KESEHATAN
MENTAL DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM
Oleh : Kamalia
Najah
Dalam
literatur Psikologi, ditemukan beberapa pengertian kesehatan mental. Musthafa
Fahmi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud menemukan dua pola dalam
mendefinisikan kesehatan mental: Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa
kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh
al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),
bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri
dan terhadap lingkungan sosialnya.
Zakiah
Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya
keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya
penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya
berdasarkan keimanan dan ketakwaan”.
Dalam
Islam, Ada tiga pola yang dikembangkan untuk mengungkap metode perolehan dan
pemeliharaan kesehatan mental: Pertama, metode tahalli, takhalli, dan tajalli; Kedua,
metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, islam,
dan ihsan. Di sini, kita lebih cenderung memilih pola yang ketiga.
1. Metode Imaniah
Iman
secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah).
Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan
dalam menghadapi problem hidup.
Dengan
iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon
apabila ia ditimpa problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan
perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya
secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak
berarti kemudian ia putus asa atau malah bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan
seseorang untuk mengoreksi diri apakah usahanya sudah maksimal atau belum. Sejalan
dengan hukum-hukum-Nya atau tidak. Jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya, tetapi
masih menemui kegagalan, hal yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik
kegagalan tersebut. Apakah Allah SWT menguji kualitas keimanannya melalui
kegagalan ataukah Dia mengasihi hamba-Nya yang salih supaya ia tidak sombong
atau angkuh ketika memperoleh kesuksesan.
1. Metode Islamiah
Islam
secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm),
perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah).
Realisasi
metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah al-muslim) yang
mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam
setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi terciptanya
kesehatan mental. Kepribadian muslim menimbulkan lima karakter ideal.
Pertama, karakter
syahadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari
segala belenggu dan dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi
dan hawa nafsu.
Kedua, karakter mushalli, yaitu karakter yang
mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komunikasi
ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi insaniah ditandai dengan
salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian lahir dan batin. Kesucian
lahir diwujudkan dalam wudhu (Q.S. Al-Maidah:6), sedang kesucian batin
diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan (Q.S. al-Mukminun: 1-2)
Ketiga, karakter muzakki, yaitu
karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian
jiwanya (Q.S. At-Taubah: 103). Karakter Muzakki menghendaki adanya pencarian
harta secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia
menuntut adanya produktifitas dan kreativitas.
Keempat, karakter sha’im, yaitu
karakter yang mampu mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu rendah dan liar. Di
antara karakter sha’im adalah menahan
makan, minum, hubungan seksual pada waktu, dan tempat dilarang.
Kelima, karakter hajji, yaitu
karakter yang mau mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi
panggilan Allah SWT. Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki
wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan
wisata spiritual.
Metode
Ihsaniah
Ihsan
secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang
mengetahui akan hal-hal baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik, dan
dilakukan dengan niatan baik pula.
Metode
ini apabila dilakukan dengan benar akan membentuk kepribadian muhsin (syakhshiyah
al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan. Pertama, tahapan
permulaan (al-bidayah). Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli. Takhalli
adalah mengosongkan diri dari segala sifat-sifat kotor , tercela, dan maksiat. Kedua,
tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini
kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat, kemudian
ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang
baik. Tahapan ini disebut juga tahalli . Ketiga, tahapan merasakan (al-muziqat).
Pada tahapan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khaliknya
dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan, dengan-Nya.
Tahapan ini disebut Tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifat-sifat Allah
SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang
menghalangi menjadi sirna.
Daftar
Pustaka
Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Abdul Mujib, M.Ag. Jusuf Mudzakir, M. Si.
.....................................
Menggagas
Psikologi Islami
Pendahuluan
Melakukan
sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para intelektual. Pemikiran-pemikiran
keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan diverifikasi, sehingga
menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan dunia. Dunia sains
yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi
peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan revolusi industri Inggris
dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik
kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya
diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu,
penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam
ilmu pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted
Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti
ini tentang sains modern sekarang:[1]
“Modern
sciences and technologies are corrupt not because they are evils in themselves…
but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory
and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of
their work or make value judgements about its possible applications. Such an
attitude makes technicians out of those who profess to practice science.”
Menurutnya,
ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan para ilmuwan
menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini menghasilkan apa
yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”. Paling tidak ada
delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, orientasi
mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan dari agama-agama
konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan
melepaskan sebab dan akibatnya (‘why’ things work).
