POLITIK ISLAM, HALAL ATAU HARAM
Sekiranya semua orang mengerti tentang pancasila, kitab sakral pusaka bangsa Indonesia semua orang harus mematuhi sila-sila itu, termasuk kita, masyarakat pesantren yang sebenarnya punya undang-undang kitab yang paling sakral, Al-Qur'an pun harus sendiko dawuh. Sedangkan, pada prakteknya, tak terhitung hukuman-hukuman ala pancasila atau ala UUD yang tidak Qur'ani, tidak sesuai dengan syariat.
Padahal, mayoritas warga Indonesia ber-KTP- Muslim. Namun, mengapa hukum yang harus ditaati justru bertentangan atau setidaknya, tidak sesuai dengan syara' ? meminjam istilah Amrozi CS (Alm), mereka menyebut hukum Indonesia sebagai hukum syaitan. Benarkah ??
Jawaban atas pertanyaan itu tidak terlalu penting. Yang seharusnya menjadi renungan kita, bahwa selama ini jarang muncul kesadaran kita (kaum pesantren) bahwa selama ini umat Islam terpinggirkan dari pergumulan bangsa, seakan-akan kita dilarang menjadi orang Islam yag seutuhnya, tidak bebas bergerak menegakkan syariat, di sana sini terbentur HAM, dihadang ide demokratisasi, kebebasan berpikir dan berekspresi, seakan-akan, al-Qur'an, As-Sunnah dan kitab-kitab mu'tabaroh dikalahka oleh undang-undang, pancasila, demokrasi, bahkan isu Ham.
Contoh kecilnya ide-ide RUU pornografi dan pornoaksi yang sempat digagas justru kalah hanya dengan ide bodoh tentang hak asasi manusia. Atau ketika orang-orang FPI menggerakkan fiqih ala Is Adurrofiq, dengan berbagai "arogansinya" itu, justru mereka terancam pidana. Ini menunjukkan bahwa keberadaan umat Islam di Indonesia begitu lemah, terpinggirkan, dan acapkali terbodohi, bahkan terjajah peradabannya. Mengapa demikian ??
Setidaknya alasan yang dapat ditawarkan untuk menjadi bahan renungan kita bahwa selama ini kelemahan dan kekalahan umat Islam di negeri pertiwi adalah karena dominasi kekuasaan oleh orang-orang "non religius" yang nyaris tidak punya ide-ide agamis. Barangkali yang ada di otak mereka tidak lebih dari sekedar ide kapitalisme yang mengartikan demokrasi, HAM, atau apalah sebagai uang. Merekalah yang mungkin selama ini menjadi budak-budak imperealisme barat yang ikut andil membunuh identitas Islam Indonesiawi. Istilah lainnya, "poli-tikus" yang menggerogoti bangunan Islam. Itulah kira-kira konotasi banyak orang tentang politik negeri ini yang banyak menimbulkan kesan kotor, rusuh, najis, bahkan mugoladoh.
Kenyataan ini setidaknya menjadi pijakan dasar dan motivasi bagi para elit muslim untuk bangun dan menata pondasi Islam dalam kehidupan kenegaraan. Sepertinya sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk ikut andil dalam panggung politik. Dengan satu harapan yang terkesan muluk-muluk yakni tegaknya syariat Islam ahlussunnah wal jama'ah, membangun peradaban Islam yang Indonesiawi agar terwujud baldatun toyibatun wa robbul gofur.
Pertama, tegaknya syariat Islam merupakan suatu keharusan dan tanggung jawab yang tidak bisa ditawar lagi. Hukum konvensional ala pancasila terkesan belum menyentuh syariat Islam secara menyeluruh. Yang ada sekedar hukum positif yang kemungkinan hanya sekedar formalitas belaka. Sedangkan pesan al-Qur'an menekankan bahwa penegakan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam, berarti sebuah praktek kedoliman. Ini berarti bahwa kita harus mengakui bahwa hukum Indoensia adalah hukum yang dholim yang ditegakkan oleh rakyat yang juhala', yang tidak berkompeten mengemban amanat. Kalau sudah demikian jadinya hanya satu hal yang bisa kita nantikan, yakni kehancuran. Inilah kira-kira makna yang tersirat dalam sebuah hadis bahwa ketika amanat dititipkan kepada orang yang tidak berkomperten, maka "fantadirissaah"
Untuk itu sekaranglah waktunya bagi umat Islam untuk bangun dari tidur panjangnya, meskipun sudah agak kesiangan. Kemudian memulai gerakan baru, semangat baru, dan menggalang kekuatan untuk mengusung amanat (syariat) Islam menjadi undang-undang yang kemudian dijadikan rujukan hukum negara menggantikan praktek kedholiman oleh tikus-tikus bodoh.
Kemudian mau tidak mau semua itu harus dicapai melalui gerbang politik. Sebab itulah satu-satunya jalan yang sportif, demokratis, humanis, sesuai dengan falsafah bangsa. Mungkin ketika masyarakat pesantren mengibarkan bendera politik akan lebih realistis ketimbang jihad ala amrozi CS bukan ??
Bahkan dalam kondisi seperti ini dimana hukum Indonesia tidak qur'ani, yang diemban oleh orang-orang dholim justru menjadi sebuah tanggung jawab besar dan kewajiban bagi kita untuk mengupayakan tegaknya syariat Islam lewat politik (Islam) yang konsekuen dengan asas ahlussunnah. Ini memungkinkan satu pengertian bahwa berpolitik yang Islami, yang sunni adalah wajib. Sebab kulluma yatawassollu bihi ila iqomatil wajibi yakunu wajiban. Toh, hemat penulis politik itu tidak "haram". Bukan demikian ?? elf@ 08.dafa
0 komentar:
Posting Komentar