SEMOGA BERMANFAAT...!!!. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Masail Fiqhiyh


 

Masail Fiqhiyah: Ruang Lingkup dan Langkah Penyelesaiannya

Pengertian

Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alahmasail fiqihiyah ialah persoalan – persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.[1] dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural) dan dirangkaikan dengan kata fiqih. Masail fiqihiyah adalah masalah yang terkait dengna fiqih, dan yang dimaksud masalah fiqih pada term
Ruang Lingkup
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama aklasik sampai ulama kontemporer.
Untuk itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga nilai yang dihasilkan senantiasa berada dalam koridor . penetapan hukum akan difokuskan kepada tiga aspek :
  1. Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat.
  2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam.
  3. Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya.[2]
Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah[3]
Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kidah penting
1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama moderen, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai berikut :
  • Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak mengundang kontroversi.
  • Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
  • Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum persoalan tertentu yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.
2.Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan
Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i atau kaidah syari’at yang bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai berkut:
  • Bahwa keberadaan syari’at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa,  tidak tahu dan tidak sempurna akal. Taklif Allah atas hambanya disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
  • Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan. Adapun kriteria maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima kepentingan pokok dan disebut dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan.
3.Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif aktif serta komunikatif.
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul. Bahasa masyarakat yang ideal :
  • bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman umum.
  • Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
  • Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan Islami.
4.Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.
Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash sesuai bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan. Sementara kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut mereka perbedaan masa, masyarakat, geografis, pemerintahan dan perkembangan teknologi moderen patut dipertimbangkan serta layak mendapat perhatian.
5.Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.
Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan diperlukan pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna menjangkau kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum potong tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khatthab pernah tidak memberlakukan hukum ”had” atau potong tangan terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit, dan tidak membayar upah si pelayan, maka ia memcuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS




METODOLOGI ILMU ISLAM
A.     Pendahuluan
Dalam memahami suatu ilmu perlu adanya metodologi yang jelas dan tepat, karena tanpa adanya metodologi ilmu tersebut kurang signifikan sehingga perlu adanya metodologi dalam hal ini ketepatan pemilihan metode untuk pengembangan suatu keilmuan. Apalagi dalam ilmu Islam, hal ini sangatlah urgen sekali ketika metode yang digunakan untuk mengetahui ilmu Islam kurang atau tidak signifikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah akan menerangkan dengan keterbatasan pemikiran adanya metodologi ilmu Islam.
B.     Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pemakalah dapat menarik pokok permasalahan yaitu bagaimana metode untuk dapat mengetahui serta memahami ilmu Islam ?  
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Metodologi Ilmu Islam
Metodologi berasal dari kata metode, secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani "Metodos". Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu "Metho"  yang berarti melalui atau melewati dan "hodos" yang berarti jalan atau cara. Jadi metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[1] Dalam bahasa Arab metode disebut "Thariqat" yang berarati jalan, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud,[2] sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Sedangkan ilmu dalam bahasa Arab, kata ilmu satu akar kata dengan kata 'alam (bendera atau lambang), 'alamah (alamat atau pertanda), dan 'alam (jagad raya, univers). Ketiga perkataan ini; 'alam, 'alamah dan 'alam mewakili gejala yang harus diketahui atau dimaklumi, yakni menjadi objek pengetahuan.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa metodologi ilmu Islam adalah suatu cara untuk mengetahui adanya gejala yang harus diketahui yang menjadi objek, dalam hal ini adalah objek pengetahuan yang Islam.[4]  
2.      Metode Dalam Ilmu Islam 
Untuk mengetahui adanya metodologi dalam ilmu Islam, disini pemakalah menerangkan adanya metode dalam ilmu Islam, yaitu:
a.       Metode Observasi atau Eksperimen
Metode observasi atau eksperimen ini, karena berkaitan dengan pengamatan indriawi, tentu sangat cocok untuk meneliti objek-objek fisik. Namun, seperti yang telah saya tunjukkan, untuk memperoleh pengetahuan yang objektif tentang objek-objek fisik ini, ternyata tidak semudah yang kita duga, dank arena itu diperlukan cara-cara dan juga alat-alat bantu bagi indra, yang tanpa mereka, pengamatan indra akan sangat tidak akurat dank arena itu gagal memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengetahui objek-objek fisik itu sebagaimana adanya. Ibn Haitsam, misalnya sangat memerlukan metode observasi yang khusus (termasuk eksperimen) dan alat-alat bantu bagi indra karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan indrawi, khususnya pengamatan mata. Dalam mahakaryanya, Al-Manazhir (The Optics), ia menunjukkan kelemahan pandangan mata dengan menunjukkan secara terperinci kekeliruan pandangan mata yang ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti jarak, posisi, transparasi, keburaman, lamina memandang, dan kondisi mata. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa menurut Ibn Haitsam, observasi, sebagai metode, perlu dibantu oleh metode matematika, atau apa yang disebut oleh Laplace sebagai "kalkulasi", untuk memperoleh informasi yang lebih akurat. Dalam karyanya itu, sebagaimana dalam karya-karya fisika modern, kia menemuka banyak sekali figur matematika yang baginya sangat diperlukan untuk menanggulangi kekeliruan dan kelemahan indriawi.[5]
Di tempat lain, metode observasi ini pun disempurnakan oleh para astronom muslim dengan menggunakan alat bantu berupa observatorium (dengan berbagai alat optik, seperti teleskop) untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa (termasuk  ukuran-ukurannya) daripada gambaran yang bisa diperoleh dari pengamatan langsung indra, khususnya mata. Dengan menggunakan observatorium itu sebagai alat bantu (sarana) observasi, dihasilkan data-data yang lebih baik dalam bidang itu, seperti yang direpresentasikan dalam apa yang dikenal dengan Thusi's Couple. Teori astronomi yang penting ini telah mampu memberikan gambaran gerakan planet yang lebih akurat daripada bagan Ptolommeus, dan menurut Toby Huff, dalam bukunya, The Rise of Early Modern Science, sangat besar pengaruhnya atas perhitungan dan teori astronomi Kopernikus.
Sumbangan para ilmuwan dan filosof muslim terhadap kemajuan di bidang ilmiah dan metodologinya terlihat dari kenyataan bahwa ditangan para ilmuwan dan filosof muslimalah teori-teori spekulatif-filosofis telah menemukan bentuk ilmiah-empirisnya yangs ejati, padahal dalam karya-karya klasik Yunaninya, mereka masih bersifat sangat teoritis. Melalui pengujian yang kritis dan eksperimen-eksperimen yang mereka lakukan, baik di laboratorium maupun observatorium, banyak teori yang berkembang sebelumnya baik di Yunani maupun Iskandariah terkoreksi atau terbukti salah. Para astronom muslim, misalnya, telah menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam sistem astronomi Ptolomeus sehingga karya mereka merupakan titik yang fundamental terhadap sistem Ptolomeus dan telah meratakan jalan bagi sistem astronomi Kopernikus.[6]
Demikian juga melalui eksperimen-eksperimennya terhadap cahaya, Ibn Haitsam telah membuktikan secara ilmiah kekeliruan teori Aristoteles tentang penglihatan (direct vision) dan menentukan bahwa berbeda dengan mata kita yang memancarkan cahaya kepada sebuah objek, melainkan sebaliknya, justru objek itu yang memantulkan cahaya kepada kita, baik dari dirinya, seperti lampu atau bintang, atau cahaya yang datang dari luar dirinya. Teori Aristoteles dia tolak karena kalau syarat untuk melihat objek itu adalah pancaran cahaya mata kita yang menjangkau sebuah objek, bagaimana mungkin kita bisa melihat benda yang jauh, padahal pancaran cahaya kita tidak mungkin menjangkaunya. Oleh karen itu. Melalui eksperimen-eksperimennya itu, Ibn haitsam telah menegakkan teori pandangan (vision) yang benar-benar diterima hingga saat ini. Tentunya ini merupakan sebuah prestasi yang menakjubkan untuk ukuran zaman itu.
b.      Metode Demonstrasi
Metode demonstratif pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambian sebuah kesimpulan ilmiah. Ini misalnya dilakukan dengan memerhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantarai kedua premi tersebut. Metode seperti itu dalam ilmu logika disebut "silogisme" (al-qiyas). Sebagai bagian terpenting dari logika, metode demonstrasi  berbagi tujuan dengan logika yang digambarkan oleh Al-farabi sebgai berikut:
1)      Untuk mengatur dan menuntun akal kea rah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mugkin salah.
2)      Untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah, dan
3)      Untuk memberi kita sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.[7]
Alat bantu yang ia maksud tak lain adalah kaidah-kaidah yang hubungannya dengan akal dan pengetahuan yang sama dengan hubungan kaidah-kaidah tata bahasa dengan bahasa dan lafal. Metode demonstratif mempunyai tempat yang khusus dalam keseluruhan ilmu logika karena seperti yang dikatakan oleh Al-Farabi, "metode atau seni demontratif ini meruipakanb tujuan utama pengkajian para peminat logika karena metode inilah yang dianggap paling memenuhi tujuan memperoleh pengetahuan yang meyakinkan dalam ilmu-ilmu filosofis."
Bentuk formal metode demontratif (dan metode logis lainnya) adalah "silogisme". Silogisme adalah pengambilan kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term (al-hadd al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demontratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran-kebenaran yang telah teruji atau kebenaran-kebenaran utama (primary truth) karena hanya apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau  premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulan-kesimpulan juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.