Ketiga, spesialisasi
yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; keempat, hanya
mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan
hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode; keenam,
dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan
atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas nilai; dan
kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan
filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir
sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam
psikologi. Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat
memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam
penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang
akan diteliti. Ini diperlukan agar muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh
bias peneliti.
Berbagai
macam usaha untuk memverifikasi bahkan memfalsifikasikan sebuah sains telah
lama berkembang. Temuan-temuan baru tentang fenomena yang muncul dalam sains
semakin memperkaya khasanah, dan di sisi lain semakin mengungkap hal-hal
tersembunyi yang oleh beberapa saintis bisa jadi tidak masuk dalam kategori
sains, baik sebagai obyek kajian maupun landasan paradigmatiknya. Misalnya, pemahaman
kaum materialis terhadap sains yang menyatakan bahwa hal-hal yang materilah
yang menjadi objek sains. Pertanyaan mengenai materi itu apa juga menjadi
perdebatan tersendiri. Misalnya, mengenai proton yang disebut sebagai materi, padahal
penampakan secara materi kasat mata, ia tak terlihat. Yang terlihat hanyalah
jejak-jejak yang tertinggal di laboratorium.[2]
Dalam
Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan
paradigmatik dari Islam. Jika ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah
berjaya di sekitar abad 8-15 masehi. Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar
didalami secara serius oleh para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Namun sejak
dikuasainya Baghdad oleh pasukan Jenghis Khan, saat itulah mulai terjadi masa-masa
gelap (dark age) di kalangan umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi
rapi dalam manuskrip dan buku-buku, kemudian dibakar dan dilarung ke sungai
Tigris.
Selain
itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan
Islam tersebut ikut andil mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan
keilmuan yang gongnya adalah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan
Ide Sains dan Islam: Pandangan Beberapa Tokoh
Leif
Stenberg[3] dalam bukunya The Islamization of Science: Four Muslims Positions
Developing an Islamic Modernity (1996) menyebutkan bahwa titik berangkat
diskursus hubungan sains dan Islam adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai
perdebatan tahun 1883 di Paris yang kemudian direspon pertama kalinya oleh
Jamaluddin al-Afghani (w. 1897). Menurut Renan antara Islam dan sains itu
bertentangan (incompatible). Sejak saat itu kemudian perdebatan ini menjadi
begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua puluh.
Sorotan
yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut sebagai
eksponen dalam usaha islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin
Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini
oleh Stenberg dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan
sains dan Islam.
Al-Faruqi[4]
dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan (islamization
of knowledge). Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman dengan
nama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi
islamisasi dengan langkah-langkah yang dibuatnya.[5] Yang menarik dari gagasan
Faruqi adalah bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup
komprehensif antara khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik
(mastering of modern and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis
terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah
integralisasi keduanya. Ini ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan
ilmu dengan perspektif Islam dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan
modern yang ada. Dari situlah kemudian akan menghasilkan model kurikulum dan
pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah yang menjadi ultimate goal
gagasan islamisasi pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi
pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah kerja
ilmiah dari sudut pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai
ideologi atau bahkan sebuah sekte baru.[6] Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab
kalau tidak, orang yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan
akan sangat berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang
biak.
Sementara
‘Imad al Din Khalil memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan dalam
pencarian intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian (examination),
penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup, manusia dan
alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad
mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara
pencapaian ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat
filosofis, sehingga ilmu itu dapat digunakan melalui metodologi yang
bernuansakan religius tinimbang yang spekulatif.[7]
Sementara
Sardar menekankan penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka sains atau
pengetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikonstruksi
setelah membongkar sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr
berpandangan bahwa sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.[8]
Secara
umum, menurut Stenberg, keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini memiliki
kesamaan gagasan dalam melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam, menurut
mereka, sama sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak
teraplikasikannya konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.
Selain tokoh-tokoh di atas yang umumnya
berasal dari luar Indonesia, ada juga tokoh-tokoh Indonesia yang mencoba
membincangkan ide ini, meskipun dengan pola dan perspektif yang berbeda-beda
dalam pembahasannya. Tokoh-tokoh ini umumnya memiliki pola pandang sama bahwa
Islam dan sains memiliki titik temu, namun darimana dan bagaimana memulainya
serta metodologi yang digunakan masing-masing memiliki pandangan sendiri.
