Dandangan dan Festival Lipstik
Oleh: Adi Purnomo*
Sebagai sebuah tradisi, Dandangan harus diletakkan dalam wadah yang tepat; kebudayaan. Tindakan “adil” terhadap warisan kebudayaan di Kudus ini menjadi penting agar tradisi tersebut tetap bertahan dengan pelbagai makna dan kearifannya. Sebab membincang dandangan tak bisa lepas dari petanda yang melingkupinya; religiusitas, sosial, dan ekonomi.
Tradisi dandangan yang dilaksanakan setiap menjelang bulan Ramadhan menjadi salah satu ikon Kudus. Solihin Salam (1965) menyebutkan bahwa selain ritual Rebut Langse Makam Sunan pada bulan Muharam, tradisi dandangan juga menjadikan Kudus populer di manca.
Latar historis yang kuat, religiusitas, dan latar sosio-kultural membuat tradisi dandangan memilki spirit untuk terus dipertahankan sebagai hasil budaya yang terwariskan secara turun-temurun, hingga menjadi trandmark Kudus. Sehingga dandangan harus teteap dipertahankan pada aras-aras tersebut agar tidak tuna makna.
Latar Historis
Dandangan memliki kaitan erat dengan Sunan Kudus. Secara historis, tradisi dandangan berawal dari berkumpulnya kaum muslim dari beberapa daerah di sekitar masjid Menara untuk mendengarkan pengumuman awal bulan Ramadhan oleh Sunan Kudus. Pengumuman tersebut ditandai dengan pemukulan bedug. Sebab pada saat itu, yang mampu dan yang berhak menentukan awal bulan Ramadhan adalah Sunan Kudus. Berkumpulnya kaum muslim tiap kali menjelang bulan Ramadhan ini selanjutnya dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk berjualan.
0 komentar:
Posting Komentar