c.       Metode Intuitif
Kalau metode observasi berkaitan dengan pengamatan indriawi, metode emontratif dengan akal, maka metode intuitif, sesuai dengan namanya, berkaitan dengan intuisi atau hati (qabl). Apakah sebenarnya keunggulan metode intuitif dibandingkan dengan metode observasi dan demonstratif? Untuk mengetahui keunggulan metode intuitif (urfani) barangkali dapat dilakukan dengan cara membandingkannya degan metode observasi dan demonstratif. Persamaan metode intuitif  dengan metode observasi adalah kedua metode itu menangkap objek secara langsung. Mata, misalnya dapat menangkap secara langsung objek yang dilihatnya, atau telinga dapat menangkap secara langsung suara yang didengarnya. Demikian juga intuisi dapat menangkap objeknya secara langsung, hanya sifat objeknya yang berbeda. Observasi berhubungan dengan objek-objek fisik, sedangkan objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa, dan bahagia. Berbeda dengan metode intuisi, metode rasional, seperti yang telah disinggung sebelumnya, bersifat tidak langsung karena menangkap objeknya melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya, dank arena itu berdiri secara jelas berseberangan dengan metode intuitif yang bersifat langsung atau "immediate".[8]
Dengan demikian, telah jelas bahwa kekhasan metode intuitif ini terletak pada sifatnya yang langsung. Sifat langsung metode intuitif dalam menagkap objek ini dapat dianalisis ke dalam beberapa hal. Pertama, pengetahuan intuitif bisa dicapai melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami atau merasakan sendiri objeknya. Oleh karena itu, metode intuitif, dilihat dari sudut ini, disebut dzauqi (rasa), dan bukan melalui penalaran, seperti yang dilakukan oleh akal. Misalnya, kita tidak akan pernah mengerti dan memahami hakikat cinta. Cinta tak bisa dipahami lewat akal, tetapi lewat hati (intuisi). Jangan heran kalau kita tidak mampu mengungkapkan rasa cinta itu dengan kata-kata atau secara diskursif karena ia bukan wilayah akal, sedangkan hati bisa memahami hakikat cinta lewat pengalaman, bukan lewat kata-kata atau definisi. Dengan demikian cinta seorang sufi terhadap Tuhannya (ingat kasus Rabi'ah Al-'Adawiyah), tanpa kita sendiri jatuh cinta kepada-Nya.
Kedua, sifat langsung pengetahuan intuitif bisa dilihat dari apa yang sering disebut sebagai 'ilm hudhuri. Pengetahuan intuitif ditandai oleh hadirnya objek di dalam diri si subjek. Barangkali karena itu,pengetahuan intuitif disebut "presensial". Berbeda dengan pengenalan rasional yang memahami objek-objeknya lewat simbol-simbol, kata-kata, kalimat, atau rumus-rumus, pengenalan intuitif melampaui segala bentuk simbol dan menembus sampai ked lam jantung objeknya. Hal ini, seperti telah berulang-ulang disinggung, dengan jelas disinyalir dalam sebuah puisi Rumi, "Bisakah Anda menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R? Tentu saja tidak!" Anda, "kata Rumi, "baru menyebut nama, cari yang punya nama." Modus pengenalan rasional, karena kebergantungannya pada simbol, menurut Henry Bergson, tidak akan bisa menyentuh lubuk objeknya, tetapi hanya berputar-putar di sekitarnya.
Ketiga, sifat kelangsungan metode intuitif ini dapat dilihat dari apa yang saya sebut sebagai pengalaman "eksistensial". Akal dan metode rasionalnya, menuru Iqbal dan Bergson, cenderung meruang-ruangkan (spatilize) objeknya dan mengukurnya dengan ukuran-ukuran yang homogen. Kecenderungan akal untuk memghomogenkan objek-objeknya ini membuat akal sering melakukan generalisasi sehingga sering mengabaikan partikularisasi objek-objeknya.
Berbeda dengan kecenderungan akal di atas, intuisi mengenal objeknya bukan melalui kategorisasi, melainkan secara intim kasus per kasus. Pengenalan intuisi seperti ini membuat pengenalan intuitif lebih akurat dan langsung mnyentuh objek-objek partikular dengan segala karakteristik dan keunikannya. Ambillah sebuah contoh. Menurut kategori akal, satu jam dimana pun akan sama saja kualitasnya. Demikian juga satu meter disini akan sama saja dengan satu meter minanpun juga. Pengenalan kategori akal akan mengabaikan kenyataan bahwa satu jam bagi yang ditunggu tidak akan sama bagi yang menuggu karena bagi yang ditunggu satu jam akan terasa berlalu begitu cepat, sedangkan bagi yang menunggu akan terasa bergerak lamban sekali. Demikian juga akal akanm mengabaikan kenyataan bahwa "stasiun kereta" bagi yang sedang berpacaran tidak akan sama artinya dengan, misalnya, orang yang sedang sendirian, atau oleh orang yang sama pada waktu yang lain ketika hubungan mereka mulai retak. Sebaliknya, intuisi yang beroperasi secara langsung pada objek-objek particular akan mengerti keunikan-keunikan setiap ruang atau peristiwa dalam apa yang pernah saya sebut sebagai pengalaman eksistensial. Dengan metode yang sama, intuisi mengerti mengapa bagi orang-orang tertentu (khususnya orang-orang yang beragama) ada tempat-tempat yang sakral dan profane, sebagaimana juga ada waktu-waktu (hari, bulan, dan tahun) yang suci dan yang biasa.  
D.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa untuk mengetahui adanya ilmu Islam perlu diperhatikan adanya metode-metode yang digunakan, agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami dan menafsirkan ilmu Islam. Oleh karena itu, metode yang cukup tepat menurut pengehemat pemakalah dalam metodologi ilmu Islam adalah metode observasi, demonstrasi dan intuitif.   
E.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.   
Daftar Pustaka
Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. V, 1996.  
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.




