Kuntowijoyo, misalnya. Beliau menggunakan
istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah ini digunakan sebagai pisau
analisis dalam melihat perkembangan politik aliran di Indonesia. Menurutnya
objektifikasi adalah memandang sesuatu secara objektif dan disebutnya sebagai
jalan tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran pemikiran politik lainnya. Ada
tiga hal yang digunakannya dalam melihat objektifikasi Islam ini yaitu (1) artikulasi
politik hendaknya dikemukakan melalui kategori-kategori objektif, (2) pengakuan
penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif, dan (3) tidak
berpikir kawan lawan, melainkan pada permasalahan bersama.[9]
Relevansinya dengan ide relasi sains dan
Islam adalah bahwa tetap mengedepankan objektifitas dalam melangkah, meskipun
ada simbol agama di situ. Dan pemikirannya yang ketigalah yang menurut saya
perlu menjadi titik perhatian dalam pengembangan relasi sains atau pengetahuan
dalam Islam. Pengembangan pengetahuan dalam Islam tidaklah memandang bahwa
pengetahuan di luar Islam sebagai musuh yang harus dibasmi.
Kemudian ada lagi Armahedi Mahzar. Beliau
menawarkan lima langkah integralisasi strategis yang digunakan dalam mewujudkan
apa yang ia sebut sebagai sains islami itu. Kelima langkah itu adalah (1) analisis
struktur internal sains, (2) analisis dampak eksternal negatif sains, (3) analasis
kritis fondasional sains, (4) reorientasi holistik paradigma sains, dan (5) integralisasi
islami paradigma sains.[10]
Psikologi
dan Isu-isu Kontemporer
Umumnya
para pakar psikologi sepakat bahwa awal dari berdirinya ilmu psikologi modern
adalah saat Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi yang pertama di
Universitas Leipzig, Jerman tahun 1879. kemudian Ivan Pavlov melakukan hal
serupa di Rusia. Sejak saat itu kajian psikologi mulai menjadi kajian yang
dilakukan dengan metode eksperimental.
Dalam perkembangannya psikologi menjelajah
berbagai macam dimensi, dari mulai kajian pada proses-proses mental kejiwaan
manusia, menganalisis perilaku manusia yang tampak, proses pembelajaran, dan
hingg kepada kajian-kajian transendensi diri dan spiritualitas pada diri
manusia.
Semua
kajian tersebut terus menerus mengalami proses verifikasi dan pencarian hal-hal
baru yang sebelumnya dianggap tidak masuk dalam wadah kajian psikologi. Jika di
awal-awal kemunculannya perhatian psikologi pada proses mental yang terjadi
pada jiwa manusia, maka kemudian pandangan tesebut tidak lagi begitu
mendominasi.
Dengan mapannya aliran behavioristik yang
empiris, objektif dan selalu melakukan eksperimentasi, menjadikan bahasan
psikologi kemudian fokus pada kajian perilaku yang tampak pada diri manusia
saja (overt behavior). Ini yang ditekankan oleh Watson bahwa yang dimaksud
psikologi adalah:
“…sebuah
cabang ilmu kealaman yang eksperimental dan murni objektif. Tujuannya adalah
untuk meramalkan dan mengontrol tingkah laku…Tampaknya sudah saatnya psikologi
harus membuang semua referensi atau kaitan dengan kesadaran, dan tidak perlu
memperdayakan diri sendiri dengan cara berfikir yang beranggapan bahwa objek
pengamatannya ialah keadaan-keadaan mental.”[11]
Saat inipun pandangan behavioristik masih
tetap mapan dan dikaji di kampus-kampus. Namun ada semacam trend yang marak di
penghujung abad 20 lalu mengenai psikologi. Era posmodern yang menggelayuti
dunia di medio abad 20 kemarin itu kemudian membangkitkan semangat untuk
kembali melakukan bahasan ulang mengenai psikologi.
Daniel
Goleman, misalnya, yang memperkenalkan kecerdasan emosi yang kemudian secara
generik disebut sebagai EQ, sebagai sebuah counter terhadap konsep kecerdasan
umum manusia yang dikenal dengan IQ.[12] Juga muncul istilah kecerdasan
spiritual yang disebut SQ oleh sepasang suami-isteri Danah Zohar dan Ian
Marshal, kemudian konsep ketabahan (adversity quotient/AQ) yang ditulis Paul
Stoltz dan sebagainya.
Gagasan-gagasan baru semacam itu yang muncul
dalam ranah studi psikologi. Namun gagasan bahwa psikologi merambah diskursus
spiritualitas menjadi bahasan yang juga menarik.[13] Victor Frankl menganggap
bahwa spiritualitas merupakan salah satu determinan eksistensi manusia selain
kebebasan (freedom) dan tanggung jawab (responsibility).[14] Dari pemikiran semacam
inilah yang kemudian menarik minat penggiat psikologi transpersonal dalam
mengkaji psikologi melalui perspektif spiritualitas ini.
