OBYEK
PENDIDIKAN DALAM AL QURAN
A.PENDAHULUAN
Al-Qur’an berbicara tentang berbagai hal, seperti aqidah, ibadah, mu’amalah
berbicara pula tentang pendidikan. Namun demikian, al-Qur’an bukanlah kitab
suci yang siap pakai, dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an
tersebut tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut.
Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general. Untuk
dapat memahami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau
seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama’.[1]
Dalam sebuah pendidikan tentunya
terdapat sebuah subyek, obyek dan sarana-sarana lain yang sekiranya dapat
membantu terselenggaranya sebuah pendidikan. Allah SWT telah memerintahkan
kepada Rasul-Nya yang mulia, di dalam ayat-ayat yang jelas ini, agar dia
memberikan peringatkan kepada keluarga dan sanak kerabat duli kemudian kepada
seluruh umat manusia agar tidak seorang pun yang berprasangka jelek kepada
nabi, keluarga dan sanak kerabatnya.
Jika dia memulai dengan memberikan peringatan kepada kelurga dan sanak kerabatnya, maka hal itu akan lebih bermanfaat dan seruannya akan lebih berhasil.
Jika dia memulai dengan memberikan peringatan kepada kelurga dan sanak kerabatnya, maka hal itu akan lebih bermanfaat dan seruannya akan lebih berhasil.
Berbicara masalah pendidikan, tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan,
adanya tujuan pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran, dan tentunya
terdapat objek pendidikan pula. Di dalm al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
masalah-masalah pendidikan tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. At. Taubat ayat 122?
2.Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. At. Tahrim ayat 6?
3.Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. Asy Syua’ara
ayat 214?
4.Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. An.Nisa’ ayat 170?
5.Siapa
sajakah yang bertanggung jawab dalam pendidikan islam?
C.
PEMBAHASAN
QS.
At. Taubat ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا
كَافَّةً, فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَا ئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا
فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُوْنَ
Artinya:
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min pergi semuanya (ke medan perang),
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menyadari dirinya (Qs.
At Tahrim: 122)
Dalam ayat diatas juga terdapat dua
lafadz fi’il amar, yang disertai dengan lam amar, yakni (supaya mereka
memperdalam ilmu) dan lafadz (supaya mereka memberi peringatan), yang berarti
kewajiban untuk belajar mengajar.
Apapun proses belajar mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau:
“dan darinya (Abu Hurairah ra) sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda: barang
siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang
mengikutinya tidak dikurangi sedikit pun dari padanya (HR. Muslim)
Menurut Al Maraghi ayat tersebut
memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al tafaqqub fi
al din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk mempelajarinya
di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta mengajarkanya pada manusia
berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka
sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada
umumnya yang harus diketahui oleh orang-orang yang beriman. Menyiapkan
diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut
adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang
tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang
berjihat dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah,
bahkan upaya tersebut kedudukanya lebih tinggi dari mereka yang keadaanya tidak
sedang berhadapan dengan musuh.[2]
Berdasarkan
keterangan ini, maka mempelajari Fikih termasuk wajib, walaupun sebenarnya kata
Tafaqquh tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk ilmu
Fikih, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan sebagainya.[3]
QS.
At. Tahrim ayat 6
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوْا
اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَا دٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ
مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman peliharahlah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”(QS.
At Tahrim:6).