BAHASA ILMU ISLAM
B.     Pendahuluan
Sumbangan atau peran Islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, dan sumbangan kehidupan melalui pengembangan ilmu atau sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan saja termasuk amal saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada Allah. Sekarang ini kita dihadapkan pada ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (ilmu agama dan ilmu non agama). Dari pandangan tersebut pemakalah akan menjelaskan adanya bahasa dalam ilmu Islam. 
C.     Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pemakalah memberikan suatu permasalahan agar tidak melebar dari tema yang ada, yaitu bagaimana bahasa ilmu Islam, dalam hal ini pemakalah menerangkan adanya bahasa dari ilmu-ilmu Islam seperti ilmu matematika, ilmu astronomi, ilmu kimai dan ilmu optik.
D.    Pembahasan
1.      Pengertian Ilmu
Ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasianya.[9]
Dalam bahasa Arab, kata ilmu satu akar kata dengan kata 'alam (bendera atau lambang), 'alamah (alamat atau pertanda), dan 'alam (jagad raya, univers). Ketiga perkataan ini; 'alam, 'alamah dan 'alam mewakili gejala yang harus diketahui atau dimaklumi, yakni menjadi objek pengetahuan.[10]
Dengan demikian ilmu merupakan suatu lambang atau tanda dari perintah Tuhan yang untuk dilaksanakannya perlu diperhatikan dan dipahami dengan baik dan benar.    
2.      Bahasa Ilmu Islam 
Kesaksian iman, la ilah illa Allah, adalah sebuah pernyataan pengetahuan tentang realitas. Orang Islam memandang bahwa berbagai ilmu Islam sebagai ragam bukti yang menunjuk pada kebenaran yang paling fundamental dalam Islam. Oleh karena itu, semangat ilmiah merupakan bagian yang terpadu dari tauhid. Semangat ilmiah para ilmuwan muslim mengalir dari kesadaran mereka akan tauhid. Dalam beberapa literatur dijelaskan mengenai sumbangan umat Islam terhadap bahasa ilmu Islam.[11] Dalam hal ini pemakalah menerangkan adanya ilmu Islam seperti:
a.       Ilmu Matematika
Di antara tokoh Islam yang paling masyhur dalam bidang Matematika adalah al-Khawarizmi. Dialah yang pertama menulis buku ilmu hitung dan aljabar. Teks asli buku tersebut telah hilang yang ada hanyalah terjemahannya dalam bahasa Lartin. Istilah al-gorisme atau algoritme berasal dari nama al-Khawarizmi.
Umar al-Khayam dan al-Thusi adalah ulama yang terkenal dalam bidang ilmu Matematika. Angka nol adalah ciptaan umat Islam. Pada tahun 873 M, angka nol telah dipakai di dunia Islam dibawa para ilmuwan ke Eropa pada tahun 1202 M. oleh karena itu, angka 0 (nol) sanpai angka 9 (sembilan) yang dipakai sekarang, di Eropa, disebut angka Arab.[12]
Jasa atau fungsi umat Islam terhadap peradaban dunia adalah ditemukannya angka arab dan nol yang dengan angka tersebut matematika menjadi efektif dan begitu cepat berkembang. Sebelumnya, matematika dinilai lambat berkembang karena menggunakan angka romawi, seperti I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, dan seterusnya.
b.      Ilmu Astronomi
Buku-buku karangan ilmuwan Yunani seperti karya Ptolomeus dan Archimedes telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Diantara umat Islam yang terkenal ilmunya dalam bidang astronomi adalah Umar Khayam dan al-Farazi. Mereka menulis buku-buku tentang astronomi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin untuk kemudian diajarkan di Eropa. Kemajuan astronomi di dunia Islam ditandai dengan didirikannya observatorium di berbagai kota seperti di Bagdad, Kairo, Damaskus, Seville, dan Andalusia.
Kalender yang dibuat oleh Umar al-Khayam ternyata dinilai lebih akurat daripada kalender yang dibuat oleh Gregorius. Gregorius membuat perbedaan 1 (satu) hari dalam 330 tahun, sedangkan Umar Khayam membuat perbedaan 1 (satu) hari dalam 500 tahun.[13]
c.       Ilmu Kimia
Ulama muslim yang terkenal dalam bidang kimia adalah Jabir bin Hayyan dan Zakaria al-Razi. Nama kedua ulama ini di Eropa di kenal dengan nama Gaber dan Rhazes.
Pada zaman kejayaan Yunani, kimia banyak dibangun berdasarkan spekulasi. Sedangkan pada zaman kejayaan Islam, kimia dikembangkan atas dasar percobaan atau eksperimen. Dikalangan umat Islam terdapat keyakinan bahwa timah, loyang, besi, dan yang sejenis dengannya dapat diubah menjadi emas dengan perantara substansi tertentu. Eksperimen-eksperimen dilakukan oleh umat Islam untuk mencari substansi yang misterius. Meskipun tidak membawa hasil, eksperimen-eksperimen tersebut telah mendorong perkembangan ilmu kimia.[14]
d.      Ilmu Optik 
Ulama yang tekenal dalam bidang optik adalah Ibnu Haitsam. Ia, diantaranya, berhasil menentang teori penglihatan yang dikemukakan oleh Euklid dan Ptolomeus. Menurut Euklid dan Ptolomeus, benda dapat dilihat karena mata mengirim cahaya ke benda. Melalui cahaya itulah, mata dapat melihat benda. Sedangkan Ibnu Haitsam berpendapat sebaliknya. Menurutnya benda dapat dilihat karena benda mengirim cahaya ke mata. Melalui cahaya yang dikirim benda itulah, mata dapat melihat benda yang bersangkutan. Berdasarkan ilmu pengetahuan modern, teori Ibnu Haitsamlah yang ternyata dipandang benar.[15]
E.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa ilmu Islam merupakan pengembangan dari sains Islam yang ada, seperti adanya bahasa dalam ilmu matematika, kimia, astronomi dan optik. Semuanya ini merupakan suatu pengetahuan yang realitas, hal ini perlu dipahami dan dimengerti adanya bahasa terutama dalam ilmu Islam.    
F.      Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.   
Daftar Pustaka
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.
Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998.
Harun Nasution, Dimensi-dimensi Studi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Sayed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 98.