Tawaran
Islam dalam Studi Psikologi
Perkembangan
psikologi yang begitu cepat juga masuk dan mendapat respon dari mahasiswa Islam.
Ketika, kemudian, banyak orang Islam yang mempelajari ilmu psikologi, tentu
saja mereka akan bertemu dengan terma-terma dan konsep-konsep yang dikembangkan
oleh para teoritikus psikologi Barat. Persepsi para mahasiswa dan psikolog
muslim terhadap psikologi Barat, menurut Malik Badri, bisa dilihat ke dalam
tiga fase.[15] Fase pertama disebut infantuasi, yaitu saat mereka tergila-gila
dengan teori dan teknik psikologi yang begitu memikat. Fase kedua disebut
rekonsiliasi. Pada fase ini mereka mulai mencocokan dengan apa yang ada dalam
alquran dan khazanah klasik Islam, tapi masih pada asumsi bahwa keduanya tidak
bertentangan. Fase ketiga disebut emansipasi. Fase ini mereka sudah mulai
kritis terhadap teori psikologi dan berusaha menggali konsep-konsep psikologi
yang ada dalam Alquran.
Dalam
memandang konsep dan filsafat tentang manusia, maka tak lepas dari pandangan
Islam sendiri tentang manusia. Dalam Islam, manusia memang makhluk yang
memiliki dimensi-dimensi yang kompleks. Manusia dimanapun dan beragama apapun
pasti tersusun dari jasad dan ruh. Jasad diartikan sebagai tubuh fisik, dan ruh
sebagai kekuatan yang berasal dari Allah yang ditiupkan ke jasad manusia saat
berusia 120 hari.
Menurut
Mujib,[16] dalam Psikologi Islam manusia terstruktur dari jasmani dan ruhani. Ruh
bukan hanya sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tapi satu jauhar (substance)
yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani. Sinergi antara
jasmani dan ruhani menjadikan nafsani yang tumbuh sejak usia empat bulan dalam
alam kandungan. Struktur nafsani ini terbagi atas tiga bagian yaitu kalbu, akal
dan nafsu. Integrasi ketiga jenis nafsani ini menimbulkan apa yang disebut
dengan kepribadian.
Selain
itu dikenal pula konsep tentang fitrah. Per definisi, banyak pakar yang
mengartikan tentang fitrah. Quraish Shihab mengartikan fitrah sebagai unsur, sistem
dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya
sehingga menjadi bawaannya.[17] Sejak asal kejadiannya manusia telah membawa
potensi keberagamaan yang benar yang diartikan para ulama dengan tauhid. Ini
bisa dibaca pada QS Arrum:30 yang artinya:
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar). Fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia atasnya (fitrah itu). Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Imam
Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed
state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya.
Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan
dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang
berhubungan dengan jiwa. Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap
orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya
sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. [18]
Al
Qurtubi mendukung pandangan positif tentang fitrah dengan menggunakan analogi
mengenai hewan yang secara fisik tidak cacat untuk menggambarkan bahwa, hanya
karena hewan dilahirkan tidak lengkap, sementara manusia dilahirkan dengan
kapasitas yang tanpa cacat, sehingga manusia dapat menerima kebenaran. [19]
Konsep
fitrah sebagai konsep ketuhanan yang orisinal, tidak dengan begitu saja
berkonotasi menerima tindakan yang baik dan benar secara pasif. Namun dengan
kecenderungan yang aktif dan predisposisi bawaan untuk mengetahui Allah, tunduk
kepada-Nya, dan beramal soleh. Ini merupakan kecenderungan alami manusia dalam
meniadakan faktor-faktor yang berlawanan. Walaupun semua anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, pengaruh lingkungan menentukan juga. Orang tua mungkin
mempengaruhi agama anaknya dengan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Jika
tidak ada pengaruh yang merugikan, anak akan secara terus-menerus memunculkan
fitrahnya sebagai hakikat kebenarannya.
