SEJARAH MASUKNYA PERKEMBANGAN TASAWUF
A. Landasan dan Motivasi Lahirnya
Tasawuf
Timbulnya
tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu
semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk segenap ummat manusia dan seluruh
alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira
disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk
memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk
membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat
pada waktu itu.
Tahannuts
dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa
dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam
ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini,
mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam
situasi yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh
berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat
manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala
pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat
menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian
jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.
Dengan
turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau 16 Agustus 571 M,
berarti Muhammad SAW telah diangkat dan diutus menjadi Rasul untuk
mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan ummat manusia dari lembah
kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat
Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan
peradaban dan kebudayaan manusia.
Adapun
tentang sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam itu terdapat
bermacam-macam pendapat. Diantaranya ada yang menyatakan bahwa sumber tasawuf
islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu pula ada yang
berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia, Hindu Nasrani dan
sebagainya.
Orientalis
Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata tentang sumber tasawuf bahwa
:”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam memecahkan dan mencari
sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam bidang Aqidah islam diantara
pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara mazhab tasawuf dan mazhab ahli
Sunnah wal-Jama`ah.” Menurut penadapat merx :”Tasawuf merupakan aliran yang
datang kedalam islam yang berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones,
tasawuf islam itu berasal dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama
Zoroaster Persia atau agama Hindu. (Qamar Kailany: 15)
Tentang
tasawuf Islam itu berorientasi R.A Nicholson menjelaskan sebagai berikut
: “Menetapkan tasawuf Islam merupakan import kedalam islam, tidaklah dapat
diterima, yang sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama islam, bahwa
bibit berfikir seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh didalam
hati setiap keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu sedang membaca
Al-Qur`an dan Hadist Nabinya.” (Qamar Kailany;15).
Dari
pendapat-pendapat tersebut diatas jelas adanya perbedaan pandangan tentang
sumber tasawuf Islam itu, namun demikian dapat dinyatakan bahwa para
orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa tasawuf Islam itu
berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada benih-benih untuk tumbuh dan
berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati setiap muslim, karena tidak
dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan bahwa : Islam itu tinggi dan tidak
ada yang dapat mengatasinya,” dengan pengertian lain dapat ditegaskan bahwa
kemurnian ajaran islam itu benar-benar mengandung nilai-nilai kerohanian
yang menjadi sumber akhlak bagi setiap muslim, terutama bagi para sufi yang
senantiasa berusaha membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka dan berhias
dengan perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari perangai tercela.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa sumber dan landasan tasawuf islam itu sendiri,
tetapi dalam perkembangan selanjutnya mendapat pengaruh dari luar islam. Dalam
hal ini Qamar kailany dalam bukunya Fittashawuffiislam menjelaskan bahwa
tasawuf Islam itu dalam perkembangannya ,mempunyai unsur-unsur yang jauh.
Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang jauh. Unsur yang dekat ialah Al-Quran,
Hadist, Sirah Nabi, Sirah Khulafaurrasyidin, Struktur Sosial dan Firqah-firqah
sedangkan unsur jauh ialah pengaruh agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia
(Khamar Kailany: 16).
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa
fase, yaitu :
1. Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu – individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
2. Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak (berkembang ± satu abad).
3. Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu sangat kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi.
4. Pada abad kelima Hijriah, muncullah imam AL-Ghazali yang sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan arketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
5. Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.
6. Pada abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah – setengah . diantara mereka terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.
1. Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu – individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
2. Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak (berkembang ± satu abad).
3. Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu sangat kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi.
4. Pada abad kelima Hijriah, muncullah imam AL-Ghazali yang sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan arketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
5. Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.
6. Pada abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah – setengah . diantara mereka terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.
PERKEMBANGAN TASAWUF ISLAM
Seperti yang telah disinggung dimuka, kehidupan zuhud dalam masyarakat Islam
pada awalnya sejarah merupakan langkah awal atau dari kehidupan rohani yang
kemudian berkembang ketahap lanjutan yang disebut tasawuf. Kehidupan zuhud
merupakan ajaran Islam yang murni dan karena itu ia telah dikenal dengan
beberapa nama sejak permulaan lagi, seperti (zahid), (faqir), nasik dan
sebagainya. Semua istilah ini menunjukakan kepada kesalehan, ketakwaan yang
sungguh-sungguh dalam berpegang kepada ajaran dan tuntunan agama dalam
kehidupan dan ibadat seperti yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi sendiri.
Dalam
permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud belum lagi merupakan suatu gerakan
keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat islam, akan
tetapi ia merupakan kegiatan dan kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk islam
Al-Quran dan sunah Nabi. Dalam masa ini, para sahabat lebih gemar berjihad
dijalan Allah dan berdakwah untuk mengajak orang memeluk agama Islam daripada
kepedulian mereka kepada hidup zuhud dan beriktikaf dimesjid
karena berjihad dalam zaman ini dipandang sebagai amalan yang paling mulia dan
paling tinggi mertabatnya. Sehingga banyak umat Islam yang ingin memperoleh
gelar Syahid karena gugur dalam berjihad dan berdakwah dijalan Allah.