            [1]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. V, 1996, hlm. 61.  
            [2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 652.  
            [3]Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
            [4]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 3. 
            [5]Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 53.
            [6]Ibid, hlm. 55.
            [7]Ibid, hlm. 59.
            [8]M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 57.
            [9]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 18.
            [10]Nurcholis Majid, Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
            [11]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 22.
            [12]Harun Nasution, Dimensi-dimensi Studi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hlm. 96-98.
            [13]Sayed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 98..
                [14]Ibid, hlm. 103.
            [15]Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 99.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS




KONFLIK PERBEDAAN PAHAM DALAM
AGAMA ISLAM
Di sini kami akan mengkritisi mengapa satu agama bisa menjadikan konflik yang begitu heboh. Bahkan ketika kita mencoba untuk menyatukannya itu sangat sulit juga mungkin tidak akan bisa.
Padahal subtansi agama sendiri adalah mencari keselamatan di dunia ataupun diakhirat yang mana melalui jalan yang diridhoi oleh Tuhan. Dari pengertian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya kita sebagai seorang hamba yang harus patuh kepada Tuhannya dan mencoba untuk mencari ridhonya. Tapi mengapa di masyarakat kita harus terjadi konflik untuk yang dapat membelokkan dari inti agama itu sendiri.
KONFLIK PENGANUT MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA  (NU)
Melihat dua aliran tersebut itupun sangat mengerikan ketika kita berani berani mengkritisi dua aliran tersebut. Ketika datangnya kaum muda (penganut faham pembaharuan yang ajarannya sama dengan Muhammadiyah) pertama  kali di Indonesia itu sangat meresahkan masyarakat, karena ajarannya berbeda dengan ajaran NU yang selama ini diikuti oleh masyarakat. Mmereka kaum muda terus mendoktrin masyarakat bahwasanya yang dilakukan ketika mereka beribadah itu kebanyakan adalah bid'ah (suatu yang baru atau belum pernah diajarkan Rasulullah) mereka kaum muda yang mengklaim bahwasanya itu salah dari yang pernah diajarkan Rasulullah. Faktor apa yang menjadikan wargaNU yang pindah menganut ajaran kaum muda?
Dan perbedaan yang paling mendasar antara kedua faham tersebut seperti:
a.       Masalah talafuz bi niyat yang berarti melahirkan niat dengan lidah, itu dianggap kaum muda sebagai bid'ah.
b.      Masalah talkin yakni memberikan pelajaran kepada jenazah yang baru saja di makamkan tentang apa yang harus dijawabnya jika malaikat kubur datang dan menanyakan perihal imannya selama hidup di dunia.
c.       Masalah asrokol  yakni perbuatan berdiri waktu dilakukan pembacaan riwayat nabi Muhammad SAW. Iapun dianggap bid''ah bagi ulama pembaharu.
d.      Masalah hilah yang berarti "daya upaya" yakni semacam penebusan terhadap kelalian seseorang yang sudah mati semasa hidupnya dalam menjalankan ibadah.
e.       Masalah aruh (maaruwah). Jika seorang meninggal maka keluarganya harus mengadakan selamatan yang disebut aruh atau maruwah.
Mungkin itulah faktor yang sangat dasar atas perbedaan faham tersebut yang mana ketika itu bagi kedua faham tersebut sangat saling mengkafirkan. Mereka saling memegang komitmennya sendiri. Dan ketika kita mengintai kembali pada dimana masyarakat Alabio Kalimantan Selatan yang mana kedua faham tersebut mulai menciptakan batas-batas yang makin jelas antara kelompok pengajian yang mengikuti faham yang dibawa oleh para ulama yang menamakan dirinya pembaharu. Keadaan ini akhrnya mencapai puncajnya menjelang 1920-an dikemukakan oleh informan antara lain.
" Semenjak tindakan kafir mengkafirkan satu sama lain itu maka kelompok pengajian agama Islam di Alabio mulai terbagi menjadi dua , masing-masing tidak mau lagi menghadiri pengajian terbuka untuk umum. Dan masing-masing melakukan pengajian umum untuk kalangannya sendiri…… dari khotbah-khotbbah nampak jelas para ulama' kedua belah fihak saling mencela dan menganggap fihaknya yang benar".
Dan secara garis besar proses timbulnya dan adanya perbedaan dan batas-batas yang jelas serta konflik-konflik penganut faham Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Alabio tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam masyarakat Alabio, perbedaan tersebut dimulai dan meningkat tatkala beberapa ulama datang dari Mekkah setelah bertahun-tahun bermukim dan belajar agama di sana dan membawa apa yang dinamakan faham pembaharuan ajaran Islam ke dalam masyarakat. Faham pembaharuan ini berusaha merombak tradisi keagamaan yang ada dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang sebenarnya. Para pengikut faham pembaharuan ini terutama adalah dari kalangan pedangang karena seperti dikemukakan Peacock bahwa "mata pencaharian pedagang menyebabkan mereka lebih mudah menerima faham pembaharuan dari luar karena dilain fihak faham pembaharuan itu sendiri cenderung "lebih memudahkan" praktek keagamaan yang ada dari pada "merumitkan".
b.Perbedaan ini menajam disertai batas-batas yag makin jelas satu sama lain tatkala aspek politik dan ekonomi masyarakat mengimplikasikasi perbedaan faham yang ada. Implikasi aspek-aspek ekonomi dan politik terhadap perbedaan faham tersebut menciptakan konflik-konflik diantara sesama warga masyarakat.
c.  Konflik-konflik yang terjadi menciptakan terwujudnya segmentasi warga masyarakat beragama Islam kemudian mengorganisasi kelompok masing-masing dalam organisasi-organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Uama.
d.Terbentuknya organisasi-organisasi formal yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, maka konflik-konflik yang ada terwujud sebagai kompetisi dalam dan melalui organisasi-organisasi tersebut satu sama lain dimana pengorganisasian ini mempunyai implikasi terhadap adanya perpecahan dalam masyarakat. Kompetisi itu antara lain berupa persaingan dalam medirikan sarana ibadah seperti langgar dan masjid, persaingan antar sub-organisasi dan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dengan kegiatan-kegiatannya, dan dalam arena sosial seperti perayaan-perayaan keagamaan maupun perayaan nasional dimana perbedaan yang ada diaktifkan dan dintensifkan. Dalam situasi sosial demikian, tokoh-tokoh pemimpin organisasi kedua belah pihak memegang peran penting.
e. Pada saat yang bersamaan dengan terciptanya keadaan konflik dalam masyarakat, tercipta pula kondisi integrasi karena sesungguhnya kedua struktur sosial yang berbeda tersebut juga berada dalam struktur sosial yang lebih luas  yakni struktur sosial masyarakat Alabio di mana kebudayaan masyarakat menjadi pegangan umum. Dengan perkataan lain bahwa struktur sosial tidaklah statis melainkan mempunyai dorongan-dorongan untuk bersifat dinamis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS


 oleh : Muhammad Ulil Albab
MENJADI GURU SEJARAH YANG MENYENANGKAN

Belajar sejarah merupakan sebuah dilema ketika sebagai seorang pendidik mengajarkan sejarah hanya dalam sebuah konteks masa lampau saja. Dia tidak berpijak bagaimana mengajarkan sejarah membuat orang itu senang dan menarik. Dikarenakan sebagai seorang guru sejarah kurang referensi dan metode keilmuaan yang dia miliki. Pada akhirnya mengajarkan searah hanya sebuah manuscrip untuk menghapal tanggal,tokoh,tahun sebuah peristiwa sejarah itu terjadi.
Dalam area pendidikan terutama dalam lingkup mengajar tentunya sisw lebih banyak di suguhkan berbagai macam sistem pembelajaran yang mengenakan tapi itu hanya sedikit yang bisa terpancing dalam hati para peserta didik. Di samping itu juga kondisi sarana dan prasarana sekolah pun sangat harus sangat mendukung. Karena seorang pendidik bisa di cintai oleh peserta didik itu bisa lewat menjelaskan ketika praktek ketimbang ketika ceramah saja. Mungkin diantara kita timbul pertanyaan, kenapa kita harus menjadi pendidik yang menyenangkan ?
Dan Seorang pengajar harus credible yaitu mampu bersikap dan berperilaku professional. Dia harus creative, mampu membangun suasana chemistrical secara kreatif agar kelas tidak membosankan. Dia juga harus mampu menunjukkan simpati dan antusiasmenya kepada para siswa didiknya. Bayangkan jika kita mengamati ”mendidik itu seharusnya merupakan sebuah interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, kreatif, dan humoris, bukan melulu transaksi bisnis”. Apa yang akan terjadi di sekolah-sekolah jika setiap anak didik ketika bertemu dengan para gurunya di kelas-kelas senantiasa mendapatkan limpahan kasih sayang? Sang guru menunjukkan pelbagai manfaat atas setiap ilmu (mata pelajaran) yang dipelajari di sekolah.
Kemudian, setelah sang guru menunjukkan pelbagai manfaat setiap ilmu terkait dengan kehidupan sehari-hari anak didik. Secara kreatif pula, sang guru senantiasa menawarkan cara-cara mempelajari ilmu tersebut secara menyenangkan. Hal-hal sulit yang ada pada setiap ilmu dijelaskannya secara perlahan sehingga semua anak didik bisa mengikutinya.
Cara mengajarnya pun senantiasa tidak membosankan. Sang guru memiliki cara-cara mengajar yang kaya. Dia tidak hanya bermodalkan omongan, tetapi juga menyiapkan presentasi yang menggunakan gambar dan gerak. Pokoknya, setiap kali sang guru mengajar, anak didik senantiasa mendapat hal-hal baru. Bukan saja ilmu yang senantiasa baru dan segar, melainkan juga suasana yang hidup dan penuh dengan kehangatan. Meski kadang-kadang sang guru mengeluarkan kata-kata bernada humor, tetapi humor yang dikeluarkannya bukan humor yang dangkal.
Humor itu hanya digunakan untuk mengusir ketegangan. Humor itu dilepaskan sebagai sebuah selingan yang mencairkan suasana yang beku, yang terlalu serius. Keseriusan atau kesungguhan dalam belajar itu sangat penting karena kesungguhan dapat membantu seseorang untuk fokus atau berkonsentrasi. Namun, keseriusan yang kaku dan terlalu serius menjadi tidak baik. Keseriusan yang kaku dan terlalu serius akan membuat suasana jadi kering. Dan ”kekeringan” itu perlu dibasahi dengan sedikit humor.
Dan di samping itu juga Sisi entertainer seorang guru mestinya terus digali dengan baik, agar dalam proses belajar mengajar di dalam kelas lebih hidup dan tidak membosankan. Tidak ada salahnya seorang guru menggunakan penampilan yang menarik dan sejuk di pandang mata, cerita-cerita humor untuk selingan ataupun joke-joke segar yang membuat siswa-siswa tidak bosan di kelas. Namun tetap dalam koridor yang baik dan sesuai dengan norma serta nilai yang ada.
Masuk kedalam jiwa zaman para siswanya juga dapat dilakukan oleh para guru, hal ini dilakukan agar seorang guru dapat menilai seberapa jauh siswa-siswanya dapat menangkap pelajaran yang diajarkan. Tidak layak rasanya seorang guru yang telah lebih dulu memperoleh pengetahuan dan berbeda usia jauh dengan siswanya, memaksakan ketercapaian suatu meteri pelajaran oleh para siswanya sama persis dengan apa yang dia pikirkan dan kemampuan dirinya. Dengan masuk kedalam jiwa zaman para siswa tersebutlah, seorang guru dapat mengerti dan memahami siswa-siswanya yang memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lain.