Selain
itu ada pula konsep tentang nafs, akal, dan qalbu. Sebagaimana dijelaskan Mujib
di atas ketiganya ini merupakan sistem nafsani manusia yang akan membentuk
kepribadian. Menurut Quraish Shihab, kata nafs dalam konteks pembicaraan
tentang manusia menuju kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik atau
buruk. Kata nafs memang memiliki banyak arti. Dalam Alquran kata nafs digunakan
untuk menyebut diri seseorang, diri Tuhan, person sesuatu, roh, jiwa, totalitas
manusia dan sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
Nafs
secara bahasa berarti ruh, jiwa, ego, diri (self), kehidupan, person, hati atau
ingatan. Walaupun beberapa ilmuwan mengklasifikasikan nafs hingga 7 tahapan,[20]
ada kesepakatan di kalangan ulama bahwa dalam Alquran Allah menjelaskan
sedikitnya 3 jenis utama nafs. Urutan dari yang terburuk hingga yang terbaik
adalah Nafs al-Ammârah Bissu’ (Nafs yang mendorong kepada kejahatan/keburukan),
Nafs al-Lawwâmah (Nafs yang tercela) dan Nafs al-Mutma’innah (Nafs yang membawa
kedamaian).
Sementara
kata akal tidak pernah disebut dalam Alquran selain dalam bentuk kata kerja, baik
kata kerja saat sekarang (mudlari’) atau masa lampau (madli). Kata akal dalam
derivasinya ada sebanyak 48 kali sebutan di Alquran. Secara jasmaniah ia
berkedudukan di otak, memiliki daya kognisi, dengan potensi bersifat
argumentatif (istidhlaliah) dan logis (aqliah), yang apabila mendominasi jiwa
manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang labil (al-nafs al-lawwamah). Semenatara
qalbu secara jasmaniah berkedudukan di jantung, memiliki daya emosi, potensinya
bersifat cita rasa (dzawqiyah) dan intuitif (hadsiah), yang apabila mendominasi
jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).[21]
Ada
beberapa pandangan khas mengenai Psikologi Islam ini. Pada tahun 1997 di
Universitas Darul Ulum, Jombang sempat diadakan acara Dialog Nasional Pakar
Psikologi Islam yang menyepakati bahwa salah satu visi Psikologi Islam adalah
menempatkannya sebagai mazhab kelima psikologi setelah psikoanalisis, behavioristik,
humanistik, dan transpersonal. Karena memposisikan diri sebagai salah satu
aliran atau mazhab, maka perlu ada beberapa pandangan khas mengenai psikologi
Islam.[22]
Pertama, mempercayai
bahwa secara alamiah manusia itu positif (fithrah), baik secara jasadi, nafsani
(kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah
satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada
qalbunya. Disamping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengannya manusia
dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), berkecenderungan kepada yang benar
dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki
kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Pandangan Psikologi Islam tentang
qalbu termasuk yang khas dan berbeda bila dibandingkan dengan psikologi barat
yang hampir selalu menjelaskan sesuatu dengan otak. Ketiga, mempercayai bahwa
arah pergerakan hidup manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu
taqwa dan fujur. Manusia diciptakan dalam keadaan positif dan ia dapat bergerak
ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia
akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak lurus antara fithrah dan Allah,
maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fithrah manusia
diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke
arah agresi. Tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan
fithrahnya.
Keempat, mempercayai
bahwa manusia adalah unik. Quraish Shihab menyebutnya sebagai khalqan akhar. Beliau
merujuk pada dua ayat dalam Alquran yaitu QS 17:21 dan QS 6:165. Kelima, psikologi
islamdibangun berdasarkan nila tertentu, bukan netral etik. Gagasan tentang
ilmu yang netral etik adalah khayalan belaka, seperti dikemukakan oleh Gunnar
Myrdal. Setiap ilmu berangkat dari nilai-nilai dan mengembangkan nilai-nilai.
Kalau
kita meniliki lebih jauh lagi, memang kajian psikologi selama ini seperti
kehilangan ruhnya. Kalau kata Malik Badri, a psychology without soul studying a
man without soul. Selama ini dimensi dalam ilmu psikologi yang hanya menekankan
pada dimensi ragawi (fisik-biologis), jiwa (psikologis), dan lingkungan (sosiokultural).
Ini terasa kurang begitu mengena dalam meneropong manusia sebagai makhluk yang
memiliki kompleksitas. Sehingga dalam kajian Psikologi Islam ditambahlah dengan
dimensi ruhani (spiritual). Bahkan pada tahun 1984, Organisasi Kesehatan se-Dunia
(WHO) telah menambahkan satu dimensi lagi untuk melihat orang sehat yaitu
dimensi spiritual. Oleh American Psychiatric Association ini diadopsi dengan
paradigma pendekatan bio-psycho-socio-spiritual.[23]
Konsep
Psikologi Islami: Paradigma Modern atau Turats Islam Murni?