Dalam
ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amar yang secara langsung dengan
tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa
kewajiban setiap orang mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan
keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut
ialah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah merupakan tanggung jawab
manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya. Sebab manusia
merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan
dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda:
“dari
Ibnu Umar RA berkata: saya mendengar Rosululloh SAW bersabda: setiap dari kamu
adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawabannya,
orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas
kepemimpinannya..”(HR.Bukhari
Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat keenam
ini turun, Umar berkata: “wahai Rosulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan
bagaimana menjaga keluarga kami?” Rosulullah menjawab: “larang mereka
mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka
melakukan apa yang Allah perintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya
meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang
kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah Sembilan belas malaikat, mereka
dikuasakan mengadakan penyiksaan dari dalam neraka, tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkanNya kepadanya.[4]
Ada pula tafsir lain yang menjelaskan, bahwa pada ayat tersebut terdapat kata “قواانفسكم " yang
berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang siksaan api neraka dengan
cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa
nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah.[5]
Selanjutnya “واهليكم”, maksudnya
adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu budak dan di
perintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan,
nasehat dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Hadist Rasulullah
yang di riwayatkan oleh Ibn Al Munzir Al Hakim, oleh riwayat lain dari Ali RA
ketika menjelaskan ayat tersebut, maksudnya adalah berikanlah pendidikan dan
pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian “الوقود”
adalah sesuatu yang dapat di pergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan”الهجاره”
adalah batu berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat Jahiliyah. “ملائكة”
dalam ayat tersebut maksudnya mereka yang berjumlah Sembilan belas dan bertugas
menjaga Neraka. Sedangkan ”غلاظ” maksunya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak
memiliki rasa belah kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan “شديد”
artinya memiliki kekuatan yang tidak
dapat di kalahkan.[6]
Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal ladziina amanu… al
hijaroh) dengan keterangan: wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan
RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan sebagian yang lain
tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan menolaknya, karena yang
demikian itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala
perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan
yang dapat memelihara dirinya dengan cara memberikan nasehat dan pendidikan.[7]
Jelasnya ayat tersebut berisi
perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama
kepada mereka.
Pengertian tentang pentingnya membina keluarga agar terhindar dari api neraka
ini tidak semata-mata diartikan api neraka yang ada di akhirat nanti, melainkan
termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan dan
merusak citra pribadi seseorang. Sebuah keluarga yang anaknya terlibat dalam
berbagai perbuatan tercela seperti mencuri, merampok, menipu, berzina,
minum-minuman keras, terlibat narkoba, membunuh, dan sebagainya adalah termasuk
kedalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana di muka bumi dan merugikan
orang yang melakukannya, dan hal itu termasuk perbuatan yang membawa bencana.[8]
QS. Asy Syua’ara ayat 214
وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْأَقْرَبِيْنَ
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ
اِنِّى بَرِيْءٌ مِمَّا تَعْمَلُوْنَ وَتَوَكَّلْ عَلَى اْلعَزِيْزِ الرَّحِيْم
Artinya:
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”sesungguhnya aku tidak
bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” Dan bertawakallah kepada
(Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Ay Syu’ara: 214-217)
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS At Tahrim:6) bahwa terdapat perintah langsung
dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaanya adalah tentang objeknya,
dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.
“الاقربين”
mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi SAW memberikan
peringatan kepada mereka secara terang-terangan. Demikianlah menurut keterangan
Hadits yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim
Namun hal tersebut berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan
Mutholib, tetapi juga untuk seluruh umat islam, karena dilihat dari munasabah
ayat, selanjutnya terdapat ayat ke 215:” Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman jadi perintah ini
juga berlaku untuk seluruh umat islam”.[9]
At Thobari meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi menyampaikan pesan
suci yang diterimanya kepada seluruh kerabat dan keluarga terdekatnya.
Sementara Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi langsung
mengumpulkan anak dan kerabat seraya manyampaikan pesan:
لاَ اَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا مِنَ اللهِ,
سَلُوْنِى مِنْ مَالِى مَا شِئْتُمْ
Saya
tidak mempunyai wewenang tanggung jawab sama sekali terhadap kalian dari
siksaan Allah, kalau masalah harta silahkan minta apa yang saya punya semau
kalian.
Sementara Al Bukhori meriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun Nabi
langsung menuju dan naik bukit shofa seraya mengumpulkan sanak kerabat dan
sahabatnya. Beliau menyeru kapada seluruh kerabat besarnya, yang isi seruannya
adalah:
اِنِّى نَذِيْرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ
مِنْ عَذَابٍ شَدِيْدٍ
Dan
seruan tersebut dengan sepontan ditanggapi dan disahuti oleh paman-paman Nabi,
Abu Lahab, dengan sanggahan:
تَبَّا لَكَ يَائِرَ الْيَوْمَ اِمَّا
دَعْوَتُنَا اِلاَّ لِهَذَا ؟
Ketika
itu pula Allah menjawab sanggahan Abu Lahab tersebut dengan menurunkan Q.S Al
Lahab.