Sisi entertainer seorang gurulah yang dapat membawa mereka menjadi sosok guru favorit di mata siswa-siswinya. Kriteria favorit lebih dekat kepada senang atau tidaknya para siswa-siswi terhadap tindak-tanduk seorang guru didalam kelas maupun di lingkungan sekolahnya tersebut. Namun tidak juga mengenyampingkan sisi-sisi positif lainya seperti : kedisiplinan dalam mengajar, sikap positif yang dicontohkan, penguasaan materi, kedekatan dengan peserta didik, dan keinginan yang kuat untuk membantu siswa-siswinya dalam masalah akademik serta masalah-masalah lainnya.
Dalam bahasa Dave Meier, guru yang meniru ”Patch Adams” adalah guru yang meyenangkan. ”Menyenangkan atau membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Ini tidak ada hubungannya dengan kesenangan yang sembrono dan kemeriahan yang dangkal,” kata Meier. ”Kegembiraan di sini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, terciptanya makna, pemahaman atas materi, dan terbangunnya kebahagiaan.”
Bayangkan jika belajar di sekolah atau di mana saja menjadi tidak menyenangkan. Membaca buku mejadi sebuah beban. Memahami rumus matematika menjadi ancaman serius untuk tidak lulus. Dan memahami sejarah sama sekali tidak ada maknanya (atau tidak terkait dengan zaman sekarang). Apa jadinya? Apakah mungkin anak-anak kita mampu menjalankan sabda-sabda suci Nabi Saw.  seperti ”belajarlah dari buaian hingga liang lahad” atau ”belajar itu wajib bagi setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan”.
Maka dari itu seorang pendidik harus bersikap ING NGARSA SUNG TULADA” yang berarti di depan menjadi tauladan adalah cita-cita ideal yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Cita-cita ideal ini berarti sesuatu yang tidak mungkin serta merta harus terjadi bahkan waktu pencapaiannya pun tidak dapat diprediksi, namun harus selalu diupayakan pencapaiannya sebagaimana cita-cita bangsa kita, yaitu masyarakat adil dan makmur. Inilah perilaku guru yang harus terus diupayakan pada lingkungannya, baik lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa Ing ngarsa sung tulada ini merupakan kompetensi pribadi seorang guru secara ideal.
“ING MADYA MANGUN KARSA” yang berarti di tengah membangun karsa (kehendak/motivasi). Inilah filosofi guru ketika berada di depan kelas membina siswanya. Jadi tugas guru di depan kelas adalah membangun karsa siswanya untuk mau mengembangkan potensi yang dimilikinya. Guru bukan menyuapi siswa dengan pengetahuan tanpa proses membangun karsa. Dengan kata lain guru bukan mengajarkan materi tetapi mengajarkan bagaimana mempelajari suatu materi dengan sikap penuh kasih sayang. Dapat dikatakan bahwa Ing Madya Mangun Karsa ini merupakan kompetensi profesi seorang guru.
“TUT WURI HANDAYANI” yang berarti di belakang memberi dorongan atau memberi semangat. Inilah filosofi guru ketika merada di luar kelas dan hidup ditengah masyarakat. Selalu memberikan rasa optimisme dan pentingnya sebuah perjuangan mencapai cita-cita, yaitu berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Dapat dikatakan bahwa Tut Wuri Handayani ini merupakan kompetensi kemasyarakatan dari seorang guru.
Dan ada beberapa catatan lagi bagaimana seseorang ingin mejadi seorang guru yang menyenangkan ketika mengajarkan sejarah kepada anak didiknya. Pertama, seorang guru harus memiliki literatur dan bahan ajar yang cukup untuk diberikan kepada seorang anak. Kalau perlu ajak anak tersebut untuk bisa membaca dan memahami pokok persoalan kajian sejarah yang dia pelajari.Sehingga dengan demikian terjadi saling komunikasi dua arah antara murid dengan pendidik. Kedua, seorang guru hendaknya mengajak siswanya untuk dapat mengunjungi obyek sejarah yang ada. Ketiga, ajaklah para siswa untuk mengkaji persoalan-persoalan peristiwa sejarah secara kontinyu dan komprehensif dan biarkan siswa atau anak didik dapat menganalisa dan memahami sendiri.
Mungkin ketiga catatan tersebut dapat memberikan bagaimana belajar sejarah dapat menyenangkan dan bukan Jadul atau asal bunyi saja. Yang harus dipahami adalah bahwa persoalan belajar sejarah memiliki dua dimensi. Pertama,dimensi untuk bagaimaa dengan belajar sejarah kita bisa tau dan mengerti tentang apa yang sudah terjadi peristiwa masa lampau. Sehingga meneguhkan hati kita untuk dapat mengembangkan dan meneguhkan hati kita untuk dapat melangkah ke depan yang lebih baik. Bukan lagi belajar sejarah hanya untuk gaya dan sekedar tau. Tapi memang betul-betul dijadikan acuan untuk bertindak dan berkarya nyata. Kedua,meneguhkan akar semangat nasionalisme yang sudah mulai menghilang dan orang sudah acuh tak acuh dengan apa yang sudah terjadi.