Pergulatan
dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang
sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak –untuk kasus
Indonesia- ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki
latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersenutuhan dengan konsep-konsep
Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan
psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan
hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa nama pada kelompok ini antara lain
seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan
kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan
terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap
digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam
tentang psikologi.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang
mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan
keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya
bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun
memiliki akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ
terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan
dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka
menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber langsung
dari khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan
pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-kampus
yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki
kecenderungan semacam ini.
Khasanah klasik Islam sering juga disebut
sebagai turats Islam. Dalam buku At-Turats Wa at-Tajdid, Hasan Hanafie
mengatakan bahwa turats dapat dinisbahkan kepada dua hal. Pertama, turats Islam
adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip yang tersimpan dalam perpustakaan, gudang,
masjid-masjid maupun museum. Di sini, turats berbentuk material yaitu turats
tertulis, tersimpan dan tercetak dalam bentuk kitab. Namun, menurutnya lagi, ada
bentuk lain dari turats yang bersifat immaterial, yaitu warisan kejiwaan dan
adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.[24]
Secara
lebih maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu
Syathi—putri pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan
bahwa kita tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah
tertentu. Karena turats Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di
sepanjang zaman dan tempat, maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang
tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam pula. Demikian
pula halnya peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib
dan wilayah-wilayah lainnya. Hal itu, menurut Aisyah Abdurrhaman, karena
seluruh penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam, maka secara otomatis
masa lampau mereka menjadi milik Islam pula.[25]
Dalam kajian-kajian psikologi, turats Islam
yang berupa manuskrip tulisan dari cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik
yang berupa konsep yang masih potensi maupun yang manifest. Misalnya, konsep
perkembangan moral dan rasio seseorang bisa dibaca dalam karya klasik Ibn
Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-konsep umum mengenai nafs, qalb,
atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-Ghazali, Ibn Miskwaih, Ibnul
Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi yang pernah dibahas
oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang analisis mimpi.[26]
Turats Islam ini bisa menjadi sumber kajian
psikologi dalam perspektif Islam, tinggal bagaimana mengkonseptualisasikan dan
mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat sekarang ini. Sayangnya
literatur mereka yang menggunakan bahasa Arab belum banyak yang mengakses, justru
oleh mereka kaum muslim yang belajar psikologi, khususnya di Indonesia ini.
Dua model pengembangan ini sebenarnya masih
tetap perlu dilakukan, meskipun kelemahan-kelemahan fundamental tetap ada. Jika
terlalu memfokuskan pada pendekatan modern kemudian melabelkannya dengan Islam,
maka yang terjadi adalah bukan muncul suatu ilmu, melainkan hanya menempel-nempelkan
yang dianggap cocok (labeling). Apabila ini yang dilakukan maka akan sangat
mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.
Sedangkan jika turats Islam yang belum
dikonseptualisasi dan dikontekstualisasikan akan sulit teraplikasi di zaman
sekarang ini. Selain konsep-konsep yang ada adalah konsep filosofis, juga
kondisi umat manusia pada abad pertengahan tentu memiliki karakteristik yang
berbeda dengan umat manusia sekarang ini.
Lalu apakah model integralisasi model Faruqi
yang dilakukan? Memang banyak tawaran, tinggal mana yang kiranya pas dan mampu
diaplikasikan dalam kerangka teoritis akademis maupun aplikasi pragmatis. Pemahaman
dan penguasaan terhadap keilmuan modern kontemporer dari Barat bukan suatu hal
yang tidak perlu dilakukan. Namun juga tidak kemudian menerima apa adanya (taken
for granted) terhadap model-model pemikiran mereka. Langkah kritis terhadap
pemikiran mereka perlu dilakukan. Sementara penguasaan turats Islam dijadikan
sebagai fondasi pemikiran. Kemudian turats Islam tersebut dikaji, dikritisi, dikonspetualisasi
dan dikontekstualisasikan. Tak tertutup kemungkinan melakukan sebuah studi
komparasi antara pemikiran-pemikiran Barat tentang psikologi dengan pemikiran-pemikiran
yang berasal dari turats Islam.
Penutup
Memang
bukan pekerjaan mudah dalam mewujudkan sebuah ilmu pengetahuan yang dapat
diterima secara luas (broadly acceptable). Freud saja konsepnya masih terus
menerus dikritik dan dianggap tidak memenuhi kriteria ilmu pengetahuan oleh
beberapa pihak. Namun inilah yang menjadi sasaran kritik saat ini. Hegemoni
pengetahuan yang dikembangkan Barat memang cenderung kaku dan prosedural. Padahal
fitrah ilmu pengetahuan itu adalah dinamis dan dalam kasus-kasus tertentu bisa
jadi akan melawan kekakuan dan prosedur-prosedur yang disebut ilmiah.