Dalam zaman ini, kehidupan zuhud mempunyai dua ciri yang utama :
1. Dari segi ibadat yang tampak dalam
berbagai zikir dan salat sunat
2. Segi akhlak yang terlihat pada
kesungguhan serta keikhlasan berpegang pada sikap tawakkal yang kemudian telah
berkembang menjadi akhlak para sufi pada umumnya.
Pada
akhir abad kedua Hijriah, kehidupan zuhud telah berkembang demikan rupa,
sehingga telah beralih kepada kehidupan tasawuf yang dengan sebab itu
ilmu syariat terpecah kepada dua bagian: ilmu fikih dan Tasawuf.
Ilmu
fikih membahas hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan anggota lahir ,
seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Sedangkan
ilmu tasawuf membahas rahasia syariat atau makna-makna rohani dari syariat yang
berlaku pada hati sperti : Riya, Ikhlas, khusyu`, tama`, angkuh dan sebagainya.
Pada zaman ini kedua macam ilmu agama ini diamalkan bersama dan dipandang
sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan tuntutan
syariat, kendati pun dari segi ilmiah dapat dibahas secara terpisah.
Dalam
abad ketiga dan keempat Hijriah, ilmu tasawuf memasuki zaman kejayaan, dimana
perkembangan dan kemajuan ilmu ini telah mencapai puncaknya. Dalam zaman ini
kita menyaksikan banyak pemuka sufi yang muncul ditengah-tengah masyarakat
Islam, sehingga ilmu tasawuf telah memainkan peranan yang khas disamping
ilmu-ilmu islam lainnya. Kendati ilmu tasawuf kemudian lahirnya dalam
masayarakat Islam dibandingkan dengan ilmu tafsir dan ilmu fikih misalnya, akan
tetapi peranan yang dimainkan para pemuka sufi zaman ini adalah sangat
berhasil, terutama sumbangannya dalam membangkitkan kepedulian para ulama
terhadap sisi kerohanian dari ajaran Syariat
Islam.
Dan
berkat upaya mereka pula. Ilmu ini telah memperoleh kedudukan yang sah dan
sejajar dengan ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam zaman ini dunia ilmu tasawuf
telah mengenal pemuka-pemuka sufi yang tersohor. Antara lain:
1. Dzun Nun al-Misri (wafat 245 H)
2. Ma`ruf al-Kharki (wafat 200 H)
3. Abu Sulaiman al-Darani (wafat 215 H)
4. Al-Junaid al-Baghdadi (wafat 298 H)
5. Sirri al-Siqti (wafat 253 H)
6. Abu Bakar Al-Syibli (wafat 334 H)
7. Dan lain.lain.
Dalam
pengamalan dan penghayatan keagamaan, para sufi mempunyai tujuan yang diperoleh
yaitu “ Keyakinan”. Martabat yakin tidak akan memperoleh tanpa ada makrifat,
lebih-lebih karena martabat yakin yang ingin dicapai adalah martabat haq
al-yaqin. Sebagaimana diketahui para sufi membagi martabat yakin kepada tiga
bagian:
1. Ilmu Yaqin
Yang diperoleh dengan akal fikiran
2. Ainul yaqin
Adalah ilmu yang diperoleh dengan
panca indra
3. Haqqul yaqin
Adalah ilmu yang diperoleh dengan
hati atau dzauq.
Untuk memudahkan pemahaman diberi contoh seperti asap yang menunjukkan kepada
adanya api. Selagi adanya api itu dibuktikan dengan asap maka itu disebut ilmul
yaqin, dan dibuktikan dengan melihat sendiri dengan mata maka itu `ainul yaqin,
sedangkan jika api itu dibuktikan adanya yang menyentuhnya, maka itu disebut
haqqul yaqin. Dalam tingkat yakin yang terakhir ini, keraguan tidak ada lagi,
karena mengetahui dengan yang diketahui sudah menjadi satu. Inilah tingkat
yakin yang paling diinginkan oleh para sufi dari berbagai mazhab dan aliran.
Dengan demikian hanya dengan makrifah yang bersumber dari hati, orang sufi
memperoleh haqqul yaqin. Inilah sebabnya ma`ruf al-Kharki mengatakan Tasawuf
adalah mengambil hakikat dan tidak mengharapkan apa yang ada ditangan manusia.”
Maksudnya mengetahui hakikat Illahi melalui (kasyf=penyingkapan tabir) dan
memilih hidup zuhud atau menahan diri dari apa yang dimiliki oloeh manusia.
Sebenarnya tidak sedikit bantahan terhadap tasawuf yang datang dari kalangan
para ulama ahlussunnah. Terutama setelah Tasawuf mengalami berbagai
pengaruh dari budaya asing yang kebanyakan bercanggah dengan akidah islam.