Ayat 214 menunjukkan bahwa dalam
pendidikan harus bersikap adil, dimana setiap peserta didik mempunyai hak yang
sama dari pendidik. Adapun peringatan nabi kepada keluarganya pada ayat diatas
hanyalah merupakan sikap etis terhadap sanak kerabatnya yang tidak berhenti dan
menghalangi untuk berbuat baik kepada orang lain.
Dalam menyampaikan sebuah pesan kepada
peserta didik, jika segala upaya dan cara telah ditempuh, ternyata belum
menghasilkan apa yang diharapkan oleh pendidik, maka pendidik harus sadar bahwa
hasil tersebut bukan hak veto manusia, melainkan adalah hak prerogatif Allah.
Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa.
QS.
An.Nisa’ ayat 170
يَاَ يُّهَا النَّاسُ قَدْجَاءَكُمُ
الرَّسُوْلُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَاَ مِنُوْا خَيْرًا لَكُمْ وَاِنْ تَكْفُرُوْا
فَاِنَّ اللهَ مَا فِى السَّموَاتِ وَالْاَرْضِ وَكَانَ اللهَ عَلِيْمًاحَكِيْمًا
Artinya:
Wahai
manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari tuhanmu maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik
bagimu. Dan jika kamu kafir,(maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun
kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang dilangit dan dibumi adalah adalah
kepunyaan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan.(QS. An nisa 170)
Dalam ayat ini Allah menyeru manusia
untuk manusia, sebab sudah ada Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk
membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz an
Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun manusia,
karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyari’ah, maka dakwah dan pendidikannya
kepada non muslim pun harus dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda: “dari Abdullah ibn
‘Amr ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
بلغوا انى ولو ايه
sampaikanlah dariku walau satu ayat…”
(HR.Bukhari).
Maka manusia baik yang muslim maupun
non muslim merupakan objek dakwah dan pendidikan. Namun, disini perlu
diluruskan, bahwa proses dakwah dan pendidikan tidak harus dengan kekerasan dan
perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argumen yang
bertanggung jawab.
TANGGUNG
JAWAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM
1.
Orang Tua atau Keluarga
v Anak sebagai Amanah
Anak sebagai dambaan setiap orang tua[10]
di satu sisi, merupakan anugerah Allah tetapi, di sisi lain merupakan amanah.
Orang tua dimintai pertanggung jawabnya, apakah anak- anaknya mampu mengemban
peran, tugas dan tujuan hidup.
Dalam
ayat konsep anak sebagai amanah sebagaimana firman Allah:
وَاعْلَمُوْا اَنَّمَا اَمْوَالَكُمْ
وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاَنَّ اللهَ عِنْدَهُ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Ketahuilah
bahwa harta- hartamu dan anak-anakmu itu adalah sebagai ujian( cobaan) dan
sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.[11]
·
Fungsi Keluarga dalam Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan bahwa
pendidikan dalam keluarga merupakan pembentuk landasan kepribadian anak.Itulah
fungsi utama keluarga, yang penjabarannya telah diungkapkan dalam alqur’an
surat Luqman ayat 13 s.d.19 sebagai berikut:
1.Menanamkan
iman dan tauhid
2.Menumbuhkan
sikap hormat dan bakti pada orang tua
3.
Menumbuhkan semangat bekerja dengan penuh kejujuran
4.Mendorong
anak untuk taat beribadah ( terutama shalat)
5.Menanamkan
cinta kebenaran (ma’ruf) dan menjauhi yang buruk (munkar)
6.Menanamkan
jiwa sabar dalam menghadapi cobaan
7.Menumbuhkan
sikap rendah hati, tidak angkuh dan sombong dalam pergaulan.dan
8.Menanamkan sikap hidup sederhana
Apabila sikap hidup dan perilaku
seperti tersebut diatas ditumbuh kembangkan sejak dini akan sangat membekas
pada diri anak dan merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju
terbentuknya pribadi muslim, kepribadian muslim seutuhnya.