Gagasan
psikologi dengan mengambil perspektif kajian Islam menjadi hal yang masih terus
dikembangkan. Dua model pengembangan yang ada sebagaimana disebutkan di atas
masih perlu terus menerus diuji, sampai kemudian mana yang dianggap menjadi
fondasi yang kuat dalam usaha pengembangannya.
Turats Islam dalam hal ini menjadi sebuah
keniscayaan yang perlu dijalani. Latar belakang historis perkembangan
pengetahuan dunia yang pernah dilakukan umat Islam menjadi bukti bahwa kita
tidak boleh berpaling darinya. Dengan melakukan konseptualisasi dan
kontekstualisasi turats Islam akan menjadikan khasanah Islam klasik yang
tersimpan dalam kitab-kitab literatur Arab dan historisitas kehidupan
masyarakat Islam masa lalu bisa menjadi pisau analisis yang perlu dilakukan. Wallahu
a’lam bi ashshawwab.
Catatan
Akhir:
[1] Moeflich
Hasbullah (ed.), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: IIIT-I,
LSAF, IRIS, Cidesindo, 2000), halaman xxx.
[2] Lihat
dalam kertas kerja Zainal Abidin Bagir, Islamisasi Sains atau Objektifikasi
Islam, disampaikan dalam seminar epistemologi Islam IIIT Indonesia pada tanggal
15 Agustus 2001 di Universitas Paramadina, Jakarta.
[3] Lihat
Leif Stenberg, “The Islamization of Science or the Marginalization of Islam:The
Positions of Seyyed Hossein Nasr and Ziauddin Sardar” dalam http://www.hf.uib.no/instituter/smi/paj/Stenberg.html
Ini merupakan cuplikan dari judul bukunya yang berjudul The Islamization of
Science. Four Muslim Positions Developing an Islamic Modernity (Stockholm: Almqvist
& Wiksell International, 1996).
[4] Beliau
adalah ilmuwan AS kelahiran Palestina. Langkah-langlah islamisasi yang
disusunnya terdiri dari 12 langkah dan dapat dibaca di bukunya yang berjudul
Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Pustaka Salman, 1984). Buku tersebut merupakan
rangkuman dari forum simposium internasional tentang islamisasi pengetahuan
yang diadakan di Islamabad, Pakistan tahun 1981.
[5] Langkah-langkah
tersebut adalah (1) penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, (2) survei
disiplin ilmu, (3) penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, (4) penguasaan
khasanah ilmiah Islam tahap analisa, (5) penentuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin-disiplin ilmu, (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu
modern: tingkat perkembangannya di masa kini, (7) penilaian kritis terhadap
khasanah Islam: tingkat perkembangannya masa kini, (8) survei permasalahan yang
dihadapi umat Islam, (9) survei permsalahan yang dihadapi umat manusia, (10) analisa
kretaif dan sintesa, (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam
kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas, dan (12) penyebarluasan
ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan. Terlihat bahwa Faruqi mencoba melakukan
sebuah proses integralisai deduktif. Ini yang membedakannya dengan Ziauddin
Sardar yang mencoba melihatnya murni dari sumber Islam an sich. Oleh Sardar
fondasinya adalah dengan mendasarkan pada epistemologi Islam sebagai sebuah
kerangka pedoman mutlak. Lengkapnya dapat dibaca buku beliau, Rekayasa Masa
Depan Islam (Bandung: Mizan)
[6] Lihat
Taha Jabir al Alwani, The Islamization of Knowledge: Yesterday and Today, (Herndon,
USA: IIIT, 1995). Buku ini berisikan mengenai diskursus tentang islamisasi
pengetahuan berikut dengan tujuan adanya islamisasi pengetahuan.
[7] Dapat
dilihat juga Imad al Din Khalil, Madkhal ila Islamiyat al Ma’rifah, (Herndon, USA:
IIIT, 1991) halaman 15, dan Abu al Qasim Hajj Hammad, Manhajiyat al Quran al
Ma’rifiyah, (Herndon, USA: IIIT, 1991) halaman 19.
[8] Dapat
dilihat pada kertas kerja Armahedi Mahzar, Menuju Sains Islami di Masa Depan: Langkah-langkah
Strategis Integralisasi, yang disampaikan dalam seminar epistemologi Islam IIIT
Indonesia, 15 Agustus 2002 di Universitas Paramadina Jakarta. Beliau menwarkan
lima langkah integralisasi agar muncul apa yang disebut sebagai sains islami.
[9] Kuntowijoyo,
Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan, 2002) halaman 213.
[10] Op.Cit.,
Armahedi Mahzar, halaman 2-13
[11] Lihat
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan DR Kartini Kartono, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2001), halaman 54.
[12] Istilah
EQ memang cenderung salah kaprah. Huruf Q yang merupakan singkatan dari
quotient dalam konsep IQ adalah angka pembagi yang diperoleh individu setelah
mengikuti tes kecerdasan. Konsepnya adalah bahwa IQ hasil dari pembagi antara
usia mental (mental age/MA) dan usia kronologis (chronological age/CA). Sementara
kecerdasan emosional hingga saat ini tidak ada tes semacam tes kecerdasan
seperti IQ. Begitu juga munculnya istilah Spiritual Quotient (SQ). Dalam
pandangan saya ini adalah sebuah usaha mendudukkan secara sejajar dengan konsep
IQ yang sudah terlebih dahulu mapan, atau simbolisasi yang akan mudah dikenal
dan diingat oleh orang awam sekalipun.
[13] Beberapa
buku yang penulis ketahui dalam isu ini misalnya buku Robert Frager, Hati, Diri
dan Jiwa (Jakarta: Serambi, 2002), Inayat Khan, Dimensi Spiritual Psikologi (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2000) atau buku-buku yang bersinggungan dengan sufisme dan
psikologi. Memang ada catatan-catatan penting berkaitan dengan pendefinisian
spiritualitas ini dalam pengkajian di psikologi.
[14] Lihat
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) halaman 191-200.
[15] Dapat
dilihat dalam makalah Achmad Mubarok Jiwa Manusia: Perspektif Psikologi Islam
dan Psikologi Modern, disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT
Indonesia pada 11 April 2002. Malik Badri juga sempat mengatakan sekarang telah
terjadi amerikanisasi psikologi. Lihat paper beliau Islamic Psychology: Its
What, Why, How and Who. Paper ini dikirimkan pada saat Simposium Nasional
Psikologi Islam 2001 di Unisba, Bandung, 22 Juli 2001.
[16] Lihat
Abdul Mujib, Fitrah: Antara Potensi dan Implikasi Psikologis, makalah yang
disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT-I, 7 Mei 2002. Lihat
juga buku beliau Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:
Darul Falah, 1999).
[17] Lihat
M. Thoyibi dan M. Ngemron (ed.), Psikologi Islam, (Surakarta: UMS Press, 1996),
halaman 32. Buku ini merupakan kumpulan kertas kerja yang disampaikan pada
acara Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta,
11-13 November 1994.
[18] Lihat
artikel Yasien Muhammad, Fitrah: Inborn Natural Predisposition, http://www.angelfire.com/al/islamic_psychology
[19] Lihat
artikel Yasien Muhammad, Ibn Taymiyah’s Views on Fitrah, www.angelfire.com/al/islamic_psychology
[20] Robert
Frager memperkenalkan tujuh tingkatan nafs. Ketujuh nafs itu adalah nafs tirani,
nafs penuh penyesalan, nafs yang terilhami, nafs yang tenteram, nafs yang ridha,
nafs yang diridhai Tuhan dan nafs yng suci. Lihat Frager, Hati, Diri, dan Jiwa,
halaman 90-127.
[21] Op. cit.,
Abdul Mujib
[22] Lihat
H. Fuad Nashori, Mimpi Nubuwat: Menetaskan Mimpi yang Benar, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), halaman 133-138.
[23] Lihat
buku Prof. DR. dr. H. Dadang Hawari, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002), halaman 5.
[24] Lihat
dalam artikel Abdul Hayyie al Kattani, Rekayasa Masa Depan Islam: Dengan
Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats) Sebaga Illustrasi,dalam http://www.kmnu.org/
[25] Ibid
[26] Untuk
studi mendalam ada buku yang mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran mereka
dengan judul ‘Ilm an-Nafs fi at-Turats al-Islami. Buku ini berupa kumpulan
tulisan dari beberapa cendekiawan dan ilmuwan tentang psikologi dengan jumlah
tiga jilid dan diterbitkan di Mesir oleh IIIT Mesir tahun 1996. kemudian
adalagi buku dengan judul Abhats Nadwat ‘Ilm an-Nafs yang juga berupa kumpulan
tulisan dan diterbitkan pula oleh IIIT Mesir tahun 1989. Buku terbaru Dr
‘Utsman Najati juga mencoba membuat kodifikasi pandangan filosof muslim
terhadap jiwa manusia dengan judul Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2002) yang intinya juga melakukan kajian terhadap turats Islam.
0 komentar:
Posting Komentar