Konsep al-Hulul dan ittihad yang diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj dan
dengannya dia menyatakan dirinya sebagai al-haqq telah berakhir dengan fatwa
ulama yang membolehkannya dibunuh. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah
tasawuf Islam seorang sufi dihalalkan darahnya oleh para ulama karena ajarannya
yang bertentangan dengan akidah agama. Demikian juga ajaran tasawuf
al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan dirinya sebagai
seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi dan berakhir dengan fatwa
ulama bahwa dia adalah seorang kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung di
Aleppo pada tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya dengan Ibn
Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri karena serangan
para ulama yang sangat gencar terhadap ajaran tasawuf yang diajarinya.
Tidak sedikit pila para ulama yang membantah ajaran tasawuf Ibn Arabi yang
mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan suatu kesatuan yang
dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan pada hakikat adalah satu.
Dengan banyaknya ajaran yang
menyimpang dari syari`at, maka ilmu tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran
yang luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu
Islam dan telah berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak
membawa sesuatau yang baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari
pengagungan para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANAGAN TASAWUF
Secara historis tasawuf telah
mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga
keadaannya sekarang.
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat
sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim
memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah
untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain: Al-hasan Al-Basri
(w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian
berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek
teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku hingga tasawuf menjadi
sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong
lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang
lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan
pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT. Sehingga lahir
konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum sufi, yang
berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan, maupun
istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain
: Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya
Al-Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah
sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti
Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan
pendidikan kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk pertama kali
dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga
pendidikan yang memberikan berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan
sufisfik, kepada para murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia
tasawuf. Pada periode ini muncul pula jenis baru tasawuf yang diperkenalkan
Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj yang dihukum mati akibat doktrin hullulnya pada
309 H.
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang
dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya
menegmbalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan
Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum
pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai
aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah
untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan
sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam
orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi
disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min
Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di
Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat
untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh
Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf
Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang
paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya,
Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H).
model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf
Al-Ghazali.
Kenyataan bahwa konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam tasawuf falsafi
terpengaruh oleh sumber-sumber asing pada gilirannya mendorong sejumlah
peneliti mengasumsikan tasawuf sebagian bersumber dari kebudayaan asing dan
menutup kemungkinan bersumber pada Islam. Jadi, meski filsafat dan menciptakan
istilah-istilah serta mewarnai konsepsi-konsepsinya dengan citra filsafat,
pertumbuhannya tetap bersumber dari islam. Oleh karena itu, kebanyakan
orientalis kemudian berubah sikap dengan tetap mengakui islam sebagai salah
satu sumber tasawuf. Nicholson dan Spencer Triminham, misalnya, mengakui adanya
sumber islam dalam Tasawuf. Menurut Abdul rahman badawi, hal itu disebabkan
oleh asumsi-asumsi yang tidak diperkuat oleh data-data yang ada.
Mengakui adanya sumber islam dalam tasawuf tidak lantas mengingkari pengaruh
sumber-sumber asing, tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh
tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak
layak apabila menetapkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat spirit yang
justru lebih dekat kepada semangat islam terutama dari prespektif Al-Quran dan
Sunnah.
]
Namun penting dicatat bahwa tasawuf telah mengalami kemunduran sejak abad
ke-8 H karena mereka yang
berkecimpungan dalam bidang tasawuf terbatas kegiatannya pada menulis
komentar atau meringkas buku-buku tasawuf yang dikarang oleh sufi terdahulu,
kemudian memfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktik ritual yang umumnya
dilakukan dalam bentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi.
Meskipun pengikut tarekat mencatat perkembangan pesat, tidak seorangpun yang
tampil sebagai tokoh klasik, baik dalam pengalaman
Penghayatan, maupun kualitas ilmu.
Barangkali, adalah kebekuan pemikiran serta spiritualitas kering yang melanda
Dunia Islam sejak masa-masa akhir periode Dinasti Usmaniah, yang menjadi faktor
penyebabnya.
Bagaimanapun, penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam tasawuf selama
masa-masa belakangan tidak berarti kelemahan ajaran tasawuf atau kesalahan
metodologinya. Berangkat dari persepsi ini kiranya dapat disimpulkan bahwa
tasawuf mengalami pola perkembangan alami. Dimulai dari gerakan zuhud pada
masa Rasulullah Hasan Al-Basri, Abd Al-Wahid Ibn Zaid, Ibrahim Ibn Ibn
Adham, rabi`ah Al-Adawiyah kemudian Ma1ruf Al-Kahrki Al-harits Al-Muhasibi, Abu
yazid Al-Busthami< Al-Junaid dan Al-Hallaj hingga abad ke-4 H.
Perlu diingat bahwa kepercayaan kaum sufi
terhadap tasawuf sebagai ilmu yang mampu menelusuri1 makna tersembunyi dan
rahasia serta hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran atau, meminjam
ungkapan Al-Thusi, mencapai hakikat pemahaman Al-Quran mendorong mereka
melakukan semacam otokritik terhadap yang mereka sebut sebagai sufi-sufi palsu
(ad`iya al-tashawuf). Salah satu tujuan mereka menulis atau mengarang
buku.
0 komentar:
Posting Komentar