Dalam hal ini ibnu sina mengingatkan
bahwa pendidikan dan pengajaran pada usia dini(masa kanak- kanak) ibarat
mengukir diatas batu, membekas sehingga tidak mudah terhapus. Selanjutnya dia
menganjurkan :
Apabila
anak disapih,telah fasih lidahnya dan telah jelas pendengarannya hendaklah
diajarkan padanya Alquran dengan huruf hijaiyah.[12]
Untuk melaksanakan fungsi seperti
tersebut diatas tidak mungkin hanya dengan perintah atau nasihat, larangan atau
hukuman, tetapi akan lebih berhasil apabila dilakukan dengan memberi contoh dan
iklim keluarga yang kondusif untuk itu. Karena tabi’at anak suka meniru dan
suka mencoba sendiri sebagai naluri kreatifitasnya.Kreativitas itu hanya akan
tumbuh dalam suasana yang bebas dan merdeka, tidak diwarnai oleh hal-hal yang
mencekam dan penuh ketegangan. Itulah perlunya suasana rumah tangga yang
tentram dan damai.
2.MASYARAKAT
Diluar keluarga,anak memperoleh
kesempatan berinteraksi social yang lebih luas dalam masyarakat, baik dengan
teman bermain, teman sekolah maupun dengan orang dewasa selain orangtuanya. Bermacam-
macam nilai dan perilaku masyarakat akan diserap oleh anak secara langsung atau
tidak langsung. Menurut Attaumy, masyarakat itu sendiri merupakan suatu faktor
yang pokok mempengaruhi pendidikan, disamping ia merupakan arena tempat
berkisarnya pendidikan.
·
Ada dua kebutuhan pokok yang sangat diharapkan oleh
pendidikan dari masyarakat:
Pertama, Situasi sosiokultural yang
mendukung proses internalisasi nilai- nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peran individu sebagai anggota
masyarakat sangat penting, karena bermula dari sikap mental dan perilaku per
individu,itulah situasi Sosiokultural yang diharapkan dapat terbentuk.
Kedua, Wahana perluasan wawasan hidup, penguasaan ilmu
pengetahuan dan berbagai keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
yang pertama,jelas merupakan wajib ‘ain karena setiap individu muslim dituntut
sebagai manusia dakwah yang bertugas melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
dalam hal ini sekurang-kurangnya harus menjadikan dirinya sebagai panutan.
Ditegaskan dalam Alquran:
كُنْتُمْ
خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْ مِنُوْنَ بِاللهِ
Kamu
adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar dan berimanlah kepada Allah.[13]
Untukmemenuhi kebutuhan pendidikan yang
kedua juga termasuk wajib ‘ain, walaupun dalam batas- batas tertentu tidak
perlu terlibat langsung didalamnya, tetapi cukup mengambil salah satu aspek
saja,misalnya menyumbangkan tenaga, pikiran atau dana, sesuai dengan
kemampuannya. Setidak- tidaknya jangan sampai acuh tak acuh terhadap keberadaan
lembaga pendidikan yang telah diprogramkannya.
3.PEMERINTAH
Bentuk masyarakat yang paling mikro
adalah keluarga, sedangkan bentuk makro dari masyarakat ialah Negara.[14]
Adapun yang diamanati oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara adalah pemerintah. Karena secara struktural pemerintah
berada pada kedudukan yang paling tinggi, maka secara struktural sudah
semestinya pemerintah mengemban tanggung jawab paling tinggi pula dalam upaya
mengembangkan dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan rakyatnya melalui apa
yang disebut pembangunan.
Dalam islam tanggung jawab pemerintah
dalam pendidikan ini didasarkan atas adanya hubungan hak dan kewajiban antara
rakyat dan pemerintah (penguasa), setelah amanat kepemimpinan diserahkan pada
pemerintah. Bermula dari status pemerintah sebagai pemimpin atau imam, maka
rakyat diwajibkan mentaatinya.
يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوْا
اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلِ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ
Hai
orang – oarangyang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri(
pemerintah)diantara kamu.[15]
Sebaliknya pemerintah diwajibkan
berusaha memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Diantara hak- hak rakyat
adalah:
a.hak
hidup
b.hak
kemerdekaan
c.hak
berilmu (hak memperoleh pendidikan)
d.hak
kehormatan,dan
e.hak
memiliki
Salah
satu persyaratan utama dalam memimpin ialah:”adil” sesuai dengan hadits nabi.
سبعة يضلمهم الله في ظله يوم لا ظل
الا ظله الا مام العادل (رواه البخاري)
Ada tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan
Allah disaat tidak ada sama sekali perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu
imam yang adil.[16]
Tanggung
jawab pemerintah dalam pendidikan secara garis besar mencakup dua tugas pokok
yaitu:
a.Mengusahakan
pemerataan kesempatan rakyat untuk memperoleh pendidikan, dan
b.Mengusahakan
peningkatan kualitas pendidikan.
4.DIRI
SENDIRI
Dengan menggunakan qoidah Fiqih, orang
islam dewasa dan berakal sehat disebut mukallaf, maka ia bertanggung jawab sendiri
dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama islam.
Kalau dikaitkan dengan pendidikan,
maka orang mukallaf berarti orang yang sudah dewasa, sehingga sudah semestinya
ia bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan, termasuk apa yang harus
ditinggalkan dan apa yang harus dikerjakan.
Petunjuk
tentang itu banyak sekali dijumpai dalam alquran antara lain:
قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
Jagalah
dirimu dan ahlimu dari api neraka.[17]
فَسْئَلُوْا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ
لاَ تَعْلَمُوْنَ
Maka
hendaklah kamu bertanya kepada orang-oarang yang mengerti jika kamu tidak tahu.[18]
Dengan ditegaskannya tanggung jawab
diri sendiri ini tercegah adanya pelemparan tanggung jawab kepada pihak- pihak
lain. Lebih dari itu, penegasan itu juga mendorong setiap individu untuk
mengembangkan fitrah dan potensi atau sumber daya insaninya menuju
kesempurnaannya.
Sampai disini terlihat pula bahwa
penggunaan istilah subjek didik terhadap si terdidik atau anak didik terasa
lebih tepat karena akhirnya mereka sendirilah yang harus menjalani proses
becoming-nya menuju realisasi diri, bukan orang lain.
D.KESIMPULAN
1.
Dalam Qs At Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi
objek pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.
- Dalam Qs At Tahrim ayat 6,
menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan
merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
- Dalam Qs Asy Syu’ara ayat 214,
menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah kerabat terdekat
dari kita dan orang-orang yang dekat kepada adzab Allah SWT.
- Dalam Qs An Nisa ayat 170,
menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah seluruh manusia,
baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah.
Namun disini perlu diluruskan bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus
dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh
hasanah, dan argument yang bertanggungjawab.
- Tanggung jawab pendidikan itu
adalah:
-orangtua atau keluarga
-masyarakat
-pemerintah
-diri sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Islam Paradigma Ilmu Pendidikan. 1992. Yogyakarta: Aditya Media.
Munir,
Ahmad. Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-qur’an tentang Pendidikan.
2008. Yogyakarta: Teras.
Nata,
Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. 2002. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Ricky-diah.blogspot.com/objek-pendidikan-dalam-al-qur’an.html
[1]
DR.H. Abuddin Nata,MA. Tafsir Ayat- Ayat Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001, hal.1-2
[2]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi.Tafsir Al-Maraghi jilid IV (Beirut Dar al fikr) hal.
48.
[3]
Op.cit. Abuddin Nata hal.159
[4]
Ricky- diah. Blogspot.com./ objek- kajian- pendidikan-dalam- al’Quran. html
[5]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid X, (Mesir : Dar al-fikr)
hal.161
[6]
Ibid, hal.161
[7]
Op.cit. Tafsir Al-Maraghi jilid X
[8]
Abuddin Nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan, Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada.2002. hal.200
[9]
Op.cit. ricky. Diah. Blogspot.com
[10]
Surat Ali Imran: 14
[11]
Surat Al-Anfal:28
[12]
Ahmad Fuad Al-Ahwani, At-Tarbiyyah fil islam. Darul-Ma’arif, Mekkah, hal
232
[13]
Surat Al-Imron:110
[14]
M.Noor Syam, Pengantar Dasar Pendidikan.Usaha Nasional, Surabaya, hal. 13
[15]
Surat An-Nisa’ :59
[16]
Ibid, Juz 1, hal.121
[17]
Surat At-Tahrim: 6
[18]
Surat Al-Anbiya’ :7
0 komentar:
Posting Komentar