REFRENSI
Hernowo, “Buku Pengayaan untuk Guru : Menjadi Guru Yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Menyenangkan”, Mizan Learning, 2009
jamal ma’ruf asmani , “Tips menjadi guru inspiratif, kreatif, dan inovatif”, diva press, 2009
http://www.wordpess.com



NAMA            : MUHAMMAD ULIL ALBAB
NIM                :107 060
JURUSAN       : TARBIYAH / PAI
MATKUL        : PENDIDIKAN SKI
KELOMPOK  : B3

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

POLITIK ISLAM


POLITIK ISLAM, HALAL ATAU HARAM
Sekiranya semua orang mengerti tentang pancasila, kitab sakral pusaka bangsa Indonesia semua orang harus mematuhi sila-sila itu, termasuk kita, masyarakat pesantren yang sebenarnya punya undang-undang kitab yang paling sakral, Al-Qur'an pun harus sendiko dawuh. Sedangkan, pada prakteknya, tak terhitung hukuman-hukuman ala pancasila atau ala UUD yang tidak Qur'ani, tidak sesuai dengan syariat.
Padahal, mayoritas warga Indonesia ber-KTP- Muslim. Namun, mengapa hukum yang harus ditaati justru bertentangan atau setidaknya, tidak sesuai dengan syara' ? meminjam istilah Amrozi CS (Alm), mereka menyebut hukum Indonesia sebagai hukum syaitan. Benarkah ??
Jawaban atas pertanyaan itu tidak terlalu penting. Yang seharusnya menjadi renungan kita, bahwa selama ini jarang muncul kesadaran kita (kaum pesantren) bahwa selama ini umat Islam terpinggirkan dari pergumulan bangsa, seakan-akan kita dilarang menjadi orang Islam yag seutuhnya, tidak bebas bergerak menegakkan syariat, di sana sini terbentur HAM, dihadang ide demokratisasi, kebebasan berpikir dan berekspresi, seakan-akan, al-Qur'an, As-Sunnah dan kitab-kitab mu'tabaroh dikalahka oleh undang-undang, pancasila, demokrasi, bahkan isu Ham.
Contoh kecilnya ide-ide RUU pornografi dan pornoaksi yang sempat digagas justru kalah hanya dengan ide bodoh tentang hak asasi manusia. Atau ketika orang-orang FPI menggerakkan fiqih ala Is Adurrofiq, dengan berbagai "arogansinya" itu, justru mereka terancam pidana. Ini menunjukkan bahwa keberadaan umat Islam di Indonesia begitu lemah, terpinggirkan, dan acapkali terbodohi, bahkan terjajah peradabannya. Mengapa demikian ??
Setidaknya alasan yang dapat ditawarkan untuk menjadi bahan renungan kita bahwa selama ini kelemahan dan kekalahan umat Islam di negeri pertiwi adalah karena dominasi kekuasaan oleh orang-orang "non religius" yang nyaris tidak punya ide-ide agamis. Barangkali yang ada di otak mereka tidak lebih dari sekedar ide kapitalisme yang mengartikan demokrasi, HAM, atau apalah sebagai uang. Merekalah yang mungkin selama ini menjadi budak-budak imperealisme barat yang ikut andil membunuh identitas Islam Indonesiawi. Istilah lainnya, "poli-tikus" yang menggerogoti bangunan Islam. Itulah kira-kira konotasi banyak orang tentang politik negeri ini yang banyak menimbulkan kesan kotor, rusuh, najis, bahkan mugoladoh.
Kenyataan ini setidaknya menjadi pijakan dasar dan motivasi bagi para elit muslim untuk bangun dan menata pondasi Islam dalam kehidupan kenegaraan. Sepertinya sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk ikut andil dalam panggung politik. Dengan satu harapan yang terkesan muluk-muluk yakni tegaknya syariat Islam ahlussunnah wal jama'ah, membangun peradaban Islam yang Indonesiawi agar terwujud baldatun toyibatun wa robbul gofur.
Pertama, tegaknya syariat Islam merupakan suatu keharusan dan tanggung jawab yang tidak bisa ditawar lagi. Hukum konvensional ala pancasila terkesan belum menyentuh syariat Islam secara menyeluruh. Yang ada sekedar hukum positif yang kemungkinan hanya sekedar formalitas belaka. Sedangkan pesan al-Qur'an menekankan bahwa penegakan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam, berarti sebuah praktek kedoliman. Ini berarti bahwa kita harus mengakui bahwa hukum Indoensia adalah hukum yang dholim yang ditegakkan oleh rakyat yang juhala', yang tidak berkompeten mengemban amanat. Kalau sudah demikian jadinya hanya satu hal yang bisa kita nantikan, yakni kehancuran. Inilah kira-kira makna yang tersirat dalam sebuah hadis bahwa ketika amanat dititipkan kepada orang yang tidak berkomperten, maka "fantadirissaah"
Untuk itu sekaranglah waktunya bagi umat Islam untuk bangun dari tidur panjangnya, meskipun sudah agak kesiangan. Kemudian memulai gerakan baru, semangat baru, dan menggalang kekuatan untuk mengusung amanat (syariat) Islam menjadi undang-undang yang kemudian dijadikan rujukan hukum negara menggantikan praktek kedholiman oleh tikus-tikus bodoh.
Kemudian mau tidak mau semua itu harus dicapai melalui gerbang politik. Sebab itulah satu-satunya jalan yang sportif, demokratis, humanis, sesuai dengan falsafah bangsa. Mungkin ketika masyarakat pesantren mengibarkan bendera politik akan lebih realistis ketimbang jihad ala amrozi CS bukan ??
Bahkan dalam kondisi seperti ini dimana hukum Indonesia tidak qur'ani, yang diemban oleh orang-orang dholim justru menjadi sebuah tanggung jawab besar dan kewajiban bagi kita untuk mengupayakan tegaknya syariat Islam lewat politik (Islam) yang konsekuen dengan asas ahlussunnah. Ini memungkinkan satu pengertian bahwa berpolitik yang Islami, yang sunni adalah wajib. Sebab kulluma yatawassollu bihi ila iqomatil wajibi yakunu wajiban. Toh, hemat penulis politik itu tidak "haram". Bukan demikian ?? elf@ 08.dafa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS