah nabi wafat dan beberapa waktu sesudah itu, pandangan demikian mengalami proses perjalanan yang tidak mulus bahkan ada kecenderungan stagnan atau bahkan mundur ke belakang. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, terdapat pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons transformatif-progresif. Mayoritas penafsir al Qur-an dan sunnah nabi seperti yang banyak kita baca dalam literatur klasik Islam memperlihatkan kecenderungan memposisikan perempuan secara subordinat. Hampir semua penafsir klasik berpendirian bahwa perempuan secara alami adalah makhluk inferior, sementara laki-laki superior. Pendirian mereka dibangun atas dasar argumen teks otoritatif, seperti ayat 34 surah al Nisa.

Pandangan ini pada akhirnya membawa implikasi-implikasi serius pada persoalan hak-hak reproduksi perempuan. Sejumlah masalah reproduksi perempuan dalam banyak literature Islam klasik, dikemukakan dengan tetap memposisikan perempuan sebagai makhluk biologis untuk kenikmatan laki-laki.

Hak-Hak Reproduksi Perempuan


1. Khitan perempuan

Khitan perempuan adalah masalah dini dari persoalan reproduksi perempuan. Mengenai khitan Al Qur-an sendiri tidak menyebutkannya secara eksplisit baik untuk khitan laki-laki maupun perempuan. Kitab suci ini hanya menyebut “hendaklah kamu mengikuti tradisi nabi Ibrahim”. Para ahli tafsir kemudian menyebut khitan sebagai salah satu tradisi Ibrahim. Pandangan mainstream kaum muslimin menunjukkan bahwa khitan perempuan adalah perlu. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan khitan perempuan adalah kemuliaan atau penghormatan. Sementara mazhab Syafi’I yang menjadi basis keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia, menyatakan khitan prempuan adalah wajib seperti laki-laki. Khitan adalah kewajiban, ibadah dan syiar agama. (Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu,III/642). Pendirian tersebut didasarkan atas hadits nabi : “potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki”. (Abu Daud, al Sunan, IV/ 368).

Secara kwalitatif hadits yang menjadi dasar perlunya khitan perempuan menurut sejumlah ulama, seperti Abu Daud, Ibnu  Munzir, al Syaukani dan Sayid Sabiq adalah lemah. Dengan kritik sangat tajam Sayid Sabiq mengatakan : “Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang sahih (valid).(Fiqh al Sunnah, I/26). Secara logika pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitive ini (klitoris) sulit dimengerti, apa guna (maslahat) nya ?. Ini  tentu berbeda dengan khitan laki-laki. Pemotongan klitoris boleh jadi justeru menghilangkan kenikmatan seksual perempuan.

Kalau demikian, pernyataan nabi di atas seharusnya dapat diinterpretasikan sebagai respon nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu sambil berusaha melakukan reduksi atasnya secara persuasive dan bertahap. Soalanya penghapusan budaya secara serta merta akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan itu juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan tersebut menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat apalagi menyakiti atau merusak anggota tubuh.

2. Hak menentukan perkawinan

Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa dia akan kawin. Seluruh kepentingan perempuan gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti. Pada daerah tertentu, sampai hari ini masih berkembang anggapan bahwa orang tua yang dalam waktu dini bisa mengawinkan anak gadisnya akan dipandang berhasil. Mengawinkan anak gadis dalam usia dini seringkali merupakan kebanggaan keluarga. Ada sejumlah alasan mengapa ini dilakukan. Ini antara lain adalah kekhawatiran tidak laku atau menjadi perawan tua. Alasan lain yang paling umum dikemukakan adalah bersifat ekonomis.Ini pada umumnya terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah di pedesaan.

Tetapi tradisi mengawinkan anak gadis belum dewasa seringkali juga mengambil dasar keagamaan. Pertama hadits nabi yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah segera mengawinkannya jika dia sudah baligh. Jika tidak segera dikawinkan dikhawatirkan akan menimbulkan “fitnah”. Baligh dalam batasan fiqh ditentukan berdasarkan haidnya atau usia maksimal 15 tahun. Meskipun UU Perkawinan Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan perempuan (16 tahun), namun perkawinan di bawah usia dewasa tersebut masih menjadi fenomena yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jika kita membaca literatur fiqh secara lebih cermat, maka akan ditemukan satu benang merah. Yaitu bahwa perkawinanan di bawah usia bukanlah sesuatu yang baik (mustahab). Imam Syafi’i pernah menyatakan : “Sebaiknya ayah tidak mengawinkan anak gadisnya sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya (kerelaannya) karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab”.(Najib Muthi’i, Takmilah al Majmu’, XV/58). Dalam analisis kesehatan reproduksi, perkawinan dini dapat menimbulkan kondisi yang rawan. Hal ini bukan hanya terkait dengan kondisi alat-alat reproduksinya yang belum kuat, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kematangan mental dan emosinya. Padahal perkawinan dimaksudkan untuk membangun kehidupan rumahtangga yang didasarkan hubungan saling mencintai, saling memberi dan saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Untuk ini dibutuhkan kesiapan mental dan intelektual yang matang untuk dapat menentukan kehidupannya.  

Kedua, ketentuan hukum agama (fiqh) yang menyatakan bahwa ayah berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa izin eksplisit yang bersangkutan. Ayah adalah pemilik hak ijbar yang diterjemahkan sebagai hak memaksa anak gadis untuk dikawinkan dengan laki-laki yang boleh jadi tidak dikehendakinya.

Pemaknaan hak ijbar sebagai hak memaksakan kehendak tanpa persetujuan yang bersangkutan adalah tidak tepat. Perkawinan yang dihasilkan dengan cara pemaksaan sama dengan sebuah transaksi yang tidak didasarkan atas kerelaan (taradhin). Siti Aisyah pernah menceritakan tentang seorang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh ayahnya dengan orang yang tidak dia sukai. Dia mengadukan masalahnya kepada Nabi saws. Mendengar pengaduan perempuan itu beliau kemudian memanggil ayahnya dan memintanya agar menyerahkan urusan itu kepada anak perempuannya itu. (Ibnu al Atsir, Jami’ al Ushul, XII/140). Ini menunjukkan dengan jelas bahwa hak menentukan pasangan hidup atau jodoh berada di tangan perempuan sendiri. Apa yang dapat kita ambil dari sikap nabi saw  tersebut adalah bahwa kemandirian perempuan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena di dalamnya terkandung aspek tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya sendiri.

2. Hak penikmatan seksual.

Sebagai makhluk biologis, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama dalam hal menikmati kehidupan seksual (coitus). Kebutuhan akan seks adalah fitrah binatang apa saja, termasuk manusia. Dalam Islam kebutuhan seks manusia itu harus disalurkan melalui ikatan perkawinan yang oleh al Qur-an disebut sebagai “mitsaq ghalizha”, perjanjian yang kuat Tetapi dalam banyak literature fiqh Islam, hak penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan direduksi, jika tidak boleh disebut dinafikan. Pendapat terkuat dari mazhab al Syafi’i, misalnya, berpendirian bahwa kewajiban laki-laki (suami) melayani kebutuhan seksual perempuan hanya sekali seumur hidup perkawinan mereka. Ini juga hanya karena tuntutan moral belaka.(Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazahib al Arba’ah, IV/3). Selebihnya adalah tergantung pada laki-laki (suami) untuk memenuhinya atau tidak. Dengan arti lain, laki-laki (suami) berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan perempuan (isteri) wajib memenuhinya. Pandangan lebih baik dikemukakan oleh mazhab Maliki, meskipun masih tetap bias. Ia mengatakan bahwa suami wajib melayani kebutuhan seksual isteri hanya jika penolakannya akan menimbulkan penderitaannya.

Perspektif ahli fiqh di atas agaknya merupakan konsekwensi dari rumusan nikah yang dibuatnya.  Mayoritas besar para ahli fiqh menyepakati rumusan perkawinan atau pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan tubuh perempuan. Rumusan ini di samping memperlihatkan perspektif laki-laki, juga melihat perempuan sebatas sebagai sosok tubuh dan organ-organ reproduksi yang menarik dan patut dinikmati, bukan sebagai tubuh yang utuh dengan segenap kehendak dan hasrat kemanusiaannya.  

Pada sisi lain pandangan ahli fiqh di atas tampaknya berpijak pada argumen hadits nabi yang dibaca harfiyah dan diinterpretasikan secara bias. Nabi saw menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi. (baca : Al Bukhari, al Shahih, V/1992). Wacana keagamaan ini tampaknya telah berkembang menjadi kebudayaan yang masih berlangsung sampai hari ini. 

Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolaknya sesungguhnya dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya. Bukan hanya dia sangat mungkin tidak mendapatkan kenikmatan seksual, tetapi juga boleh jadi merupakan tekanan yang berat secara psikologis. Lebih jauh ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.

Pandangan ini sungguh sulit dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan pesan al Qur-an tentang perlunya membangun relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah) antara suami dan isteri dalam membina rumahtangganya untuk sebuah generasi yang sehat. Al Qur-an dan hadits nabi juga selalu menekankan pentingnya relasi yang dibangun atas dasar  “mu’asyarah bi al ma’ruf”. Ini tentu saja membutuhkan relasi yang saling memahami, menghargai dan menjaga kesehatan reproduksinya masing-masing. Karena itu adalah mungkin diinterpretasikan bahwa apa yang dikemukakan hadits tersebut berlaku terhadap perempuan (isteri) yang berada dalam kondisi aman dan tidak dalam tekanan-tekanan psikologis. (Untuk interpretasi ini lihat dalam : Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari, IX/294, Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, IX/6851).

Prinsip kesejajaran laki-laki dan perempuan, dan “mu’asyarah bi al ma’ruf” di atas  sesungguhnya akan membawa konsekwensi logis pada dua hal. Yaitu hak perempuan untuk memperoleh kenikmatan kehidupan seksualnya dari laki-laki (suami) di satu sisi dan hak perempuan untuk menolak hubungan seksual karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan di sisi yang lain. Aspek lain yang terkait dengan ini adalah haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi termasuk biaya yang diperlukan bagi kesehatannya.

3. Hak menentukan kehamilan

Paradigma ini lebih lanjut dapat menjadi dasar bagi hak perempuan menolak untuk hamil karena pertimbangan kesehatan reproduksinya. Adalah sangat simpatik bahwa al Qur-an menekankan perlunya masyarakat memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal kehamilan perempuan. Kehamilan, kata al Qur-an, merupakan proses reproduksi yang sangat berat : “wahnan ‘ala wahnin” (kelemahan yang berganda) (Q.S. Luqman, 14) dan “kurhan” (sesuatu yang sangat berat).(Q.S. al Ahqaf, 15). Al Qur-an melalui kedua ayat di atas berwasiat agar manusia berbuat baik kepada orang tua mereka. Kondisi sangat lemah dan sangat berat tersebut mencapai puncaknya pada saat melahirkan. Terdapat banyak fakta social dan data penelitian tentang kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan dan proses melahirkan.

Oleh karena itu adalah sangat masuk akal bahkan seharusnya jika kehendak  untuk hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak, perlu mempertimbangkan suara perempuan lebih dari suara laki-laki. Perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat cikalbakal manusia dikandung. Dalam masa Islam klasik persoalan kehendak untuk tidak hamil dibahas dalam bab Azl atau coitus interuptus. Meskipun ada pandangan yang mengharamkan azl, karena dianggap sebagai “pembunuhan tersamar”, tetapi mayoritas ulama berdasarkan teks hadits yang lain membolehkannya. Al Ghazali bahkan bukan hanya membolehkan azl atas dasar pertimbangan kesehatan reproduksi melainkan juga atas dasar keinginan perempuan sendiri untuk  menjadi tetap cantik, awet muda, khawatir risiko keguguran dan khawatir repot banyak anak. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/52).

Pada saat ini proses menunda kehamilan atau mengaturnya dapat dilakukan melalui teknis, metode dan alat kontrasepsi yang beragam dan lebih canggih. Mayoritas pandangan ulama dewasa ini telah memberikan lampu hijau bagi masyarakat muslim untuk menggunakan metode-metode dan alat-alat kontrasepsi apapun sepanjang tidak dimaksudkan untuk membatasi berlangsungnya proses reproduksi manusia. Agak disayangkan memang bahwa alat-alat kontrasepsi yang ada sampai saat ini masih lebih banyak  diperuntukkan bagi perempuan dan jarang bagi laki-laki. Penyebutan alat-alat kontrasepsi diasosiasikan masyarakat sebagai alat-alat untuk perempuan.

4. Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi

Akan tetapi memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan atau memutuskan kehamilannya tidaklah cukup dapat menjamin terwujudnya kondisi reproduksi perempuan yang sehat. Indikasinya adalah seringnya muncul keluhan perempuan yang ber KB. Hal ini bisa terjadi ketika mereka tidak diberikan hak untuk mendapatkan informasi mengenai system dan alat-alat kontrasepsi yang membuatnya tetap sehat. Di sinilah, maka perempuan juga berhak mendapatkan pengetahuan yang baik mengenainya. Pihak-pihak lain yang memahami alat-alat kontrasepsi, terutama pemerintah, berkewajiban menyampaikan secara jujur mengenainya, bukan atas dasar kepentingan demografis tetapi benar-benar karena alasan kesehatan reproduksi perempuan. Ini berarti juga bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani pemasangan alat kontrasepsi berkewajiban memberikan jenis alat kontrasepsi yang sesuai atau cocok untuk kepentingan tersebut.

Adalah sangat menarik bahwa ketika al Qur-an mengemukakan asal kejadian manusia dan perkembangbiakannya ia kemudian menekankan kepada manusia agar benar-benar saling memberikan informasi tentang perlunya menjaga rahim. Al Qur-an menyatakan : “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (saling memberi informasi, pen.) dan saling menjaga rahim-rahim”. (Q.S. al Nisa, 1). Para ahli tafsir memang memberikan tafsiran ayat ini tentang perlunya menjaga hubungan silaturrahim melalui pemenuhan hak dan kewajiban kemanusiaan. Akan tetapi adalah mungkin bahwa ia juga dimaksudkan agar manusia juga saling menjaga rahim, tempat di mana cikalbakal manusia dikandung dan kemudian dilahirkan.

5. Hak menentukan kelahiran

Penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan tidak dengan sertamerta menjamin kehamilan itu sendiri. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, misalnya, mungkin saja terjadi dan dalam banyak fakta kemungkinan ini seringkali terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki dengan begitu sangat bisa terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki mungkin juga bukan hanya karena factor kegagalan kontrasepsi melainkan juga karena faktor lain yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi perempuan. Dalam keadaan demikian dapatkan perempuan menggugurkan kandungannya (aborsi)?.

Pada prinsipnya, Islam mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan lebih jauh pembunuhan manusia. Ini dikemukakan dalam banyak ayat al Qur-an maupun pernyataan nabi saw. Al Qur-an menyatakan : “jangan kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan”. Dalam sebuah hadits nabi pernah menyatakan : “la dharar wa la dhirar” (tidak ada hak orang untuk membuat tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain). Ia hanya bisa dilakukan atas dasar hukum yang benar demi keadilan manusia.

Meski demikian ada banyak kasus dimana manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan  yang tidak dikehendaki. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan yang hamil dihadapkan pada persoalan penyakit yang dapat membawa risiko kematian jika kehamilannya diteruskan. Misalnya penyakit jantung kronis, paru-paru atau kanker yang parah dan lain-lain. Seorang perempuan juga bisa menghadapi problem kehidupan yang sangat pahit, misalnya stress berat akibat perkosaan atau incest. Pada kasus-kasus seperti ini dia menghadapi pilihan yang dilematis. Menggugurkan kandungan dapat berarti membunuh jiwa manusia yang sudah hidup. Tetapi membiarkan jiwa tersebut tetap hidup di dalam perut ibunya kemudian dilahirkan, bisa  jadi dapat mengakibatkan kematian sang ibu atau membawa trauma psikologis yang sangat berat. Realitas Indonesia menunjukkan bahwa kematian ibu negara ini akibat melahirkan tergolong paling besar. Lebih dari 400 orang setiap 100 ribu meninggal dunia.  Bagaimana sikap Islam khususnya fiqh mengenai hal ini ?.

Tradisi fiqh selalu menyediakan sejumlah alternatif jawaban, karena ia adalah produk pemikiran orang dalam sejarah. Kesepakatan para ahli fiqh dalam kasus ini terjadi ketika janin sudah berusia di atas 120 hari. Pengguguran kandungan pada usia ini diharamkan. Pada usia ini menurut mereka, janin sudah merupakan wujud manusia berikut segala kelengkapannya. Untuk aborsi sebelum usia 120 hari para ahli Islam mempunyai pandangan yang beragam. Pluralitas pandangan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan mereka dalam  menganalisis teks al Qur-an dalam surah al Mukminun, 12-14 dan hadits nabi yang menegaskan persoalan ini. Ayat ini menyebutkan fase-fase pertumbuhan dan pembentukan manusia dalam kandungan. Yaitu fase nutfah, ‘alaqah dan mudghah. Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al Ghazali dari mazhab Syafi’I, mayoritas mazhab Maliki dan Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri (leteralis). Mereka menyatakan aborsi diharamkan sejak fase pembuahan. Sementara mayoritas mazhab Syafi’I, sebagaimana diungkapkan al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, mengharamkan aborsi sesudah fase nutfah. Pendirian paling longgar dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Al Hashkafi mengatakan bahwa aborsi dapat dilakukan pada janin dibawah usia 120 hari. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/51, Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, II/348, Ibnu Hazm, Al Muhalla, XI/35-40. Baca pula : Jad al Haq Ali Jad al Haq, Ahkam al Syari’ah al Islamiyah fi Masail al Thibbiyyah, hlm. 139).

Sepanjang yang dapat ditelusuri dalam literature fiqh klasik yang sampai hari ini masih menjadi sumber otoritatif kaum muslimin sesudah al Qur-an dan hadits dapat disimpulkan bahwa aborsi (bahasa fiqh :Isqasth al Haml atau Ijhadh), sepakat dibolehkan hanya ketika membiarkan janin tetap hidup sampai melahirkannya dapat mengancam nyawa ibu. Kepastian bahaya kematian ini didasarkan atas keterangan medis terpercaya. Pandangan ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah kematian ibu. Ia harus lebih diprioritaskan atau dipertimbangkan dibandingkan dengan kematian janin. Dalam wacana fiqh kematian janin memiliki risiko lebih ringan dibanding risiko kematian ibu. Ibu adalah asal sekaligus sumber kehidupan bagi yang lain. Esksistensinya telah benar-benar nyata. Ibu juga memiliki sejumlah kewajiban terhadap orang lain. Keadaan ini berbeda dengan janin. Meskipun dapat dinyatakan telah eksis karena telah hidup di dalam perut (rahim), akan tetapi ia tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap orang lain. Untuk mendukung pandangan ini para ahli fiqh mengemukakan sebuah kaedah hukum : “Jika kita dihadapkan pada sebuah dilemma yang membahayakan, maka korbankan hal yang paling kecil risikonya dengan menyelamatkan hal yang memiliki risiko lebih besar/berat”.: “Idza ta’aradhat al mafsadatani ruu’iya a’zhamuhuma dhararan”, atau “al Akhdz bi Akhaff al dhararain”. (Al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair, hlm. 62).

Dari keterangan di atas tampaknya kita sekali lagi perlu memahami bahwa persoalan aborsi sesungguhnya sekali lagi bukan terletak pada soal hukum boleh atau tidak boleh dan bukan pula karena suatu alasan tertentu, melainkan berkaitan dengan hal lain yang lebih prinsipil, yaitu soal kematian perempuan (ibu). Pemikiran ini harus menjadi dasar bagi pertimbangan keputusan hukum untuk dilakukannya tindakan aborsi atau tidak. Pada sisi lain, meskipun undang-undang telah melarang tindakan aborsi akan tetapi ia bisa saja dilakukan orang dengan segenap cara dan berbagai jalan. Dan ini seringkali membahayakan bagi keselamatan hidupnya. Saya kira kita perlu memikirkan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menimbulkan kemungkinan kematian perempuan lebih banyak . (Husein Muhammad)


Cirebon, 30 Juni 2004

*Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari : “Hak-Hak Dan Kesehatan Reproduksi Perempuan”, 01 Juli 2004 di Hotel Prima, Cirebon, diselenggarakan Rahima Jakarta-WCC Balqis Cirebon.


STARA:: Katakan TIDAK untuk Khitan Perempuan

Terbentuknya tradisi khitan perempuan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari stigma tentang perempuan dalam budaya patriarki. Anggapan bahwa perempuan adalah penggoda dan pemilik syahwat besar telah menyumbangkan banyak mitos dalam kehidupan perempuan, termasuk pada tradisi khitan. Dengan dikhitan daya seksual perempuan dibatasi dan ia dianggap tidak akan lagi menjadi sumber penggoda bagi lak-laki.

Stigma di atas tentu saja sangat menjerumuskan karena laki-laki itu sendiri dapat menjadi sumber penggoda bagi perempuan. Nafsu seksual itu sendiri memang sudah menjadi naluri dalam diri manusia, baik laki-laki dan perempuan. Tidak ada bukti ilmiah bahwa perempuan yang tidak dikhitan memiliki nafsu seksual yang tidak terkendali.

Khitan pada perempuan memang bermasalah, mulai dari cara pandang hingga teknik yang dipergunakan. Dalam sebuah diskusi di Jakarta (Mei/2005), Lies Marcoes-Natsir menyatakan bahwa cara pandang ini cukup berbahaya karena ditujukan untuk mengontrol dan menundukkan perempuan.

“Jika dilihat dari pandangan ini, maka khitan perempuan menjadi masalah, karena mengukuhkan suatu cara pandang yang bias jender,” tegasnya. (www.wahidinstitute.org)

Ditinjau dari aspek kesehatan, khitan pada perempuan sama sekali tidak memberikan manfaat. Hal ini diakui oleh Hj. Tuti Astiyah, seorang bidan di Bandung, dalam tulisannya di Kompas (Mei/2003). Dalam beberapa kali aktivitasnya membantu proses persalinan, ia menemukan sejumlah perempuan yang bagian dalam vaginanya tersayat luka.

“Dapat dibayangkan ada luka sayatan di dalam dinding vagina yang tidak jelas manfaatnya yang tentu juga merusak selaput dara atau hymen,” tulisnya.

Lebih lanjut menurut Tuti, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan banyaknya temuan komplikasi akibat khitan bayi perempuan di negara-negara Afrika, seperti infeksi dan adanya fistula pada daerah yang dilakukan penyunatan.

Berbeda dengan khitan laki-laki yang dilakukan dalam bentuk seragam di berbagai tempat, khitan perempuan memiliki variasi bentuk beragam tergantung adat istiadat setempat. Ketidaksamaan ini pada akhirnya banyak menyumbangkan efek negatif pada khitan perempuan. (Lihat: Diskursus Khitan Perempuan)

Pemakaian alat yang tidak steril, teknik khitan yang beragam cara, bentuk khitan yang variatif hingga luka bekas khitan yang berbekas seumur hidup adalah juga merupakan faktor lain yang membahayakan. Di Afrika, penularan HIV/AIDS menjadi lebih cepat dan panjang karena praktek yang tidak steril pada banyak perempuan yang dikhitan selagi bayi. (Sinar Harapan; 2005)

Aktivis perempuan sedunia dalam Konferensi Beijing (1995) telah menyatakan penolakan atas praktek yang dinilai melanggar HAM ini. Tidak ketinggalan juga WHO melarangnya, karena khitan perempuan dapat merusak hak reproduksi perempuan dan merampas kesehatan serta kepuasan seksual.

Di Indonesia, baru tahun ini Departemen Kesehatan secara terang-terangan menyatakan dukungannya. Disusul oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) yang menegaskan bahwa khitan perempuan bukan bagian dari tradisi negeri ini.

Maka, mengingat berbahayanya praktek mutilasi organ reproduksi perempuan dalam bentuk apapun, mari hentikan praktek khitan perempuan sekarang dan selamanya.

Ema Mukarramah, dari berbagai sumber


AJARAN KHITAN DALAM ISLAM

Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.).
Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).

Faedah khitan: Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa dan AS melakukan khitan.[1]

Hukum Khitan

Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.

Hukum khitan untuk lelaki:

Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.

Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.

Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.

1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;

2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur buku ketiak dan memndekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.

3. Hadist Ayaddad bib Aus, Rasulullah s.a.w bersabda:"Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk yang wajib.

Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitab wajib adalah sbb.:

1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.

2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.

3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.

4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.

5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.

6. Khitan merupakan tradisi mat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.



Khitan untuk perempuan

Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.

Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.

Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.

Hadist paling populer tentang  khitan perempuan adalah hadist Ummi 'Atiyah r.a., Rasulllah bersabda kepadanya:"Wahai Umi Atiyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya". Hadist ini diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.

Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan.

Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung Arab) dianjurkan khitan, sedangkan perempuan Barat dari kawasan Afrika tidak diwajibkan khitan karena tidak mempunyai kulit yang perlu dipotong yang sering mengganggu atau menyebabkan kekurang nyamanan perempuan itu sendiri.



Apa yang dipotong dari perempuan

Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.

Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutib Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga memotong hingga semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk clitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun". Beberapa kajian medis membuktikan bahwa khitan seperti ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan maupun psikologis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai pernyakit kelamin pada perempuan.

Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di situ pun Rasulullah s.a.w. melarang berlebih-lebihan dalam menghitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah s.a.w. secara hukum bisa mengindikasikan keharaman tindakan tersebut. Apalagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman tindakan tersebut.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, yang pada umumnya sulit untuk bisa melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka sebaiknya tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang melandasinya.



Waktu khitan

Waktu wajib khitan adalah pada saat balig, karena pada saat itulah wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang yang merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.

Adapun waktu sunnah adalah sebelum balig. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh seytelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur 10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umut 7 hari hukumnya makruh karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah s.a.w. menghitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur 7 hari, begitu juga konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq pada umur 7 hari.



Walimah Khitan

Walimah artinya perayaan. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan Qadli Iyad bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis, yaitu : 1) Walimatul Urush untuk pernikahan; 2) Walimatul I'dzar untuk merayakan khitan; 3) Aqiqah untuk merayakan kelahiran anak; 4). Walimah Khurs untuk merayakan keselamatan perempuan dari talak, konon juga digunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran bayi; 5) Walimah Naqi'ah untuk merayakan kadatangan seseorang dari bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang bepergian. Kalau yang menyediakan orang yang di rumah disebut walimah tuhfah; 6) Walimah Wakiirah untuk merayakan rumah baru; 7) Walimah Wadlimah untuk merayakan keselamatan dari bencana; dan 8) Walimah Ma'dabah yaitu perayaan yang dilakukan tanpa sebab sekedar untuk menjamu sanak saudara dan handai taulan.

Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian secara eksplisit imam Nawawi menegaskan bahwa walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.



[1] D,H. Sach et al: J. Amer. Med.. Ass., 267 (1992) 679-681. Linda Cook et al : Amer. J. Publ. Health : 84 ( 1994) 197 - 201. J. L. Mark: Sciece: 245(1989) 470- 471. S, Moses et al: lntl. J. Epidemiology: 19 (1990) 693-697.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar